Bicara Ahlussunnah Wal jama'ah , NU sudah remi menyatakan
bahwa paham keagamaan yg dianut adalah paham AhlusSunnah Wal Jama'ah ( ASWAJA)
, namun apakah paham ini hanya milik NU sendiri ? Tentu NU sebagai Organisasi
yg berjiwa besar dan selalu mengutamakan kepentingan Umat tetap jujur dan
terbuka menyatakan bahwa paham ini merupakan Paham yg dianut Umat Islam ( bukan
hanya NU ) , berikut kutipan mengenai arti Paham ASWAJA versi NU yg
kami dapat dari Web
Ponpes Attohirriyyah
Ahlusssunnah
wa al-Jama’ah (ASWAJA)pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang
diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, secara embrional, ASWAJA
sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Hanya saja penamaan Ahlussunnah wa al-Jamaah
sebagai sebuah nama kelompok tidaklah
lahir pada masa Rasulullah, tetapi baru muncul pada akhir abad ke 3 Hijriyah. Dalam
catatan sejarah pemikiran Islam, Al-Zabidi adalah ulama yang pertama kali
mengenalkan istilah Ahlussunnah wa al-Jamaah. Beliu mengatakan “ kalau
dikatakan Ahlussunnah wa al-Jamaah, maka yang dimaksud adalah kelompok ummat
Islam yang mengikuti imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang ilmu Tauhid.
Namun demikian rumusan al-Zabidi di atas tentu hanya satu versi dari sebuah
rumusan definisi ASWAJA di antara definisi-definisi lainnya.
Salah satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan
ajaran ASWAJA sebagai dasar ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama
(NU). Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki
karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim
lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA
yang dikembangkan berporos
pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Di
bidang Aqidah,
model yang diikuti oleh NU
adalah pemikiran-pemikiran
aqidah yang dikembangkan
oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang
Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan
empat imam madzhab (aimmat al- madzahib al-arba’ah)
yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid
al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.
Dari
berbagai hasil telaah terhadap berbagai perkembangan pemikiran di kalangan
ulama Ahlussunnah wa al-Jamah dari kelompok salafusshalih dapat dirumuskan
beberapa karakteristik dasar dari ajaran agama Islam berhaluan ASWAJA
sebagaimana di pahami
oleh orang NU. Dalam Musyawarah Nasional di
Suarabaya tahun 2006, telah
ditetapkan
bahwa Khashaish/karakteristik doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
1. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat),
artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang
) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul
Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran),
artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara
pikir, dan budayanya berbeda.
3.
Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan
perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa
al-ashlah).
4.
Fikrah tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan
kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.
Fikrah manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka
berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh
Nahdlatul Ulama.
Pemahaman tentang paham Ahlus Sunnah
wal Jama’ah sangat penting bagi warga NU, Karena Aswaja
merupakan fundamen NU dalam membangun gerakan dan berkhidmat kepada
umat. Dengan sendirinya seluruh metode berpikir (manhaj al-fikri)dan
metode pergerakan (manhaj al-haraki) warga, terutama pengurus NU
dan lembaga di bawahnya, harus merujuk kepada konsep dan semangat Aswaja.
Madzhab Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah ( aswaja
) dalam pandangan NU
merupakan pendekatan yang multidimensional
dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf. Ketiganya
merupakan satu kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi
yang berlawanan. Hanya saja dalam prakteknya, dimensi ajaran fiqh (hukum Islam)
jauh lebih dominan dibanding dimensi yang lain.
Dalam
pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran
yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah ada
ketentuanya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum
ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan
hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini
merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam
untuk megembangkanya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al
al-‘illat (hukum itu didasarkan pada ada dan tidaknya alas an hukum
yang mendasarinya) dengan mendasarkan pada logika sebab akibat (causality)
yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat.
Formulasi
pemahaman keagamaan NU terhadap ASWAJA yang mengikuti pola/model ulama mazdhab
bukan berarti NU puas dengan situasi Jumud/stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan
oleh kelompok “Islam
Modernis”. Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU
justeru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran
Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah
Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab
secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji(dimensi
metodologis/istinbathi).
Sedangkan
basis sosial warga NU adalah masyarakat muslim yang secara keagamaan pada
umumnya berbasis pendidikan pesantren baik masyarakat pedesaan maupun
perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada
tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik
dalam maupun luar negeri.
Pergeseran
warga dan basis sosial NU ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran
keagamaan didalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya
perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang
cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli(materi/tekstual)
dan kubu yang mencoba mengembangkan pemahaman secara manhaji(metodologis)
dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif.
Dengan mendasarkan pada semangat inti ajaran ASWAJA
tawassuth, tawazun dan tasamuh, maka strategi perjuangan/dakwah NU menuju ‘izzul islam wal muslimin lebih
pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga
bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya
local sebagai instrumen dakwahnya dengan melakukan tranformasi social
menuju ‘izzul Islam wal muslimin dengan mendasarkan pada
beberapa ayat al-Qur’an yaitu: surat An-Nahl: 125, Ali Imron: 104, 110, 112,
Al-Anbiya: 107.
Dalam pandangan NU
perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan
memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling
mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama
(bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan
cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap,
maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu
tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika
zaman.
Prinsip dasar yang
dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan
khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah
al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah “al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid
al-ashlah”yaitu
memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru
yang lebih baik.
Proses dialektika Islam
dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya sintetis
merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan system
budaya local. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai
instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa
religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat
akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
Penulis Dr. Ridwan, M. Ag (Ketua LAKPESDAM NU Kabupaten
Banyumas dan Ustadz Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah, Purwokerto Banyumas.)
Mgm casino: How to gamble online and win real money
BalasHapusThe casino has a progressive jackpot jackpot that is worth up to $1000 광주 출장안마 per spin, or 포천 출장안마 4x your bet. The 순천 출장샵 game pays 창원 출장샵 out at any 화성 출장샵 of the 4x-4, 4x-6, or