MAKALAH
ilmu pendidikan islam
Peserta didik dalam ferspektif
islam
DISUSUN
OLEH :

DOSEN PEMBIMBING :

Ruang : E
Semester Ke-4
Prodi : S.1 Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT )
KABUPATEN TEBO
TAHUN
AKADEMIK 2010 - 2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Teriring
do’a dan restu atas kehadirat Allah SWT dan karunianyalah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini meskipun masih memiliki banyak kekurangan. Sungguh
Maha Besar Allah dengan segala kesempurnaanNya.
Maha
Suci Allah yang telah mengutus seorang Rasul yang guna menyempurnakan akhlakul
karimah. Oleh karena itu salawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad
SAW kami kirimkan diaman beliau telah menyeruh kepada yang merasa ummat beliau
untuk meuntut ilmu. Beliau juga merupakan revolusioner sejati, dimana beliau
merubah peradaban yang penuh dengan kejahiliaan menuju peradaban yang mahiriah.
Dan patutlah bagi stiap manusia yang mengaku ummat beliau untuk mengikuti
setiap sunnah – sunnah beliau beserta perintahnya, diantaranya menuntut ilmu.
Makalah
yang kami sajikan bukanlah makalah yang penuh dengan kesempurnaan, karena yang
membuat makalah ini juga masih jauh dari kesempurnaan, dengan ini kritik dan
saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kami
berharap makalah ini bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkannya, dan mohon
dimaklumi apa adanya.
Muara tebo,28 afril 2013
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian peserta didik
B.
Esensi peserta didik dalam falsafat pendidikan islam
C.
Potensi/fitra peserta didik
D.
Tugas dan tanggung jawab peserta didik
E.
Sifat-sifat peserta didik
F.
Etika peserta didik
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan
2.
SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.
latar belakang
Secara sederhana, pendidikan Islam dapat difahami sebagai suatu
usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya
manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
sesuai dengan norma Islam. M. Arifin menuliskan bahwa hakikat pendidikan Islam
adalah usaha orang dewasa Muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan
membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) peserta didik
melalui ajaran islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian memberi makan jiwa peserta
didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan
menumbuhkan kemampuan dasar manusia.
Dalam dunia pendidikan ada beberapa pandangan yang berkembang
berkaitan dengan peserta didik. Ada yang mendefenisikan peserta didik sebagai
manusia belum dewasa, dan karenanya ia membutuhkan pengajaran, latihan, dan
bimbingan dari orang dewasa atau pendidik untuk mengantarkannya menuju pada
kedewasaan. Ada pula yang berpendapat bahwa peserta didik adalah manusia yang
memiliki fitrah atau potensi untuk mengembangkan diri. Fitrah atau potensi
tersebut mencakup akal, hati, dan jiwa yang mana kala diberdayakan secara baik
akan menghantarkan seseorang bertauhid kepada Allah Swt. Kemudian, adapula yang
berpendapat bahwa peserta didik adalah setiap manusia yang menerima pengaruh
positif dari orang dewasa atau pendidik. Dalam arti teknis, bahkan ada yang
menyatakan bahwa peserta didik adalah setiap anak yang belajar disekolah atau
lembaga-lembaga pendidikan formal.
Peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi
pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan
bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong
yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus
aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam
upaya pengembangan keilmuannya.Eksistensi peserta didik sebagai salah satu sub
sistem pendidikan Islam sangatlah menentukan. Karena tidak mungkin pelaksanaan
pendidikan Islam tidak bersentuhan dengan individu-individu yang berkedudukan
sebagai peserta didik. Pendidik tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran
peserta didik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah
kunci yang menentukan terjadinya interaksi edukatif, yang pada gilirannya
sangat menentukan kualitas pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peserta Didik
Dalam usaha mendefenisikan istilah peserta didik, terlebih dahulu
perlu dipahami beberapa sebutan lain dalam Bahasa Indonesia, yaitu istilah
murid, dan peserta didik. Istilah murid dipahami sebagai orang yang sedang
belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Peserta didik
dipahami sebagai pendidik menyayangi murid sebagaimana anaknya sendiri dan
dalam hal ini faktor kasih sayang pendidik terhadap peserta didik dianggap
kunci keberhasilan pendidikan. Adapun istilah peserta didik adalah sebutan yang
paling mutakhir, istilah ini menekankan pentingnya peserta didik berpartisipasi
dalam proses pembelajaran.Dengan demikian, menurut Ahmad Tafsir yang dikutip
oleh Zainuddin et.al perubahan sebutan dari murid ke peserta didik lalu menjadi
peserta didik, bermaksud memberikan perubahan pada peran peserta didik dalam
proses belajar mengajar.
Pendidikan umum, mengartikan peserta didik sebagai raw input
(masukan mentah) dalam proses trnsformasi yang disebut dengan pendidikan (Muri
Yusuf,1982:37). Lebih jauh dijelaskan bahwa peserta didik adalah anak yang
sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis (Muhaimin dan
Abdul Mujib,1993:177), untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga
pendidikan.
Pertumbuhan adalah perubahan yang terjadi dalam diri peserta didik
secara alami yang ditandai oleh pertumbuhan tubuh menjadi bertambah besar.
Adapun perkembangan adalah yang menyangkut jasmaniyah dan ruhaniah (Muri
Yusuf:37). Dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan yang masih berjalan, maka
peserta didik dianggap belum dewasa hingga membutuhkan bimbingan orang lain
untuk menjadikannya dewasa (Abdul Mujib: 177). Sebab pendewasaan merupakan
tujuan dari pendidikan. Bimbingan dapat diberikan dalam berbagai lingkungan
pendidikan, yakni lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Abdul Mujib:25).
Menurut George R. Knight , sebagaimana dikuti oleh Abd. Rahman
Assegaf dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, siswa atau
peserta didik dipandang sebagai anak yang aktif, bukan pasif yang hanya menanti
guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai informasi.Siswa adalah anak yang
dinamis yang secara alami ingin belajar, dan akan belajar apabila mereka tidak
merasa putus asa dalam pelajarannya yang diterima dari orang yang berwenang
atau dewasa yang memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka. Dalam hal
ini, Dewey menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi aktif.
Membicarakan pendidikan berarti membicarakan keterkaitan aktivitasnya, dan
pemberian bimbingan padanya.
Peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek
pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik
perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya
secara umum peserta didik memiliki lima ciri, yaitu:
a) Peserta didik dalam
keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan
kemampuan , kemauan dan sebagainya.
b) Mempunyai keinginan
untuk berkembang kearah dewasa
c) Peserta didik mempunyai
latar belakang yang berbeda
d) Peserta didik melakukan
penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang
dimiliki secara individu
Literatur pendidikan
terkni menuliskan bahwa sebutan anak didik telah berubah menjadi peserta didik.
Hal ini dikarenakan adanya pandangan pencerahan bahwa peserta didik pada setiap
proses interaksi dan komunikasi terhadap sumber, dan bersifat sebagai objek
juga sebagai subjek. Ketika potensi anak masih minimal dan membutuhkan
pertolongan manusia dewasa, maka sebutan yang lebih tepat adalah peserta didik
(objek) yang aktif. Akan tetapi, ketika ia telah merespons setiap stimulus yang
datang dengan motivasi yang telah terbangun, ia pun aktif secara fisik dan
mental mencari, merespon bahkan menemukan sendiri informasi yang diinginkannya,
maka sebutan baginya adalah peserta didik (subjek) yang aktif.
Defenisi lain dalam
khazanah pendidikan Islam klasik, al-Subkiy menggunakan term thalib (jamak :
thalabat atau thullab), mutafaqqih (jamak : mutafaqqihun), faqih (jamak :
fuqaha) dan tilmizd (jamak : talamizd) untuk menunjukkan pada penuntut ilmu
(pelajar) pada madrasah Nizhamiyah. Imam al-Haramayn disebut-sebut pernah
memakai perkataan faqih untuk menyapa murid-muridnya. Mengenai hal ini,
al-Subkiy melukiskan dengan indah sebuah dialog singkat yang terjadi antara
al-Juwayni dan murid kesayangannya, al-Ghazali, dalam bukunya berjudul thabaqat
al-Syafi’iyah al-Kubra.
Term faqih dalam dialog
dibuku tersebut menunjuk kepada al-Ghazali yang dimaksud dengan faqih adalah
orang yang mempelajari ilmu fiqih dan istilah ini identik dengan istilah
mutafaqqih. Sementara istilah thalib (penuntut ilmu) biasa dipakai untuk orang
yang belajar ilmu agama atau ilmu umum sebab kedua-duanya disuruh dalam agama.
Bedanya kalau yang pertama hukumnya menjadi kewajiban bagi setiap muslim
(fardhu ‘ain), maka yang kedua hukumnya menjadi kewajiban kolektif (fardhu
kifayah). Sedangkan istilah tilmidz (murid) berasal dari akar kata talammaza
artinya belajar, bisa dua-duanya, agama maupun umum.
Berbeda dengan
al-Juwayni, al-Ghazali memakai term thalib ketika menyebut murid-muridnya di
madrasah Nizhamiyah Baghdad. Beliau menjelaskan bahwa orang yang mempelajari
ilmu kalam, kebathinan, filsafat dan sufi disebut thalib. Dari keterangan
al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa wacana ilmiah dan kegiatan studi
murid-murid madrasah Nizhamiyah Baghdad dibawah asuhannya meliputi semua ilmu
tersebut.
Secara umum dalam
pendidikan Islam pada hakikatnya Allah Swt. Merupakan murabbi, mu’allim atau
mu’addib, yang diistilahkan dengan pendidik. Dialah yang mencipta dan
memelihara (mendidik) seluruh makhluk didunia ini termasuk manusia, baik dalam
artian tarbiyah, ta’alim, maupun ta’dib. Dengan demikian, dalam perspektif
falsafah pendidikan Islam seluruh makhluk ciptaan Allah Swt merupakan peserta
didik. Namun secara khusus dalam pendidikan Islam, peserta didik adalah seluruh
al insan, al-basyar atau bani adam yang sedang menuju al-insan al-kamil, baik
dalam pengertian jismiyah maupun ruhiyah.
B.
Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islami
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta
didik, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat
manusia, karena manusia hasil dari suatu proses pendidikan. (Abdurrahman
Shaleh,1990:45). Menurut konsep ajaran Islam manusia pada hakikatnya, adalah
makhluk ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan melalui proses
pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung secara evolutif, yaitu melalui
proses yang bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki bentuk yang
lebih baik, lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk lain ciptaan
Allah, hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi lain manusia
merupakan makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena manusia
dianugerahi sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara lain
gambaran tentang pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan acuan
pandangan mengenai hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam. Peserta didik
dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan hakikat
yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem pendidikan
Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan, melainkan pula
sekaligus sebagai subyek pendidikan.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, semua makhluk pada
dasarnya adalah peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim,
atau muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk
ciptaan-Nya. Dialah yang mencipta dan memelihara seluruh makhluk. Pemeliharaan
Allah Swt mencakup sekaligus kependidikan-Nya, baik dalam arti tarbiyah,
ta’alim, maupun ta’adib. Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam,
peserta didik itu mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin,
manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.
Namun, dalam arti khusus dalam perspektif falsafah pendidikan
Islami peserta didik adalah seluruh al-insan, al-basyar, atau bany adam yang
sedang berada dalam proses perkembangan menuju kepada kesempurnaan atau suatu
kondisi yang dipandang sempurna (al-Insan al-Kamil). Terma al-Insan, al-basyar,
atau bany adam dalam defenisi ini memberi makna bahwa kedirian peserta didik
itu tersusun dari unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki kesamaan universal,
yakni sebagai makhluk yang diturunkan atau dikembangbiakan dari Adam a.s.
kemudian, terma perkembangan dalam pengertian ini berkaitan dengan proses
mengarahkan kedirian peserta didik, baik dari fisik (jismiyah) maupun diri
psikhis (ruhiyah) – aql, nafs, qalb – agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya
secara sempurna. Misalnya, ketika dilahirkan, fisik manusia dalam keadaan lemah
dan belum mampu mengambil atau memegang benda dan kaki belum mampu melangkah
atau berjalan.
Demikian benda dan kaki belum mampu melangkah atau berjalan.
Demikian juga, ketika dilahirkan dari rahim ibunya, ‘aql manusia belum dapat
difungsikan untuk menalar baik buruk atau benar salah. Melalui proses ta’lim,
tarbiyah, atau ta’dib, secara bertahap, ‘aql manusia diasah, dilatih, dan
dibimbing melakukan penalaran yang logis atau rasional, sehingga ia mampu
menyimpulkan baik-buruk atau benar-salah. Demikiah juga nafs, ketika manusia
dilahirkan dari rahim Ibunya, ia hanya cenderung pada pemenuhan kehendak atau
kebutuhan jismiyah, terutama makan-minum. Melalui proses ta’lim, tarbiyah atau
ta’dib, nafs manusia dilatih dan dibimbing untuk melakukan pengendalian,
pemeliharaan, dan pensucian diri. Akan halnya qalb, ketika manusia dilahirkan
dari rahim ibunya, ia hanya potensi laten yang belum mampu menangkap cahaya
(al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq). Kemudian, melalui proses ta’lim, tarbiyah
atau ta’dib, qalb manusia dibimbing sehingga mampu menangkap cahaya (al-nur)
dan memahami kebenaran (al-haqq) serta hidup sesuai dengan cahaya dan kebenaran
tersebut.
Dalam pengertian di atas, yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah
suatu keadaan dimana dimensi jismiyah dan ruhiyah peserta didik, melalui proses
ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan
untuk mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh
daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa al-ruhiyah). Dalam perspektif ini,
secara sederhana, kesempurnaan dimensi jismiyah adalah suatu kondisi dimana
seluruh unsur atau anggota jasmani manusia mencapai tingkatan terbaik dalam
kemampuannya melakukan tugas-tugas fisikal-biologis, seperti bergerak,
berpindah dan melakukan berbagai aktivitas fisikal lainnya. Demikian pula
halnya dengan kesempurnaan dimensi ruhiyah. Dalam makna ini, ‘aql, nafs, dan
qalb peserta didik mencapai tingkatan terbaik dalam berpikir atau menalar
(al-‘aql al-mustasyfad), dalam mengendalikan dan mensucikan diri (al-nafs
al-muthmainnah), dan dalam menangkap cahaya dan memahami kebenaran (qalb
al-salim).
Berdasarkan pengertian di atas, dalam perspektif falsafah
pendidikan Islami, pada hakikatnya semua manusia adalah peserta didik. Sebab,
pada hakikatnya, semua manusia adalah makhluk yang senantiasa berada dalam
proses perkembangan menuju kesempurnaan, atau suatu tingkatan yang dipandang
sempurna, dan proses itu berlangsung sepanjang hayat.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Rasyidin yang dikuti oleh
Zainuddin et.al dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, setidaknya ada 3
istilah peserta didik yang dapat dirangkum dalam esensi filsafat pendidikan
Islam.
Ketiga istilah tersebut yaitu pertama, term mengandung pengertian
bahwa peserta didik dalam arti mutarabbi manusia yang selalu memerlukan
pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik – biologis,
penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta
pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan
tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi
alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta didik mempelajari semua al-asma’kullah
yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian
pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia
ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap
apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu sendiri
dalam filsafat pendidikan Islam. Ketiga, muta’addib, merupakan proses
pendisiplinan adab ke dalam jism, dan ruhnya, sehingga akal, ruh dan hatinya
pendisiplinan adab melalui mua’dib (pendidik). Esensinya dalam mutaadib dalam
pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata hubungan komunikasi
antara manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya dan mahkluk Allah lainnya
termasuk dalam semesta ini serta juga kepada sang pencipta dan pemelihara serta
pendidik alam semesta.
Dalam buku Filsafat pendidikan Islam yang ditulis oleh Hasan
Basri,dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat peserta didik terdiri
dari beberapa macam :
a. Peserta didik adalah
darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua
keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga.
b. Peserta didik adalah
semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal
maupun non formal, seperti disekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan,
sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim,
dan sejenis, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu
sekali atau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat
dipandang sebagai anak didik
c. Peserta didik secara
khusus adalah orang –orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang
menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang
berkaitan dengan proses kependidikan.
Beberapa hal yang
terkait dengan hakekat peserta didik yaitu :
1. Peserta didik bukan
miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri.
2. Peserta didik mengikuti
periode-periode perkembangan tertentu dan
mempunyai pola
perkembangan
3. serta tempo dan
iramanya, yang harus disesuiakan dalam proses pendidikan.
4. Peserta didik memiliki
kebutuhan diantaranya kebutuhan biologis, rasa aman, rasa kasih sayang, rasa
harga diri dan realisasi diri.
5. Peserta didik memiliki
perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang
disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang
meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang
mempengaruhinya.
6. Peserta didik dipandang
sebagai kesatuan sistem manusia, walaupun terdiri dari banyak segi tetapi
merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
7. Peserta didik merupakan
obyek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif. Anak didik bukanlah
sebagai objek pasif yang biasanya hanya menerima, mendengarkan saja (Abdul
Mujib dan Muhaimin, 1993 : 177-181)
C.
Potensi/Fitrah Peserta Didik
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna
(melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika
manusia tidak dapat bertanggungjawab sebagai khalifah Allah dengan baik dan
benar, maka kedudukan manusia lebih rendah dari binatang.
Karena itu, agar dapat menjalankan fungsi kekhalifahanya dimuka
bumi, manusia di karuniai beberapa kekuatan yang dapat menimbulkan kreativitas
untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya.
Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia potensi-potensi (fithrah) yang
dapat dikembangkan melalui proses pendidikan.
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan tujuan.
Hal ini tergambar dalam dialog Allah dan malaikat diawal penciptaannya. Tujuan
penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah sebagai khalifah. Dalam
kedudukan ini, manusia tidak mungkin mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya,
tanpa dibelakangi dengan potensi yang memungkinkan dirinya mengemban tugas
tersebut.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab
mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk
dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang
berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang
berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat
diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia
sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang
meliputi potensi seluruh dimensi manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia itu
terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak) nya,
apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis
bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin
baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan
fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah lakunya. Namun
demikian, pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis manusia, sedangkan dosa
balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu hidayah dari Allah SWT
sebagai penentu yang Maha final.
Dalam perspektif Islam, potensi atau fitrah dapat dipahami sebagai
kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu :
a)
Hidayah wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting
atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di
muka bumi.
b)
Hidayah hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada
manusia dalam bentuk kemampuan
c)
indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah.
d)
Hidayah aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari kedua
hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mampu berpikir dan berkreasi menemukan
ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk
fungsi kekhalifahannya.
e)
Hidayah diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia
yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan
perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah
f)
Hidayah taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun
agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang
tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar
manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa
hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhaan Allah.
Quraish Shihab
berpendapat bahwa menyukseskan tugas-tugas kekhalifan di muka bumi, Allah
memperlengkapi manusia dengan potensi-potensi tertentu, antara lain :
1. Kemampuan untuk
mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini
tergambar dalam firman Allah SWT : “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama
benda seluruhnya.” (QS. 2 :31)
2. Ditundukkan bumi, langit
dan segala isinya, binatang-binatang, planet dan sebagainya olah Allah kepada
manusia (QS. 45: 12-13)
3. Potensi akal fikiran
serta panca indera (QS. 67:23)
4. Kekuatan positif untuk
merubah corak kehidupan manusia (QS. 13:11)
Disamping potensi yang
bersifat di atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat negatif yang
merupakan kelemahan manusia, yaitu : pertama, potensi untuk terjerumus dalam
godaan hawa, nafsu dan syetan. Hal ini digambarkan dengan upaya syetan menggoda
Adam dan Hawa, sehingga keduanya melupakan peringatan Tuhan untuk tidak
mendekati pohon terlarang (QS. 20 : 15-24). Kedua, banyak masalah yang tak
dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan,
dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan manusia.
Dalam pandangan lain,
Hasan Langulung memandang bahwa pada prinsipnya potensi manusia menurut
pandangan Islam tersimpul pada sifat-sifat Allah (asma’ul husna). Sebagai
contoh sifat al-ilmu yang dimiliki Allah, maka manusiapun memiliki tersebut.
Dengan sifat al- ilmu, manusia senantiasa berupaya untuk mengetahui sesuatu.
Untuk mengaktiftkan potensi ini, maka Allah menjadikan alam dan isinya termasuk
diri manusia sebagai ayat Allah yang harus dibaca dan dianalisa. Namun
demikian, bukan berarti kemampuan manusia sama tingkatannya dengan kemampuan
Allah. Hal ini disebabkan karena perbedaan hakekat keduanya. Manusia memiliki
keterbatasan, sedangkan Allah tanpa batas. Dari keterbatasan tersebut,
menjadikan manusia sebagai makhluk yang memerlukan bantuan untuk memenuhi
keinginannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasan-nya dan
ke-Mahakuasaan Allah. Dengan potensi ini, manusia dituntut untuk senantiasa
memiliki jalinan rohani kepada Allah, baik memiliki zikir atau aktivitas zikir
lainnya, mengingat manusia adalah ciptaan Allah yang dependen pada yang Maha
Pencipta.
Karena adanya potensi
yang positif dan negatif serta keterbatasan manusia, maka Allah menganugerahkan
kepada manusia berbagai potensi pada manusia agar ia mampu mengetahui hakekat
dan petunjuk-petunjuk Allah. Firman Allah SWT :
Artinya : “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
Pengertian fitrah yang
ditunjukkan ayat di atas memberi pengertian bahwa manusia ciptaan Allah dengan
naluri beragama tauhid yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya, Hasan
Langulung memberi pengertian fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar
yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua
kemampuan manusia yang memerlukan penempaan lebih lanjut dan lingkungan insani
maupun non insani untuk bisa berkembang. Untuk mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain yaitu proses
pendidikan
D.
Tugas dan Tanggungjawab Peserta Didik
Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah menta’lim,
mentarbiyah, atau menta’dibkan al-‘ilm ke dalam diri setiap peserta didik.
Al-‘ilm yang akan dita’-lim, ditarbiyah, atau dita’dibkan tersebut adalah
al-haqq, yaitu semua kebenaran yang datang dan bersumber dari Allah Swt, baik
yang didatangkan-Nya melalui Nabi dan Rasul, (al-ayah al-quraniyah), maupun
yang dihamparkan-Nya pada seluruh alam semesta, termasuk diri manusia itu
sendiri (al-ayah al-kauniyah). Al-‘ilm tersebut merupakan penunjuk jalan bagi
peserta didik untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya
terhadap Allah Swt sehingga ia mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan
keserharian. Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama setiap peserta didik
adalah mempelajari al-‘ilm dan mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang
kehidupan.
Berkenaan dengan tugas utama yang harus dilakukan peserta didik
ini, Rasulullah saw melalui salah satu hadis menegaskan : menuntut ilmu
merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Proses menuntut atau
mempelajari al-‘ilm itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca,
baik yang tersurat maupun yang tersirat, mengeksplorasi, meneliti, dan
mencermati fenomena diri, alam semesta, dan sejarah umat manusial
berkontemplasi, berpikir, atau menalar, berdialog, berdiskusi atau bermusyarah,
mencontoh atau meneladani, mendengarkan nasehat, bimbingan, pengajaran dan
peringatan, memetik ‘ibrah atau hikmah, melatih atau membiasakan diri, dan
masih banyak lagi aktivitas belajar lainnya yang harus dilakukan setiap peserta
didik untuk meraih al-ilm dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Seluruh aktivitas pembelajaran sebagaimana dipaparkan di atas
wajib ditempuh atau dilakukan peserta didik dalam proses belajar atau menuntut
al-‘ilm. Karenanya, peserta didik tidak boleh mencukupkan aktivitas belajarnya
pada suatu aktivitas saja. Dalam berbagai surah, alquran senantiasa menyeru
manusia untuk berpikir, mengingat, membaca, mengambil pelajaran, memetik
hikmah. Bereksplorasi, bertadabbur, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar
peserta didik mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga mampu
diberdayakan dalam rangka aktualisasi diri sebagai makhluk yang bersyahadah
kepada Allah Swt, beribadah secara tulus ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi
khalifah atau pemimpin dan pemakmur kehidupan dibumi.
Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif falsafah
pendidikan Islami, tanggung jawab utama peserta didik adalah memelihara agar
semua potensi yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat diberdayakan
sebagaimana mestinya. Dimensi jismiyah wajib dipelihara, agar secara fisikal
peserta didik mampu melakukan aktivitas belajar, meskipun harus melakukan
rihlah ke berbagai tempat. Demikian pula, dimensi ruhiyah juga wajib
dipelihara, agar bisa difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk melakukan
aktivitas belajar. Ketika peserta didik tidak mampu memelihara dimensi jismiyah
dan ruhiyahnya, maka energi, daya, atau kemampuan membelajarkan diri akan
terganggu, bahkan bisa menjadi tidak mampu. Karenanya, sebagaimana juga
dikemukakan Nata, agar tetap mampu melakukan aktivitas belajar, setiap peserta
didik memerlukan kesiapan fisik prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih,
dan jiwa yang tenang. Untuk itu, perlu adanya upaya pemeliharaan dan perawatan
secara sungguh-sungguh semua potensi yang bisa digunakan untuk belajar atau
menuntut ilmu pengetahuan.
Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban yang
harus senantiasa dilakukan peserta didik adalah :
- Sebelum
memulai aktivitas pembelajaran, peserta didik harus terlebih dahulu
membersihkan hatinya dari sifat yang buruk, karena belajar mengajar itu
merupakan ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang bersih.
- Peserta
didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya dengan berbagai
keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Bersedia
mencari ilmu ke berbagai tempat yang jauh sekalipun, meskipun harus
meninggalkan
- keluarga
dan tanah air.
- Tidak
terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir panjang sebelum
menukar guru.
- Hendaklah
menghormati guru, memuliakan dan mengangungkannya karena Allah serta
berupaya menyenangkan hatinya dengan cara yang baik.
- Jangan
merepotkan guru, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat
duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum diizinkan guru.
- Jangan
membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru membukakan rahasia, dan
jangan pula menipunya.
- Bersungguh-sungguh
dan tekun dalam belajar
- Saling
bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.
- Peserta
didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru dan mengurangi
percakapan dihadapan gurunya.
- Peserta
didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik diwaktu senja dan
menjelang subuh atau diantara waktu Isya’ dan makan sahur
- Bertekad
untuk belajar seumur hidup.
E.
Sifat-Sifat Peserta Didik
Sesuai dengan karakter dasarnya, dalam Islam, ilmu itu datangnya
dari al-haq dan karenanya ia merupakan al-nur atau cahaya kebenaran yang akan
menerangi kehidupan para pencarinya. Sebagai al-haq, Allah Swt maha suci, dan
kesuciannya hanya bisa dihampiri oleh yang suci pula. Karenanya, sifat utama
dan pertama yang harus dimiliki peserta didik adalah mensucikan diri atau
jiwanya (tazkiyah) sebelum menuntut ilmu pengetahuan. Karena maksiat hanya akan
mengotori jasmani, akal, jiwa dan hati manusia, sehingga membuatnya sulit dan
terhijab dari cahaya, kebenaran, atau hidayah Allah Swt.Setidaknya ada 3 hal
yang menjadi titik fokus perhatian peserta didik dan orang tua dalam mensucikan
dirinya secara totalitas. Pertama, suci ruhaniah yaitu peserta didik harus
menjauhkan sifat-sifat yang dapat merusakan atau paling tidak yang mengotori
jiwa dari sucinya al-nur, atau al-haq. Karena kekotoran jiwa akan mengakibat
tertutupnya sinar illahiyah menembus kalbu peserta didik. Ringkasnya al-‘ilm
atau al-nur harus di ta’lim, di tarbiyah atau dita’dibkan ke dalam jiwa peserta
didik haruslah dalam keadaan suci dan bersih, sehingga ia akan dapat tertanam
dan bersemi dengan penuh keberkahan di dalam sanubarinya. Kedua, suci jasmaniah
yaitu peserta didik harus mampu menjauhkan dari dari mengkonsumsi makanan
ataupun minuman yang tidak benar baik dari segi jenis mampu sumber diperolehnya
makanan/minuman tersebut. Makanan yang tidak benar/jelas, bukan makanan yang
diperoleh secara halal, akan mempengaruhi kepribadian peserta didik dalam berperilaku,
dan akan susah mendapatkan hidayah kebenaran dari Allah Swt.
Sebab itu, orang tua harus memberi makan peserta didik dengan
makanan yang baik dan halal serta bersih, sehingga nusrah Allah akan dapat
dengan mudah diterima oleh peserta didik. Disamping itu juga bersih badan dari
kotoran, najis serta lainnya yang dapat menggangu kesehatan fisik hidup yang
baik. Jangan biasakan peserta didik bergaul dengan lingkungan yang dapat
memberi pengaruh yang tidak baik dalam perkembangan kehidupan sosialnya.
Hal ini akan berbias kepada terkontaminasinya pembiasaan yang
jelek kepada peserta didik. Makanya orang tau harus dapat menjaga dan mengerti
tentang ini, sehingga peserta didik dapat tumbuh dan kembang baik secara
ruhaniah, jasmaniah maupun sosialnya dengan penuh kebaikan.
Zainuddin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, beliau mengutip
hadis Shahih Muslim dan Bukhari dalam mengemukakan sifat dan karakter yang
dimiliki anak didik. Berikut beberapa sifat dan karakter yang harus dimiliki
seorang anak didik:
1. Memiliki sifat tamak
dalam menuntut ilmu dan tidak malu-malu. Mujahid berkata, “Pemalu dan orang
sombong tidak akan dapat mempelajari pengetahuan agama.” Aisyah berkata,
“sebaik-baik kaum wanita adalah kamu wanita sahabat Anshar. Merak tidak
dihalang-halangi rasa malu tidak dihalang-halangi rasa malu untuk mempelajari
pengetahuan yang mendalam tentang agama.”
2) Selalu mengulang
pelajaran di waktu malam dan tidak menyia-nyiaka waktu malam dan tidak
menyia-nyiakan waktu.
3)
Memanfa’atkan/mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Memiliki
keinginan/motivasi mencari ilmu pengetahuan.
Peserta didik hendaknya
berupaya memiliki akhlak mulia, baik secara vertikal maupun horizontal dan
senantiasa mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu
pengetahuan. Sebagai seorang peserta didik yang berupaya mencari ilmu
pengetahuan dan membentuk sikap dengan akhlak mulia, maka menurut Hamka peserta
didik dituntut bersikap baik pada setiap guru.
Sikap tersebut meliputi
:
a) 1Jangan cepat putus asa
dalam menuntut ilmu
b) Jangan lalai dalam
menuntut ilmu dan cepat merasa puas terhadap ilmu yang sudah diperoleh;
c) Jangan merasa terhalang
karena faktor usia
d) Hendaklah diperbagus
tulisannya supaya orang bsia menikmati hasil karyanya dan membiasakan diri membuat
catatan kecil terhadap berbagai ide yang sedang dipikirkan;
e) Sabar, perteguh hati dan
jangan cepat bosan dalam menuntut ilmu
f) Pererat hubungan baik
dengan guru dan senantiasa hadir dalam majelis ilmiahnya, hormati pendidik
sebagai orang yang telah banyak berjasa dalam membimbing ke arah kedewasaan,
baik ketika proses belajar maupun setelah menamatkan pelajaran padanya
g) Ikuti instruksi guru
dalam setiap proses belajar mengajar dengan khusyu’ dan tekun
h) Berbuat baik terhadap
guru dan kedua orang tua, serta amalkan ilmu yang diberikannya bagi
kemaslahatan seluruh umat;Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah.
Biasakan berkata sesuatu yang bermanfaat karena itu sebagai ciri orang yang
berilmu dan berfikiran luas;
i)
Ciptakan suasana pendidikan yang merespon dinamika fitrah yang
dimiliki seperti suasana gembira;
j)
Biasakan diri untuk melihat, memikirkan dan melakukan analisa
secara seksama terhadap fenomena alam semesta. Dengan ini maka peserta didik
akan menyelami kebesaran Allah dan selanjutnya berbuat kebajikan terhadap alam
semesta.
F.
Etika Peserta Didik
Sebagaimana dijelaskan oleh Asma Fahmi, bahwa setiap peserta didik
harus memiliki dan berprilaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran Islam,
seperti berikut ini :
1) Setiap peserta didik
harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu, yaitu menjauhkan
dari sifat-sifat yang tercela seperti dengki, benci, menghasud, takabur,
menipu, berbangga-bangga dan memuji diri serta menghiasi diri dengan akhlak
mulia seperti benar, takwa, ikhlas, zuhud, merendahkan diri dan ridha;
2) Hendaklah tujuan belajar
itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri
dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegah-megah dan mencari kedudukan. Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ilallalah. Konsekuensi dari sikap ini,
peserta didikkan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam
kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang
rendah (tercela).
3) Peserta didik tidak
menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa saja karena ia tidak
mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap-tiap ilmu yang pantas
baginya, dan tingkatan yang wajib baginya;
4) Peserta didik wajib
menghormati pendidiknya
5) Peserta didik hendaknya
belajar secara sungguh-sungguh serta tabah dalam belajar.
Ibnu Qayyim sendiri
menjelaskan ada sebelas etika peserta didik , diantaranya;
- Jika
peserta didik ingin meraih kesempurnaan ilmu, henadklah ia menjauhi
kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan
untuk dipandang
- Mewaspadai
terhadap tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (hidup kesia-siaan) dan
majelis-majelis yang buruk’
- Bid’ah
, sangat berbahaya bagi kebersihan hati.Hati yang telah tercemar noda
bid’ah menjadi tidak mampu memahami Alquran, karena tidak bisa memahami
Alquran kecuali hati yang suci.
- Senantiasa
menjaga waktunya, dan jangan sekali-kali membuangnya dengan membicarakan
hal-hal yang tidak berfaedah, berbohong, dan obrolan yang tidak jelas
ujung pangkalnya. Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak
memiliki ilmu tentangnya
- Tidak
berbicara kecuali ketika jika sudah jelas kebenarannya/ hakikatnya dan
telah tampak masalah itu jelas baginya
- Menghindari
diri membanggakan diri dengan harta, kedudukan dan kenikmatan dunia karena
sangat dicela oleh syariat
- Hendaknya
mengetahui bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak bisa terangkat
kecuali jika ilmu tersebut diamalkan
- Segera
mengamalkan ilmu yang telah didapatinya agar selalu terjaga dan tidak
mudah hilang
- Memiliki
pemahaman yang baik dan niat yang lurus, supaya hatinya terjauhkan dari
noda-noda bid’ah dan penyimpangan seseorabg
- Selalu
mencari hakikat suatu masalah dan berusaha mendapatkannya dari mana saja
sumbernya, sebagaimana wajib atasnya untuk tidak ta’ashshub (fanatic)
kepada pendapat seseorang
- Jika
peserta didik itu memiliki keutamaan dengan mendapat balasan dari Allah
berupa dilapangkannya
- jalan
menuju surge. Maka sepatutnya para peserta didik senantiasa mangingat
pahala yang besar tersebut agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa
giat mencari ilmu.
Sedangkan kode etik
personal peserta didik yang harus dapat dilaksanakan oleh peserta didik yaitu :
Ø
Membersihkan hati dari kotoran, sifat buruk, aqidah keliru, dan
akhlak tercela.
Ø
Meluruskan niat, peserta didik harus menuntut ilmu demi Allah
untuk menghidupkan syari’at Islam, menyinari hati dan mengasah batin dalam
rangka mendekatkan diri kepadaNya. Dengan belajar itu ia bermaksud hendak
mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah bermaksud
menonjolkan diri;
Ø
Menghargai waktu dengan cara mencurahkan perhatian sepenuhnya bagi
urusan menuntut ilmu pengetahuan;
Ø
Menjaga kesederhanaan makanan dan pakaian. Mengurangi kecederungan
pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi. Sifat yang ideal adalah menjadikan
kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk
melaksanakan amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal;
Ø
Membuat jadwal kegiatan yang ketat dan teratur. Peserta didik
mengalokasikan waktu secara jelas kedalam satu jadwal kegiatan harian yang
berisi kegiatan belajar yang relevan
Ø
Menghindari makan terlalu banyak, yang terbaik adalah sedikit
makan, selain makruh makan terlalu banyak juga akan menimbulkan malas dan
kantuk bahkan serangan penyakit;
- Mengurangi
konsumsi makanan yang bisa menyebabkan kebodohan dan lemahnya indera,
seperti apel asam, kubis, atau cuka, juga kebanyakan lemak dapat
menumpulkan otak dan menggemukan tubuh;
- Menimalkan
waktu tidur, tetapi tidak mengganggu kesehatan. Penuntut ilmu tidak boleh
tidur lebih dari delapan ham satu hari satu malam, sebab tidur hanya
diperlukan dalam rangka istirahat serta menyegarkan kembali badan dan
pikiran untuk kembali belajar.
- Membatasi
pergaulan hanya dengan orang yang bisa bermanfaat bagi pelajar. Teman yang
harus dicari ialah orang taat beragama, wara’, cerdas, baik dan gemar
membantu, sebab bergaul dengan orang yang kurang peduli ilmu pengetahuan
biasanya memboroskan harga serta menyia-nyiakan umur.
Mengenai adab Murid dan
Guru Menurut Al-Ghazali, adab murid dan guru itu ada sepuluh bagian:
a) Hendaknya mendahulukan
kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu adalah
ibadah hatinya,shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah.
b) Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan
dunia, karena ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan
c) Tidak bersikap sombong
kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru,
bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya kepadanya dan mematuhi nasehatnya
seperti orang sakit yang bodoh mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih sayang
dan mahir Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari
mendengarkan perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu
termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat
1. Seorang penuntut ilmu
tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis
ilmu, kecuali ia harus mepertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan
dan maksudnya
2. Tidak menekuni semua
bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan dimulai dengan yang
paling penting Hendaklah tidak memasuki satu cabang ilmu sebelum menguasai ilmu
yang sebelumnya
3. Hendaklah mengetahui
faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia
4. Hendaklah tujuan murid
di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan
di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri
untuk bias berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan
orang-orang yang didekatkan.
5. Hendaklah mengetahui
kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat
daripada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya.
Sementara dalam UU
Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan dalam konsep
pendidikan Islam itu sendiri.
Demikian pula peserta
didik, juga diharapkan tidak terjebak pada paham pragmatisme dan materialisme.
Ada kecenderungan ketika peserta didik bersikap demikian, maka guru pun kurang
dihormati. Guru hanya dianggap sebagai instrumen atau alat dalam pendidikan.
Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah alat, ia akan digunakan selagi
dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun tidak dihormati lagi.
Untuk itu, peserta didik
juga harus memahami apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam
perspektif pendidikan Islam. Peserta didik yang dalam pandangan pendidikan
Islam sering disebut sebagai murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang
menginginkan”. Artinya, seorang murid atau peserta didik harus menunjukkan
sikap yang membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu
tidak bersifat sesaat ketika ada perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan
Islam, seorang guru tidak hanya dihormati di saat belajar pada sekolah formal
saja, sehingga disebut pula bahwa ”tidak ada mantan guru dalam pandangan
pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti ini maka seorang peserta didik harus
menunjukkan sikap kesungguhannya dalam belajar dibarengi dengan adab-nya kepada
guru dengan harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi dirinya.
Selain itu, peserta
didik juga harus menuntut ilmu didasari oleh motivasi awal, yaitu motivasi
karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka selama dalam menuntut ilmu ia harus
meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini pula yang pernah
dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta nasehat kepada gurunya,
Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ
tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu
al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama,
untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan
maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan
terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd
merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan
(transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang
berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allah
Ta’ala.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik
secara fisik maupun psikologis (Muhaimin dan Abdul Mujib,1993:177), untuk
mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islam seluruh makhluk ciptaan
Allah Swt merupakan peserta didik. Namun secara khusus dalam pendidikan Islam,
peserta didik adalah seluruh al insan, al-basyar atau bani adam yang sedang
menuju al-insan al-kamil, baik dalam pengertian jismiyah maupun ruhiyah.
Ketiga istilah tersebut yaitu pertama, term mengandung pengertian
bahwa peserta didik dalam arti mutarabbi manusia yang selalu memerlukan
pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik – biologis,
penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta
pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan
tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi
alam semesta. Kedua, muta’allim, peserta didik mempelajari semua al-asma’kullah
yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian
pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia
ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap
apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu
sendiri dalam filsafat pendidikan Islam.Peserta didik adalah makhluk yang
berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan
pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah
memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar