Khomr
Asbab an Nuzul ayat mengenai keharaman khamar ialah
sebagai berikut :
سْأَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ
الْعَفْوَ
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” Yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Rasulullah juga bersabda:
وإنِّي أَنْهَكُمْ عَنْ
كُلِّ مُسْكِرٍ
“Dan aku melarang kalian dari
segala yang memabukkan.” (HR. Abu Dawud no. 3677, bab al-’inab
yu’shoru lil khomr)
“Khomr yang diharamkan dalam syariat adalah apa
yang menutup akal.”
Meskipun ahli
bahasa berbeda pendapat tentang definisi khomr menurut bahasa… kalaupun
seandainya menurut bahasa khomr adalah sesuatu yang memabukkan yang khusus
berasal dari anggur. Namun yang menjadi patokan adalah definisi menurut hukum
syar’i, telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa sesuatu yang
memabukkan yang berasal dari selain anggur (juga) dinamakan khomr dan definisi
menurut hukum syar’i dikedepankan atas definisi menurut bahasa.” (Fathul
Bari, 10/47)
Khomr menurut
istilah syariat (terminologi) adalah segala sesuatu yang bisa memabukan tanpa
membedakan apakah dari bentuknya nampak bahwa ia memabukan atau bentuknya tidak
menunjukkan demikian, dan tanpa memandang dari zat apakah dibuat khomr
tersebut, sama saja apakah terbuat dari anggur atau gandum atau nira atau yang
lainnya, tanpa memandang apakah berbentuk cairan ataukah berupa zat padat, dan
tanpa memandang apakah cara penggunaannya dengan diminum ataukah dengan dimakan
atau dengan dihirup, dimasukkan melewati suntikan atau dengan cara apapun,
inilah yang di tunjukan oleh hadits-hadits Nabi dan atsar para
sahabat.
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa zat khomr adalah najis, namun yang benar menurut Syaikh Utsaimin zat khomr tidaklah
najis namun hanyalah maknanya yang nHal ini dikarenakan hal-hal berikut:
Pertama, Karena tidak ada dalil akan najisnya zat khomr.
Dan jika tidak ada dalil yang menunjukkan akan najisnya zat khomr maka zat
khomr adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci,
Dan tidak setiap yang haram maka otomatis najis, racun haram namun tidak najis.
Kedua, Tatkala turun ayat pengharaman khomr maka khomr
ditumpahkan di pasar-pasar yang ada di kota Madinah, kalau seandainya khomr itu
zatnya najis maka akan diharamkan juga penumpahannya di jalan-jalan yang
dilewati orang-orang sebagaimana diharamkannya menumpahkan air kencing di
pasar-pasar tersebut
Ketiga, Tatkala
khomr diharamkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana bekas diletakkan khomr sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci
bejana-bejana tempat diletakkannya daging keledai negeri tatkala diharamkannya.
Maka jika seandainya zat khomr itu najis maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan memerintahkan para sahabat untuk mencuci bejana-bejana mereka
yang bekas diletakkan khomr.
v Menurut Ibnu Taimiyah
Ia berkata, “Berobat dengan
memakan lemak babi hukumnya tidak boleh adapun berobat dengan memoleskan minyak
babi tersebut kemudian nantinya dicuci maka hukumnya dibangun di atas hukum
tentang menyentuh najis -tatkala dalam keadaan di luar shalat-, dan para ulama
khilaf tentang hukum permasalahan ini. Dan yang benar hukumnya adalah boleh
jika dibutuhkan sebagaimana dibolehkannya seseorang untuk beristinja’ (cebok)
dengan tangannya dan menghilangkan najis dengan tangannya. Dan apa-apa yang
dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan, namun tidak mendesak hingga sampai pada
keadaan darurat) maka boleh pula digunakan untuk berobat sebagaimana dibolehkan
berobat dengan menggunakan memakai kain sutra menurut pendapat yang paling
benar dari dua pendapat.
Syaikh Utsaimin
berkata, “Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) telah membedakan antara memakan dan
selain memakan dalam penggunaan benda-benda yang najis, apalagi dengan alkohol
yang zatnya tidak najis, karena jika alkohol bukanlah khomr maka jelas akan
kesuciannya dan jika ia merupakan khomr maka yang benar zatnya pun tidak najis”.
KESIMPULAN
Oleh
karenanya maka penggunaan alkohol
pada dasarnya hukumnya tidaklah mengapa insya Allah, karena Allah
telah menciptakan bagi kita seluruh yang ada di muka bumi ini dan telah
menundukkan apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dan bukanlah hak kita untuk
menahan sesuatu dan melarang hamba-hamba Allah dari sesuatu tersebut kecuali
dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.
Jika
dikatakan, “Bukankah tatkala khomr diharamkan, khomr-khomr tersebut (langsung)
ditumpahkan?”
“Jawabannya
adalah hal itu menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan perintah dan untuk
memutuskan hubungan jiwa dengan khomr, lagi pula kita tidak melihat adanya
manfaat khomr jika disimpan pada waktu itu, Allah lah yang lebih mengetahui.”
(Dari Fatawa Syaikh Utsaimin, no. 21
Maka di
katakan bahwasanya penggunaan khomr untuk selain diminum hukumnya adalah boleh
karena hal ini tidak sesuai dengan firman Allah:0)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar