A. Mamfaat melaksanakan sholat
1. Pengertian
sholat
Secara etimologi, kata sholat
menurut para pakar bahasa adalah bermakna doa. Shalat dengan makna doa tersirat
di dalam salah satu ayat al-Qur;an: “Dan shalatlah (mendo’alah) untuk
mereka. Sesungguhnya shalat (do’a) kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS. At-Taubah: 103) Dalam ayat
ini, shalat yang dimaksud sama sekalibukan dalam makna kewajiban
mendirikan shalat yang lima waktu, melainkan dalam makna bahasanya secara
asli yaitu berdoa. Shalat diartikan dengan doa, karena pada hakikatnya shalat
adalah suatu hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya, sebagaimana sabda
Nabi SAW: “Sesungguhnya hamba, apabila ia berdiri untuk melaksanakan
shalat, tidak lain ia berbisik pada Tuhannya. Maka hendaklah masing-masing di
antara kalian memperhatikan kepada siapa dia berbisik”.
Adapun
secara terminologi, shalat adalah sebuah ibadah yang terdiri dari beberapa
ucapan dan gerakan yang sudah ditentukan aturannya yang dimulai dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Lebih jauh, definisi ini merupakan
hasil rumusan dari apa yang disabdakan Nabi SAW: “Shalatlah kalian,
sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Dengan demikian, dasar pelaksanaan
shalat adalah shalat sebagaimana yang sudah dicontohkan Nabi SAW mulai bacaan
hingga berbagai gerakan di dalamnya, sehingga tidak ada modifikasi dan inovasi
dalam praktik shalat.Ada banyak sekali perintah untuk menegakkan shalat di
dalam Al-Quran. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran dengan
lafaz “Aqiimush-shalata” (Dirikanlah Shalat) dengan khithab kepada
orang banyak, yaitu pada surat: Al-Baqarah ayat 43, 83 dan110, An-Nisa ayat 177
dan 103, Al-An`am ayat 72, Yunus ayat 87, Al-Hajj: 78, An-Nuur ayat 56, Luqman
ayat 31, Al-Mujadalah ayat 13, dan Al-Muzzammil ayat 20. Juga,ada 5 perintah
shalat dengan lafaz “Aqimish-shalata” (Dirikanlah shalat) dengan khithab hanya
kepada satu orang, yaitu pada Surat: Huud ayat 114, Al-Isra` ayat 78, Thaha
ayat 14, Al-Ankabut ayat 45, dan Luqman ayat 17.Dalam Islam, shalat menempati
posisi vital dan strategis. Ia merupakan salah satu rukun Islam yang menjadi
pembatas apakah seseorang itu mukmin atau kafir. Nabi SAW bersabda: “Perjanjian
yang mengikat antara kami dan mereka adalah mendirikan shalat. Siapa yang
meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir”(H.R Muslim)
Sedemikian
vitalnya shalat, maka ibadah shalat dalam Islam tidak bisa diganti atau
diwakilkan. Dia wajib bagi setiap muslim laki-laki dan wanita dalam kondisi
apapun: baik dalam kondisi aman, takut, dalam keadaan sehat dan sakit, dalam
keadaan bermukim dan musafir. Oleh karena itu, pelaksanaan shalat bisa
dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada keadaan pelakunya; kalau tidak
bisa berdiri boleh duduk, kalau tidak bisa duduk boleh berbaring, dan
seterusnya.Maka dari itu, shalat merupakan faktor terpenting yang menyangga
tegaknya agama Islam. Sehingga, sudah sepatutnya, umat Islam memahami maknanya
dan mengetahui manfaat dimensi shalat dalam kehidupan manusia, khususnya
dimensi rohani, soasial, dan medis shalat.
Namun,
sikap yang pertama kali harus ditunjukkan adalah bahwa kita wajib menjadikan
shalat sebagai suatu ibadah dulu. Kemudian setelah itu, baru mengetahui
manfaatnya dalam sendi kehidupan kita.
A.
Dimensi rohani shalat
Allah SWT berfirman di dalam
al-Qur’an: "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14). "(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra’du: 28)
Dua ayat di
atas mengisyaratkan kepada kita, bahwa soal ketenangan jiwa adalah janji Allah
yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Hati bisa tenang bila
mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif
adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas,
perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.
Mendirikan
shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya
suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi.
Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana.
Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah “aqim” yang berarti dirikan,
tegakkan, luruskan.Maka, kualitas shalat seseorang diukur dari tingkat
kekhusyu’annya, yaitu hadirnya hati dalam setiap aktifitas shalat. Dalam hal
ini Imam al-Ghazali menyebutkan enam makna batin yang dapat menyempurnakan
makna shalat, yaitu: kehadiran hati, kefahahaman akan bacaan shalat,
mengagungkan Allah, “haibah” (segan), berharap, dan merasa malu.
Shalat
dapat di sebut sebagai dzikir, manakala orang yang shalatnya itu menyadari
sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam shalatnya. Dengan
kata lain dia tidak dilalakani oleh hal-hal yang membuat shalatnya tidak
efektif dan komunikatif. Dalam hadist riwayat Abu Hurairah di sebutkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda: "Berapa banyak orang yang melaksanakan
shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah
saja." (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan
gerakan fisik, akan tetapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau
ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus
berjalan, kapanpun dan bagaimanapun juga. Seorang yang tidak mampu berdiri
karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti
gerakan ruku’nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya.
Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan
sebagainya.Sedangkan gerakan batin tidak bisa di ganti. Ini yang mutlak harus
ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan tanpa arti.Itulah
sebabnya Allah SWT memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata
yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu
mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa’uun: 4-5)
Jadi, janji-janji
Allah SWT kepada orang yang shalat, seperti: ketenangan batin, ketentraman hati
dan apalagi pahala tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada
syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai
dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada
ancaman keras dari Allah SWT.
A.
Dimensi sosial shalat
Allah SWT berfirman: “Dan
dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan munkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (Qs. Al-Ankabuut:45)
Dengan
jelas ayat di atas mengisyaratkan bahwa salah satu pencapaian yang dituju oleh
adanya kewajiban shalat adalah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari
kemungkinan berbuat jahat dan keji. Ini mengindikasikan bahwa shalat merupakan
salah satu rukun Islam yang mendasaar dan pijakan utama dalam mewujudkan sistem
sosial Islam. Kemalasan dan keengganan melaksanakan salat disamping sebagai
tanda-tanda kemunafikan, dan semakin lunturnya imannya seseorang, dalam skala
besar merupakan tahapan awal kehancuran komunitas muslim. Karena secara empirik
shalat merupakan faktor utama dalam proses penyatuan dan pembangunan kembali
kekuatan-kekuatan komunitas muslim yang sebelumnya rusak dan terpencar-pencar
sebagai akibat melalaikan mendirikan salat.
Oleh karena
itu Rasulullah SAW bersabda: "Sholat adalah tiang agama, barang siapa
menegakkannya, maka ia telah menegakkan agama, dan barang siapa merobohkannya,
maka ia telah merobohkan agama." (HR. Imam Baihaqi). Hal ini
mengindikasikan bahwa kekokohan sendi-sendi soasial masyarakat muslim akan
sangat tergantung kepada sejauh mana mereka menegakkan shalat yang
sebenar-benarnya. Apabila hal ini tidak menjadi prioritas utamanya, maka
kekeroposan sendi-sendi sosial kemasyarakatan akan menghinggapinya, yang berlanjut
kepada kehancuran umat Islam itu sendiri. Karena suatu bangunan itu kuat,
ketika tiangnya kokoh.
Shalat
diakhiri dengan salam, hal ini mengindikasikan bahwa setelah seorang hamba
melakukan hubungan (komunikasi) yang baik dengan Allah, maka diharapkan
hubungan yang baik tersebut juga berdampak pada hubungan yang baik kepada
sesama manusia. Dengan kata lain, jika seorang hamba dengan penuh kekhusyu’an
dan kesungguhan menghayati kehadiran Tuhan pada waktu shalat, maka diharapkan
bahwa penghayatan akan kehadiran Tuhan itu akan mempunyai dampak positif pada
tingkah laku dan pekertinyadalam kehidupan bermasyarakat.Hal ini diwujudkan
dengan jaminan melakukan apa saja yang dibenarkan syariah guna membantu
saudara-saudaranya yang memang butuh bantuan. Yang kaya membantu yang miskin,
yang kuasa membantu yang teraniaya, yang berilmu membantu yang masih belajar,
supaya terjadi saling hubungan yang serasi dan harmonis, Orang yang salatnya
baik, tidak akan pernah mengeluarkan ucapan dan atau perbuatan kepada sesamanya,
yang maksudnya memang jelek.
Orang yang
salatnya baik, akan bertindak santun dengan sahabatnya, tetangganya dan
siapapun juga, akan menghormati tamunya dengan penuh perhatian, dan akan
bertindak dan bertaaruf secara santun dengan saudaranya sesama manusia apalagi
terhadap saudaranya seiman, dengan tanpa membedakan baju dan golongannya. Orang
yang salatnya bagus bukan sekedar membekas hitam di keningnya, lebih dari itu
adalah bagaimana mengimplementasikan kasih sayangnya kepada lingkungannya
(rohmatun lilalamin).
Orang yang
salatnya baik justru dituntut lebih banyak kiprahnya dalam kehidupan sosial.
Keliru besar jika mereka yang shalat, hanya mengelompok, menyendiri dan
mengexklusifkan diri seolah hidup dalam ruang hampa sosial, dan menafikan dan
terkesan merendahkan pihak lain. Sungguh Allah membenci dan tidak menyukai
orang-orang yang membanggakan dirinya, angkuh, sombong dan merasa paling baik,
paling suci dibanding dengan yang lain. Intinya orang yang sholatnya baik
adalah tercermin dalam amal salehnya di luar sholat.
B.
Dimensi medis shalat
Rasulullah SAW bersabda: “Bagaimana
pendapatmu apabila seandainya di depan pintu salah seorang di antara kalian
terdapat sungai, dimana ia mandi pada sungai tersebut setiap hari sebanyak lima
kali, adakah daki yang akan tersisa pada badannya? Mereka menjawab: “Daki
mereka tidak akan tersisa sedikitpun”. Rasulullah bersabda: “Demikianlah
perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapuskan dosa-dosa dengannya”
(H.R Bukhari Muslim)
Sebuah
riset di Amerika yang diadakan Medical Center di salah satu universitas di sana
‘Pyok’ – seperti dilansir situs ‘Laha’- menegaskan,bahwa shalat dapat
memberikan kekuatan terhadap tingkat kekebalan tubuh orang-orang yang rajin
melaksanakannya melawan berbagai penyakit, salah satunya penyakit kanker. Riset
itu juga menegaskan, adanya manfaat rohani, jasmani dan akhlak yang besar bagi
orang yang rajin shalat.Riset itu mengungkapkan, tubuh orang-orang yang shalat
jarang mengandung persentase tidak normal dari protein imun Antarlokin
dibanding orang-orang yang tidak shalat. Itu adalah protein yang terkait dengan
beragam jenis penyakit menua, di samping sebab lain yang mempengaruhi alat
kekebalan tubuh seperti stres dan penyakit-penyakit akut.
Para
peneliti ini meyakini bahwa secara umum ibadah dapat memperkuat tingkat
kekebalan tubuh karena menyugesti seseorang untuk sabar, tahan terhadap
berbagai cobaan dengan jiwa yang toleran dan ridha. Sekali pun cara kerja
pengaruh hal ini masih belum begitu jelas bagi para ilmuan, akan tetapi cukup
banyak bukti atas hal itu, yang sering disebut sebagai dominasi akal terhadap
tubuh. Bisa jadi melalui hormon-hormon alami yang dikirim otak ke dalam tubuh
di mana orang-orang yang rajin shalat memiliki alat kekebalan tubuh yang lebih
aktif daripada mereka yang tidak melakukannya.
Di samping
itu, ada beberapa hasil riset medis yang memfokuskan pada gerakan-gerakan
shalat, misalnya: gerakan takbiratul ihram berhasiat melancarkan aliran darah,
getah bening (limfe) dan kekuatan otot lengan. Gerakan rukuk bermanfaat
untuk menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi tulang belakang (corpus vertebrae)
sebagai penyangga tubuh dan pusat syaraf. I’tidal yang merupakan variasi postur
setelah rukuk dan sebelum sujud merupakan latihan pencernaan yang baik. Pada
waktu sujud aliran getah bening dipompa ke bagian leher dan ketiak dan posisi
jantung di atas otak menyebabkan darah kaya oksigen bisa mengalir maksimal ke
otak, maka aliran ini berpengaruh pada daya pikir seseorang. Duduk yang terdiri
dari dua macam, yaitu iftirosy (tahiyyat awal) dan tawarruk (tahiyyat akhir)
yang perbedaannya terletak pada posisi telapak kaki juga memiliki manfaat
medis, saat iftirosy, kita bertumpu pada pangkal paha yang terhubung dengan
syaraf nervus Ischiadius, posisi ini menghindarkan nyeri pada pangkal paha yang
sering menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan, sedangklan duduk tawarruk
sangat baik bagi pria sebab tumit menekan aliran kandung kemih (urethra),
kelenjar kelamin pria (prostata) dan saluran vas deferens, jika dilakukan.
dengan benar, postur irfi mencegah impotensi. Gerakan salam, berupa memutarkan
kepala ke kanan dan ke kiri secara maksimal, bermanfaat sebagai relaksasi otot
sekitar leher dan kepala untuk menyempurnakan aliran darah di kepala yang bisa
mencegah sakit kepala dan menjaga kekencangan kulit wajah.
Dari sini
bisa di ambil konklusi, bahwa tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang
intens komunikasinya dengan Allah, melalui shalat yang khusyu’ sebagai
sarananya, akan berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sendi
kehidupan Sebab, pada saat shalat seorang hamba sedang ada dalam komunikasi
langsung dengan sumber energi dan kekuatan, yaitu Allah SWT. Jika kita sudah
dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan izin-Nya energi
dan kekuatan itu akan mengalir ke dalam diri kita. Sehingga dari sana
kemenangan dunia dan akhirat yang kita cita-citakan insyaallah bisa dicapai.
B. Keutamaan/Kegunaan/Manfaat Puasa Ramadhan & Fungsi/Tujuan
Puasa Di Bulan Ramadan Yang Suci
Puasa
wajib ramadhan adalah puasa dengan hukum wajib 'ain yang harus dilakukan oleh
setiap orang islam beriman di bulan ramadan yang telah dewasa (akil balig),
waras, mampu, merdeka dan tidak dalam safar sesuai dengan perintah langsung
dari Allah SWT dalam firmanNya di dalam Kita Suci Al-Qur'an.
Puasa
merupakan ibadah wajib yang ada dalam rukun islam dengan menahan lapar dan haus
serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar di
timur hingga terbenam matahari di barat. Orang yang melanggar aturan puasa akan
batal puasanya dan wajib mengganti puasanya dengan hari lain di luar romadon.
Firman
Allah Mengenai Puasa Ramadhan :
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa"
(Q.S. Al-Baqarah: 183)
(Q.S. Al-Baqarah: 183)
"(yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."(Q.S. Al-Baqarah: 184).
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran
bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya
kalian bersyukur.”(Q.S. Al-Baqarah: 185)
Fungsi / tujuan puasa selama satu bulan penuh di bulan suci
ramadhan adalah sangat baik, yaitu untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada
Tuhan yang menciptakan kita Allah SWT. Di samping itu juga terdapat banyak
sekali guna dan manfaat dari melaksanakan puasa ramadhan yaitu baik untuk
jasmani maupun rohani.
Berikut ini adalah beberapa Manfaat dan Hikmah Puasa
Ramadhan :
1. Membuat kita lebih taqwa
kepada Allah SWT.
2. Mendapatkan pahala yang
melimpah ruah.
3. Memberikan efek yang
menyehatkan tubuh kita dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
4. Melatih kita untuk menahan
nafsu bejat selama hidup di dunia fana.
5. Mendorong kita untuk selalu
berbuat kebajikan.
6. Bisa memasukkan kita ke dalam
surga jika kita telah mati.
7. Melatih sabar, pengendalian
diri, disiplin, jujur, emosi, dll.
8. Mempersempit jalan aliran
darah di mana setan berlalu-lalang.
9. Mempererat tali silaturahmi
dengan sahur dan buka puasa bersama.
10. Menghilangkan dosa di antara
manusia dengan saling maaf-memaafkan di hari lebaran idul fitri kembali ke
fitrah manusia.
Berikut ini adalah
beberapa Keutamaan Puasa Ramadhan :
1. Orang yang berpuasa ramadhan
bisa masuk ke dalam surga ar-raiyan.
2. Puasa bisa menjadi penebus
dosa.
3. Orang yang berpuasa akan
mendapatkan kegembiraan.
4. Puasa adalah penangkal.
5. Mendapatkan ganjaran dari
Allah tanpa hitungan.
6. Bau mulut orang yang
melakukan puasa bagi Allah SWT wanginya lebih wangi dari bau kesturi.
7. Puasa dan Al-quran memberikan
syafaat.
Puasa hanya wajib
bagi orang islam yang beriman kepada Allah SWT. Jika anda tidak beriman, maka
anda tidak wajib puasa. Selamat menunaikan ibadah Puasa bagi yang
menjalankannya. Semoga pol puasanya dan jangan lupa niat puasa sebelum
menjalankan ibadah puasanya
C.
Manfaat Zakat Sebagai Tatanan
Kehidupan Sosial
Dalam berbagai kesempatan seringkali dibicarakan tentang
beberapa kisah yang terjadi pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita
sudah hafal isi kisah tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak
terlupa, boleh jadi sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang
akan disampaikan di bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi
kembali kisah-kisah ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita
akan lihat sejumlah ayat Qur’an yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.
Di suatu tempat terlihat Rasulullah
saw berkumpul bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar
menyebut beberapa nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman
al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka
lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi,
para perintis perjuangan Islam.
Serombongan bangsawan yang baru
masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang di sekitar Nabi,
mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, “Kami
mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami.
Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai
kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk
dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka
dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama
mereka sesuka Anda.”
Uyainah bin Hishn menegaskan lagi,
“Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu yang dipakai
sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami sehingga kami tidak
berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak
berkumpul bersama kami.”
Tiba-tiba turunlah malaikat jibril
menyampaikan surat al-An’am [6] ayat 52: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka
menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun
terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab
sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka,
sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim.”
Nabi saw segera menyuruh kaum fukara
duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut
Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan-akan
memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.Setelah itu, turun lagi
surat al-Kahfi [18] ayat 28: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Sejak itu, apabila kaum fukara ini
berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan tempat sebelum orang-orang
miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam
kelompok mereka. Seringkali beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji Allah yang
menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama
mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim
dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum
orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka
bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.”
Sekarang bukalah cermin di hati
kita. Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam cermin itu. Apakah kita
seperti pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh orang miskin. Apabila
tamu datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara, dipinggirkan. Kota
baru gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru indah bila rumah-rumah
kumuh digusur. Ah…betapa perilaku kita lebih menyerupai pembesar quraisy
daripada perilaku Nabi Yang Mulia.
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu
dengan seorang sahabat, Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang
melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa tanganmu hitam, kasar dan
melepuh?” Sa’ad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi
keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,” seraya
mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang
tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan
yang hitam, kasar dan melepuh.
Bukalah cermin hati kita lagi.
Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan melepuh menunggu
uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita yang mau mencium
tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar akademik
yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas
bila orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa berat, andaikata
kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat,
bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan
dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah
kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai
rasa sayang kita pada mereka.
Di atas kita telah mengutip sejumlah
kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai ummatnya kita telah berikrar untuk
menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh teladan (uswatun hasanah).
Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita
buka Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an adalah rujukan kita yang pertama dalam hidup
ini.
1.
Surat al-Balad [90] ayat 10 -18 “Dan
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya
(denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu
apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan, atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan
kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang
beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan
kanan”
Ayat-ayat
di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan
harta kita. Al-Qur’an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan
mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang
miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi
contoh jalan yang sukar.
Mengapa
disebut jalan yang sukar? karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat
atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat
dan rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita
termasuk golongan yang kanan; ahli surga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi.
Apakah kita merasa sukar untuk beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya
cermin hati yang teramat dalam yang mampu menjawabnya dengan jujur.
2.
Surat al-Ma’arij [70] ayat 19-25 “Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia ditimpakesusahan
ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi
orang (miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta)”
Secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir
itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan
sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya pribadi, ayat di atas telah
menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering
berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita cenderung untuk
kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita
tersebut tidak menjelma atau dapat kita padamkan.Allah menyebutkan, paling
tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang secara kontinu. Kedua,
menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk
fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu memadamkan sifat keluh kesah
dan sifat kikir yang kita miliki.
Sekali lagi, bukalah cermin hati kita. Tahanlah nafas kita
untuk sejenak. Tidakkah kita rasakan bagaimana Allah menyinggung perilaku buruk
kita dalam ayat-ayat-Nya yang suci. Subhanallah….
3.
Surat al-Qalam [68] ayat 17-33 “Sesungguhnya
Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telahmenguji
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa merekasungguh-sungguh akan
memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan :insya Allah,
Lalu
kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang
tidur,maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka
panggilmemanggil di pagi hari
“Pergilah
di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
Maka
pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada
seorangMISKINpun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari
dengan niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu
(meonolongnya), Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya
kita benar-benaroarng-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari
memperoleh hasilnya)”
Berkatalah
seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku
telahmengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?”
Mereka
mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orangyang
zalim.”
Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya
cela mencela Merekaberkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini
adalah orang-orang yang melampaui batas.Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan
ganti kepada kita dengan(kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita
mengharapkan ampunan dariTuhan kita”
Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat
lebih besar jika mereka mengetahui”
Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang
terjadi sebelum masa Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan
sangat baik betapa harta manusia itu tak ada artinya dibandingkekuasaan Allah.
Kebun yang sudah sekian lama diurus dan tinggal sekejap mata saja untuk dipetik
hasilnya menjadi musnah terbakar. Apa kesalahan pemilik kebun tersebut sehingga
mendapat azab sedemikian rupa?
a.
mereka lupa bahwa Allah berkuasa
atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalamayat di atas ketika mereka tidak
menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar biasa.
Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan hidup
kita. Kita tak tahu “skenario” Allah terhadap diri kita.
b.
mereka bersifat kikir. Mereka sudah
bersiap-siap agar orang miskin tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen tiba.
Allah murka pada mereka. Allah turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat
Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah
azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi!
Cermin hati kita mengatakan bahwa agar tidak tertimpa azab
Allah di dunia, manakala kita memiliki kelebihan rezeki maka janganlah sungkan
untuk memberi sebagian pada orang miskin. Cermin hati telah berkata, mampukah
kita melaksanakan kata-hati kita?
Kalau Allah mampu memusnahkan dengan
amat mudah kebun yang siap dipanen, jangan-jangan Allah pun akan memusnahkan
sumber penghasilan kita, bila kita berlaku kikir! Na’udzu billah…
Demikianlah sekedar pengantar untuk
pengajian kita; sekedar saling ingat mengingatkan bahwa di cermin hati kita
telah tergambar sejumlah orang yang membutuhkan kepedulian kita. Persoalannya,
maukah kita melihat ke dalam cermin tersebut?
1.
Zakat Sebagai Landasan Sistem
Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi
tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan
bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah
pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah
pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang
dijadikan Allah di dalam pemilikan.
Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada
hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : “Sesungguhnya di
dalam harta itu ada hak selain zakat”. Tetapi zakat merupakan hak terpenting di
dalam harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam
persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Zakat adalah bukti (penyerahan)”.
Dalam masalah modal, Islam memiliki
prinsip-prinsip tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta adalah
tindakan tidak benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan zakat
merupakan pengejawantahan dalam masalah ini. Sebab, modal yang tidak
dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus
mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan
semakin menipisnya modal.Misalnya, seorang memiliki uang lima juta rupiah yang
tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak
2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang lima juta rupiah tersebut, kecuali
nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena itu, pemilik modal terpaksa harus
mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga
zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat
menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan ini pula kita dapat memahami
firman Allah: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs. At Taubah:34)”
Selama infaq di jalan Allah
ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka penimbunan
harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda: “Selama
kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan”.
Jadi, tidak mungkin terjadi
bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal, sebagai modal yang tidak
dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak orang
lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkaan keuntungan setelah
dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung kerugian. Misalnya,
dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal berhak mendapat
keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung kerugian, bila
terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang persoalan
harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak dengan
sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini
secara proporsional dan adil melalui semua institusi yang ada terutama melalui
instansi zakat (lembaga pengelola zakat). Harta menurut Islam, kalau
dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan atas kesediannya
menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak memperoleh keuntungan sebagai
imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung resiko kerugian.
Kepada pemilik modal diwajibkan
membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari keuntungan, tetapi juga dari modal
itu sendiri. Dengan demikian, ‘kelebihan nilai’ yang digambarkan Karl Marx
tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil yang
menjadi haknya. Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan masyarakat
yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang merupakan
kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).
D. Manfaat dan Keutamaan Ibadah
Haji
Oleh: Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin
bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah
(Mantan rektor Universitas
Islam Madinah, dan pengajar di Masjid Nabawi)
1. beberapa
keutamaan dan manfaat ibadah haji. Aku katakan:
Ibadah haji merupakan sebuah
ibadah dari berbagai macam ibadah yang Allah wajibkan. Allah jadikan ibadah ini
sebagai salah satu dari lima pondasi (rukun) yang dengannya akan tegak agama Islam
ini, dan ibadah haji ini juga merupakan sebuah ibadah yang dijelaskan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagaimana
dalam hadits yang shahih:
بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله
إلاَّ الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج بيت
الله الحرام
“Islam dibangun
di atas lima (rukun): (1) Persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali hanya Allah dan persaksian bahwasanya Muhammad adalah
Rasulullah, (2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa pada
bulan Ramadhan, dan (5) Menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.”
Sesungguhnya Rasulullah telah
menunaikan ibadah haji bersama para shahabatnya pada tahun ke-10 Hijriyah.
Dalam momen tersebut, beliau menjelaskan kepada umatnya tentang tata cara
pelaksanaan ibadah ini, dan sekaligus beliau juga memberikan dorongan kepada
umatnya untuk memperhatikan setiap yang diucapkan dan diamalkan oleh beliau
dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Beliau bersabda :
خذوا عني مناسككم
فلعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا
“Ambillah oleh kalian
dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan
manasik kalian, karena barangkali aku tidak bisa lagi bertemu dengan kalian
setelah tahun ini.”
Oleh sebab itulah, haji beliau
tersebut disebut dengan haji wada’ (haji perpisahan).
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam juga memberikan semangat kepada umatnya untuk melaksanakan ibadah
haji, menjelaskan tentang keutamaannya, serta menerangkan tentang janji Allah
berupa pahala yang melimpah bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji dengan
sebaik-baiknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من حج ولم يرفث ولم
يفسق رجع كيوم ولدته أمه
“Barangsiapa yang
melaksanakan ibadah haji, kemudian dia tidak mengucapkan kata-kata yang keji
atau kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka dia akan kembali bersih (dari
dosa-dosa) seperti hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim].
Dan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda:
العمرة إلى العمرة
كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلاَّ الجنة
“Dari umrah yang satu ke
umrah berikutnya adalah sebagai penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Dan
haji yang mabrur, tidaklah ada balasan baginya kecuali Al-Jannah.” [Muttafaqun
‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Dsebutkan pula di dalam
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga dari shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan:
سئل رسول الله صلى
الله عليه وسلم أي العمل أفضل؟ قال: إيمان بالله ورسوله، قيل : ثم ماذا؟ قال:
الجهاد في سبيل الله، قيل: ثم ماذا؟ قال: حج مبرور
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah ditanya: ‘Amalan apakah yang paling utama?’ Maka beliau
menjawab: ‘Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Ditanyakan kembali kepada
beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Berjihad di jalan Allah.’ Dan
ditanyakan kembali kepada beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Haji
yang mabrur’.”
Dan di dalam Shahih Muslim
disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Amr
bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu ketika dia masuk Islam:
أما علمت أن الإسلام
يهدم ما كان قبله وأن الهجرة تهدم ما كان قبلها وأن الحج يهدم ما كان قبله
“Tidakkah engkau tahu
bahwasanya Islam menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan
bahwasanya hijrah menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan juga
bahwasanya haji menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu.”
Al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahihnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يا رسول الله نرى
الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: لا، ولكن أفضل الجهاد حج مبرور
“Wahai Rasulullah, kami
mengetahui bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, tidakkah kami juga ikut
berjihad?” Beliau menjawab: “Bukan seperti itu, akan tetapi jihad yang paling
utama (bagi wanita) adalah haji yang mabrur.”
Dari hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas dan juga (dalil-dalil) yang lainnya, menjadi jelaslah bagi
kita tentang keutamaan ibadah haji dan betapa besarnya pahala yang telah Allah
persiapkan bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah tersebut. Dan menjadi
jelas pulalah bahwa besarnya pahala yang akan diraih itu adalah hanya bagi
barangsiapa yang ibadah hajinya tergolong haji yang mabrur.
Maka apakah yang dimaksud
dengan kemabruran ibadah haji yang dijanjikan oleh Allah pahala yang cukup
besar itu?
Sesungguhnya kemabruran ibadah
haji itu akan diraih dengan beberapa hal, yaitu hendaknya seorang muslim
menunaikan ibadah hajinya dengan sempurna, mengikhlaskan amalannya tersebut
semata-mata untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan ketika menunaikan
(manasik)nya sesuai dengan sunnah (dan tata cara yang pernah diajarkan oleh)
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan hendaklah dia menjaga
pelaksanaan ibadah tersebut dengan mengamalkan segala yang diperintahkan oleh Allah
dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.
Melaksanakan segala yang
diperintahkan (oleh Allah) dan meninggalkan segala yang dilarang (oleh Allah)
sebenarnya merupakan kewajiban seorang muslim sepanjang hidupnya. Akan tetapi
kewajiban ini lebih ditekankan lagi pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu
yang memiliki keutamaan. Karena Allah menciptakan makhluk-Nya adalah agar
mereka beribadah kepada-Nya, yaitu taat kepada-Nya dengan melaksanakan segala
yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“(Allah) yang menciptakan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih
baik amalannya.” [Al-Mulk: 2]
Allah ta’ala juga
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku
menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
[Adz-Dzariyat: 56]
Sehingga seorang muslim itu
harus senantiasa berada di atas ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari
kemaksiatan kepada-Nya, baik di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, dan juga
sebelum pelaksanaan ibadah haji ataupun setelahnya. Yang demikian ini adalah
agar akhir kehidupannya ditutup dengan kesempurnaan yaitu dalam keadaan berada
di atas kebaikan. Sehingga akhir hidupnya itu ditutup dalam keadaan baik dan
terpuji, sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ
وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah
kalian sekali-kali mati melainkan dalam keadaan Islam.” [Ali
‘Imran: 102]
Dan juga firman Allah ta’ala:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ
حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada
Rabbmu sampai datang kepadamu ‘al-yakin’ (kematian).” [Al Hijr: 99]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
وإنما الأعمال بالخواتيم
“Sesungguhnya
amalan-amalan itu tergantung pada akhir kehidupannya.”
Dan di antara bentuk kebaikan
yang dengannya akan diraih kemabruran ibadah haji adalah hendaknya bersemangat
di tengah-tengah pelaksanaan ibadah hajinya untuk merenungi rahasia-rahasia dan
pelajaran-pelajaran yang terkandung dalam ibadah haji tersebut dan juga memperhatikan
beberapa manfaat (haji) yang sangat banyak, baik manfaat tersebut adalah
manfaat yang bisa segera dirasakan, maupun manfaat yang baru bisa dirasakan
setelah beberapa waktu kemudian. Secara umum manfaat-manfaat tersebut telah
Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya :
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Berikut ini adalah uraian
beberapa manfaat dan rahasia (haji) sebagaimana yang telah isyaratkan dalam
ayat di atas:
1.
Sesungguhnya ikatan yang terjadi antara seorang
muslim dengan Baitullah Al-Haram merupakan ikatan yang sangat kokoh. Di mana
ikatan tersebut mulai tumbuh sejak ia menyatakan diri sebagai seorang muslim,
dan ikatan ini akan terus menerus bersamanya selama ruh masih berada di kandung
badan.
Maka seorang bayi yang
dilahirkan dalam keadaan Islam, pertama kali yang menyentuh pendengarannya dari
hal-hal yang Allah wajibkan adalah rukun Islam yang lima, yang salah satunya
adalah malaksanakan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Dan seorang kafir, apabila dia
(masuk Islam dan) bersaksi dengan persaksian yang benar kepada Allah tentang
keesaan-Nya dan juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah sebagaimana
persaksian yang dilakukan oleh kaum muslimin, maka yang pertama kali diwajibkan
kepadanya dari kewajiban-kewajiban dalam Islam setelah dua kalimat syahadat
adalah menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Rukun Islam setelah dua
kalimat syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu yang Allah wajibkan kepada
kaum muslimin dalam setiap harinya, dan Allah jadikan ‘menghadap ke arah
Baitullah Al-Haram’ sebagai salah satu syarat dari syarat-syarat shalat.
Sehingga ikatan antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram adalah
terus-menerus dalam setiap hari, dia menghadap ke arahnya sesuai dengan
kemampuan dirinya dalam setiap shalat yang dia laksanakan, baik shalat wajib
maupun shalat nafilah (sunnah), sebagaimana dia juga menghadap ke arah
Baitullah ketika berdoa.
Hubungan
erat yang membuahkan keterikatan antara hati seorang muslim dengan rumah
Rabbnya (Baitullah) yang bersifat terus menerus ini mau tidak mau akan
mendorong seorang muslim untuk selalu ingin menghadapkan diri kepada Al-Baitul
‘Atiq (Baitullah), agar dengannya ia merasakan kenikmatan melihat rumah
Allah dengan pandangan matanya dan agar tergerak hatinya untuk menunaikan
ibadah haji yang telah Allah wajibkan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan
untuk menunaikannya.Maka bagi seorang muslim, kapan saja dia telah memiliki
kemampuan untuk menunaikan ibadah haji, hendaklah ia bersegera untuk
menunaikannya, sebagai kewajiban yang harus dilaksanakannya, dan dalam rangka
berharap untuk dapat melihat rumah Allah yang ia menghadapkan wajah ke arahnya
di setiap shalat, dan juga dalam rangka berharap agar dapat menyaksikan
berbagai manfaat yang telah Allah diisyaratkan dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Apabila seorang muslim telah
sampai di Baitullah, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri rumah yang
paling mulia dan tempat yang paling suci di muka bumi, yaitu Ka’bah Al-Musyarrafah
(yang dimuliakan), sebagai tempat pertemuan bagi seluruh kaum muslimin di dalam
shalat-shalat mereka, baik kaum muslimin dari belahan bumi timur maupun barat.
Dia pun juga menyaksikan kaum muslimin berdiri mengitari Ka’bah membentuk
formasi lingkaran tatkala melaksanakan shalat, lingkaran paling kecil adalah
yang ada di sekitar (paling dekat) Ka’bah, kemudian lingkaran yang berikutnya
dan seterusnya sampai lingkaran yang terbesar di ujung dunia.
Di dalam shalat-shalatnya,
kaum muslimin senantiasa dalam keadaan menghadap ke arah rumah Allah, mereka
seperti titik-titik yang membentuk lingkaran, baik yang kecil maupun yang
besar, dengan rumah Allah (Ka’bah Al-Musyarrafah) sebagai pusatnya.
2.
Ketika Allah telah memudahkan bagi seorang muslim
untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan kemudian ketika ia
sampai ke miqat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam untuk memulai ihram, maka dia pun melepas semua
pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian ihram yaitu mengenakan
sarung pada bagian bawah tubuhnya dan memakai selempang pada bagian atasnya
kecuali kepala (dalam keadaan kepalanya terbuka).
Maka dalam keadaan pakaian
yang demikian, semua jama’ah haji berada dalam keadaan yang sama. Tidak ada
bedanya antara yang kaya dengan yang miskin, dan juga antara pemimpin dengan
rakyat. Kesamaan mereka dalam keadaan seperti ini mengingatkan kepada kesamaan
dalam memakai kain kafan ketika meninggal dunia. Karena ketika seorang muslim
meninggal dunia, maka semua pakaiannya dilepas kemudian dibungkus dengan
beberapa kain (kafan). Sehingga dalam hal ini tidak ada bedanya antara seorang
yang kaya dengan yang miskin.Apabila seorang jama’ah haji melepas pakaiannya
kemudian menggantinya dengan pakaian ihram, maka hal ini mengingatkannya kepada
sebuah kematian yang merupakan akhir dari kehidupannya di dunia ini untuk
kemudian memulai kehidupan di akhirat. Sehingga dengan hal ini, dia akan
mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kematian yang akan menjemputnya dengan
berbagai amalan yang shalih dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.
Persiapan tersebut adalah sebagai bekal bagi dirinya menuju akhirat,
sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَتَزَوَّدُواْ
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” [Al-Baqarah: 197]
Oleh sebab itulah, ketika ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi: “Kapankah datangnya hari kiamat?”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang
telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Sebuah peringatan dari Nabi shalawatullahi
wasalamuhu ‘alaihi bahwa sesuatu yang paling penting bagi diri seorang
muslim adalah agar seharusnya dia senantiasa memperhatikan beberapa hal yang
akan dihadapinya setelah kematian. Kemudian dia bersiap-siap menghadapinya pada
setiap keadaannya dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya.
3.
Kemudian apabila seorang muslim telah masuk pada
pelaksanaan ibadah haji, dia akan bertalbiyah dengan mengucapkan
kalimat-kalimat tauhid sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
لبيك اللهم لبيك،
لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
“Aku
sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu
yang tidak ada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala
puji dan nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, yang tidak ada sekutu
bagi-Mu.”
Dia
mengucapkan talbiyah ini dalam keadaan dirinya merasakan kandungan kalimat
tersebut, berupa tauhid (mengesakan) Allah dalam ibadah, bahwasanya Allah
adalah satu-satu Dzat yang dikhususkan pada-Nya semua bentuk peribadatan tanpa
selain-Nya. Sebagaimana Dia subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya
Dzat yang menciptakan dan mewujudkan makhluk, maka wajib untuk menjadikan Dia
sebagai satu-satunya Dzat yang diibadahi tanpa selain-Nya, siapapun dia. Dan
memalingkan (mempersembahkan) salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah
merupakan bentuk kezhaliman yang paling zhalim dan kebatilan yang paling batil.
Kalimat yang
diucapkan oleh seorang muslim tersebut adalah sebagai sambutan terhadap
panggilan Allah kepada para hamba-Nya dalam pelaksanaan ibadah haji ke
Baitullah Al-Haram. Dengannya seorang muslim akan merasakan betapa agungnya
kedudukan Sang Penyeru, yaitu Allah dan betapa pentingnya sesuatu yang
diserukan itu. Sehingga dia berusaha untuk memenuhi panggilan tersebut sesuai
dengan tata cara yang diridhai oleh Allah ta’ala, dan dia pun
mengetahui bahwa inti dari ibadah haji dan juga ibadah-ibadah yang lainnya
adalah
Ikhlas kepada
Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kalimat tauhid yang terkandung
dalam talbiyah di atas.
Mutaba’ah
(mencontoh/mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam pelaksanaan manasik haji, beliau bersabda:
خذوا
عني مناسككم
“Ambillah
oleh kalian dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam
menunaikan manasik kalian.”
4.
Ketika seorang muslim telah sampai di Ka’bah yang
mulia, dia akan menyaksikan pelaksanaan ibadah thawaf yang ada di sekitar
Ka’bah, yang mana thawaf ini tidak boleh dilaksanakan dalam syarilat Islam
kecuali dikhususkan pada tempat ini saja. Semua bentuk pelaksanaan thawaf yang
dilakukan pada selain tempat ini, maka itu merupakan syari’at dari setan, serta
pelakunya diancam dengan firman Allah ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء
شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai
tandingan-tandingan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang
tidak diizinkan oleh Allah?” [Asy-Syuura: 21]
Dia juga akan menyaksikan
dicium dan diusapnya Hajar Aswad dan diusapnya Rukun Yamani. Tidaklah datang
dari syari’at Islam yang menganjurkan untuk mencium atau mengusap batu-batuan
atau bangunan kecuali pada dua tempat (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) ini saja.
Ketika Umar bin Al-Khaththab
mencium Hajar Aswad, beliau menerangkan bahwa perbuatan yang beliau lakukan
tersebut adalah semata-mata mengikuti contoh Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam tatkala mencium Hajar Aswad. Kemudian beliau mengatakan
kepada Hajar Aswad:
ولولا أني رأيت النبي
صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك
“Kalaulah seandainya aku
tidak melihat Nabi menciummu, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
5.
Seorang jama’ah haji akan menyaksikan dalam
pelaksanaan ibadah hajinya tersebut pertemuan akbar kaum muslimin, yaitu pada
hari Arafah di padang Arafah, saat para jama’ah haji berwukuf secara
bersama-sama di tempat itu dalam keadaan bertalbiyah dan bertahlil kepada
Allah, memohon kebaikan dunia dan akhirat.
Pertemuan akbar kaum muslimin
ini akan mengingatkan mereka kepada padang mahsyar di hari kiamat yang semua
umat manusia dari awal (zaman) sampai akhir (zaman) bertemu dan berkumpul di
tempat tersebut, menunggu keputusan Allah untuk kemudian mereka menuju tempat
tujuan yang terakhir sesuai dengan amalan-amalan yang mereka kerjakan. Apabila
mereka mengamalkan amalan-amalan yang baik maka akan mendapatkan balasan
kebaikan, dan jika mereka mengamalkan amalan-amalan yang jelek maka akan
mendapatkan balasan kejelekan.
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku hamba dan utusan Allah,
memintakan syafaat kepada Allah untuk mereka, agar Allah segera memberi
keputusan-Nya. Maka Allah pun memberikan syafaat-Nya (kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam). Itulah Al-Maqamul Mahmud (kedudukan yang
terpuji), yang semua umat manusia mulai dari awal (zaman) sampai akhir (zaman)
memberikan pujian atas beliau. Dan Inilah yang disebut dengan Asy-Syafa’atul
‘Uzhma, yang dikhususkan hanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan tidak ada seorang pun yang memilikinya baik dari kalangan
malaikat yang didekatkan maupun para nabi yang diutus.Dan dalam pertemuan akbar
umat Islam tersebut, baik di padang Arafah maupun di tempat-tempat
pelaksanaan ibadah haji yang lainnya, kaum muslimin dari penjuru timur dan barat
saling bertemu, mereka saling berkenalan dan memberikan nasehat, serta sebagian
mereka mengetahui keadaan sebagian yang lainnya. Mereka bersama-sama dalam
suasana kegembiraan dan rasa senang, sebagaimana sebagian mereka bersama-sama
dengan sebagian yang lain ketika mengalami sakit, sehingga mereka menunjukkan
apa yang sudah semestinya mereka lakukan kepada orang lain. Dan mereka juga
saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan sebagaimana yang telah Allah ta’ala
perintahkan.
Inilah
beberapa (sebagian) manfaat yang aku sebutkan dari keseluruhan manfaat yang
banyak sekali, yang secara umum telah Allah ta’ala sebutkan dalam
firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Manfaat terbesar bagi seorang
muslim setelah dia selesai dari pelaksanaan ibadah haji adalah hendaknya ia
berusaha agar ibadah hajinya tersebut diterima, dan hendaknya keadaan dirinya
setelah menunaikan ibadah haji adalah lebih baik daripada sebelumnya. Sehingga
dia berusaha untuk menjadikan ibadah hajinya sebagai langkah awal di dalam
melakukan berbagai perubahan dirinya, baik dalam hal perilaku hidup maupun
amalan-amalan kesehariannya, dia mengubah kejelekan dirinya dengan kebaikan dan
mengubah dirinya dari kebaikan kepada keadaan yang lebih baik lagi.
Dan hanya kepada Allah tempat
memohon semoga Dia memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin agar mereka
diberi kefahaman dalam urusan agama mereka dan kekokohan di atasnya, dan agar
Allah mengokohkan kedudukan kaum muslimin di muka bumi, serta menolong mereka
atas musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penolong
dan Maha Mampu atas itu semua.
وصلى الله وسلم وبارك
على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=353595
daftar pustaka
TUGAS
PRAKTEK IBADAH
MAMPAAT MELAKSANAKAN SHOLAT,PUASA,ZAKAT,DAN HAJI
Dosen Pengampu :
bpk safarudin

DISUSUN OLEH :
v
ZULKARNAIN
Ruang : E
Semester Ke-4
Prodi : S.1 Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT )
KABUPATEN
TEBO
TAHUN AKADEMIK 2012 – 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan resume ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
resume ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman
bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga resume ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
resume ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
resume ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
resume ini.
Muara
Tebo, 01 juni 2013
Penyusun
:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar