TIDAK ADA
PAKSAAN DALAM AGAMA
Surah Al Baqarah 256
لاَإِكْرَاهَفِيالدِّينِقَدتَّبَيَّنَالرُّشْدُمِنَالْغَيِّفَمَنْيَكْفُرْبِالطَّاغُوتِوَيُؤْمِنبِاللّهِفَقَدِاسْتَمْسَكَبِالْعُرْوَةِالْوُثْقَىَلاَانفِصَامَلَهَاوَاللّهُسَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
(QS. 2:256)
(QS. 2:256)
a. Tafsir Ibnu `Abbas
(Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)) maksudnya; setelah orang-orang Arab masuk Islam, tidak beloh seorang pun dari kalangan ahli kitab dan pemeluk agama Majusi dipaksa untuk menganut agama tauhid. (Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat) yakni; antara iman dan kufur, dan antara agama yang hak dan agam yang bathil.
b. Tafsirul Wajiz
Al-Hadist
Dari Abdullah bin Salam, berkata, “Aku bermimpi di masa Rasululllah SAW. Aku bermimpi seolah-olah aku berada di sebuah taman yang luas dan hijau. Di tengahnya ada tiang dari besi, bagian bawahnya berada di tanah dan bagian atasnya berada di langit. Dan di atanya terdapat ikatan. Kemudian dikatakan kepadaku,”Naiklah.” Aku menjawab, “Aku tidak bisa.” Kemudian pelayan mendatangiku dan mengangkat pakaianku dari belakang sehingga aku naik sampai ke atasnya dan mengambil ikatan. Kemudian dikatakan kepadaku, “Peganglah erat-erat ikatan itu.” Kemudian aku terjaga dan sesungguhnya ia masih berada di tanganku. Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW bersabda, “
c. Tafsir Ibnu Katsir.
Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas tanda dan bukti kebenaran Islam seingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oelh Allah SWT untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti.
Namun, orang yang hatinya dibutakan oleh Allah SWT dan ditutupi hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk islam.
Kesimpulan
1. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّين) tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Dan dari firman Allah ini juga menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk memaksa seseorang memeluk agama islam. as-Sunnah telah menjelaskan tentang cara bermuamalah dengan orang-orang kafir, yaitu dengan medakwahkan Islam kepada mereka, jika mereka enggan maka wajib atas mereka untuk membayar jiziyah, dan jika mereka tidak mau kita perangi mereka.
2. Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan, karena jika kalau ada yang ketiga maka Allah Ta’ala akan menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang manunjukan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala (فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ ) Tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan (Yunus: 32), dan firman Allah Ta’ala: (وَإِنَّآ أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ) dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada di dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata.(Saba’:24)
3. Sesungguhnya tidak akan sempurna keikhlasan seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan, ini di dasarkan pada firman Allah Ta’ala: (فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) Barangsiapa yang kafir kepada thagut dan beriman kepada Allah. barangsiapa yang beriman kepada Allah dan tidak kafir dan mengingkari thagut maka ia bukan orang yang beriman.
4. Bahwasanya setiap sesuatu yang disembah selain Allah adalah thogut. Ini di dasarkan pada firman Allah Ta’ala: (فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) Barangsiapa yang kafir kepada thagut dan beriman kepada Allah.
5. Bahwasanya keselamatan dunia dan akhirat hanya dengan kafir dan mengingkari thogut dan beriman kepada Allah Ta’ala, ini di dasari firman Allah Ta’ala (فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى): Sungguh dia telah berpegang dengan buhul tali yang amat kuat.
6. Sesungguhnya amal perbuatan bertingkat-tingkat, ini di tunjukan dari kata yang menandakan adanya tingkatan tersebut (الْوُثْقَى): Yang sangat kuat, adanya keutamaan pada sesuatu menghendaki adanya sesuatu yang lebih utama dan adanya sesuatu yang lebih rendah keutamaan darinya. Tidak diragukan lagi bahwasanya amal perbuatan itu bertingkat-tingkat keutamaannya, yang mana ini semua ditunjukan oleh nash-nash al-Qur–an dan as-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala (لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً): Untuk dia menguji kalian, siapakah diantara kalian yang lebih baik amal perbuatannya. (al-Mulk: 2). Dan ( حْسَنُ): Lebih baik adalah kata yang menunjukan tingkatan. Ini menunjukan adanya tingkatan keutamaan amal di dalam kebaikan atau kebagusannya. Dan (dalam sebuah hadist Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam ditanya; (أي العمل أحب إلى الله قال: الصلاة على وقتها): Amal apa yang paling Allah cintai, beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Dan di dalam sebuah hadist al-Qudsi Allah Subhanahu wata’ala berfirman : (مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ): Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai kecuali dari apa yang telah aku wajibkan kepadanya (HR. Bukhari: 6502). Adanya tingkatan amal perbuatan mengharuskan adanya tingkatan orang yang beramal tersebut. Semakin utama amal perbuatan yang dilakukan seseorang maka semakin utama dan mulia orang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar