BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pendidikan adalah sebuah aktivitas
manusia yang memiliki maksud mengembangkan individu sepenuhnya. Islam merupakan
agama yang sangat menekankan pendidikan bagi manusia. Hal itu terbukti dengan
adanya banyak hadits dan ayat al-Qur’an yang menunjukkan tentang pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam. Contohnya
tanggung jawab orang tua dalam rangka menanamkan aqidah kepada anak nya sejak
dini, pertama kali yang dilakukan oleh orang tua mengajarkan kalimat syahadat
kepada anak, dengan memperdengarkan kalimat tersebut kepada anak. Maka sebagai
orang tua yang bijaksana dan mempunyai pengetahuan yang tinggi harus mengerti
hal tersebut selain mampu mengajari anaknya untuk berpikir dan memberikan ilmu
kepada anaknya tersebut. Bahwa sebenarnya orang tua mempunyai
tanggung jawab yang sangat besar terhadap pendidikan anaknya. Dan keluarga yang
merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama tersebut, wajib memberikan
pendidikan agama Islam dan menjaga anaknya dari api neraka. Jadi keluarga mempunyai peran utama dalam pembentukan akhlak anak, oleh
karena itu keluarga harus memberikan pendidikan atau mengajar anak tentang
akhlak mulia atau baik. Hal itu tercermin dari sikap dan perilaku orang tua
sebagai teladan yang dapat dicontoh oleh anak.
B.
Rumusan Masalah
Makalah
ini akan menjelaskan tentang beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan anak menurut
pandangan islam.
2. Untuk mengetahui bahwa pentingnya menanamkan pendidikan
kepada anak sedini mungkin.
3. Apa saja Ayat-Ayat, Hadist dan Tafsir yang menjelaskan
tentang tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
adalah sebuah aktivitas manusia yang memiliki maksud mengembangkan individu
sepenuhnya. Islam merupakan agama yang sangat menekankan pendidikan bagi
manusia. Hal itu terbukti dengan adanya banyak hadits dan ayat al-Qur’an yang
menunjukkan tentang pendidikan. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam.
Pendidikan
Islam merupakan pendidikan yang digunakan untuk membina manusia dari kecil
sampai mati. Karena pendidikan Islam merupakan pendidikan seumur hidup, maka
perlu dibedakan antara pendidikan orang dewasa dan pendidikan anak-anak.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang memperhatikan perkembangan jiwa
anak. Oleh karena itu, Akhyak mengatakan dalam bukunya, pendidikan yang tidak
berorientasi pada perkembangan kejiwaan akan mendapatkan hasil yang tidak
maksimal, bahkan bisa membawa kepada kefatalan anak, karena anak tumbuh dan
berkembang sesuai dengan irama dan ritme perkembangan kejiwaan anak.
Masing-masing periode perkembangan anak memiliki tugas-tugas perkembangan yang
harus dipenuhi anak secara baik tanpa ada hambatan.
Statemen
di atas, mengisyaratkan bahwa sebenarnya orang tua mempunyai tanggung jawab
yang sangat besar terhadap pendidikan anaknya. Dan keluarga yang merupakan
lembaga pendidikan yang pertama dan utama tersebut, wajib memberikan pendidikan
agama Islam dan menjaga anaknya dari api neraka. Maka dari itu, penulis akan
menguraikan lebih lengkap mengenai tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan
anaknya yang ditinjau dari al-Qur’an dan hadits dalam tulisan berikut ini.
B.
Ayat-Ayat
Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan ditinjau dari Terjemahan
DEPAG
Al-Qur’an
tidak secara langsung mengemukakan tentang tanggung jawab orang tua terhadap
pendidikan, namun perintah atau statemen tersebut tersirat dalam beberapa ayat
yang mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini penulis hanya mengambil
beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas secara detail semua
ayat tarbiyah.
Berikut
ini ayat yang menunjukkan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan:
1. Q.S.al-Tahrim/66:6
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
C.
Ayat-Ayat
Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan ditinjau dari Asbab
al-Nuzul
Zuhdi dalam bukunya mengatakan asbab al-nuzul adalah
semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat/beberapa ayat yang
mengandung sebabnya atau memberi jawaban terhadap sebabnya atau menerangkan
hukumnya pada saat terjadinya peritiwa itu. Lebih lanjut Al-Zarqani, menyebutkan
asbabun nuzul ialah sesuatu yang turun satu ayat atau beberapa ayat berbicara
tentangnya (sesuatu itu) atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang
terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam
pengetahuan kita tentang asbab al-nuzul tentunya memiliki beberapa macam
manfaat. Para ulama berpendapat manfaat mengetahui asbab al-nuzul, sebagaimana
diuraikan oleh Baidan, antara lain:
1.
Menurut
Al-Wahidi; seseorang tidak mungkin mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an tanpa
mengetahui kisahnya dan keterangan turunnya.
2.
Menurut Ibnu Taimiyah; bahwa mengetahui
sebab turunnya ayat Al-Qur’an dapat menolong memahami ayat tersebut, karena
sesungguhnya mengerti sebabnya dapat menghasilkan pengetahuan tentang
akibatnya.
3.
Menurut Al-Suyuthi; bahwa sebagian
ulama yang kesulitan memahami Al-Qur’an akan teratasi kesulitannya dengan
mengetahui sebab turunnya ayat yang bersangkutan.
Ayat-ayat yang penulis eksplore di
atas, ternyata ada bertepatan mempunyai asbab al-nuzul, yaitu surah
Luqman. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Firman Allah
ayat 14-15 menurut al-Mawardi berkenaan dengan Sa’ad bin Abi Waqas “yaitu
ketika ia masuk Islam, ibunya bersumpah tidak akan makan dan minum, lalu ia
merayunya agar meninggalkan hal itu, tetapi menolaknya. Demikian nasehat itu
dilakukan pada hari kedua. Dan pada hari ketiga ia merayu ibunya lagi dan
ibunya tetap menolaknya, lalu Sa’ad berkata: seandainya ibu memiliki seratus
nyawa, niscaya akan habis sebelum aku mau meninggalkan agamaku. Setelah melihat hal itu, maka ibunya
lalu mau makan.
Dari keterangan di atas juga tidak
tampak mengenai tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya. Karena
asbab al-nuzul di atas hanya menerangkan berbaktinya anak kepada orang tuanya.
D.
Ayat-Ayat
Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan ditinjau dari Kitab-Kitab
Tafsir
1. Q.S. al-Tahrim:6
a. Qurtubi
قال
الضحاك : معناه قُوا أنفسكم ، وأهلوكم فَلْيَقُوا أنفسهم ناراً . وروى عليّ بن أبي
طلحة عن ابن عباس : قُوا أنفسكم وأْمُرُوا أهليكم بالذكر والدعاء حتى يَقِيَهم
الله بكم . وقال عليّ رضي الله عنه وقتادة ومجاهد : قُوا أنفسكم بأفعالكم وقُوا
أهليكم بوصِيّتكم
Jagalah dirimu dan keluargamu dari
neraka. Jagalah dirimu dan perintahkanlah keluargamu untuk berdzikir dan
berdoa.
b. Thabari
يا
أيها الذين صدقوا الله ورسوله( قُوا أَنْفُسَكُمْ ) يقول: علموا بعضكم بعضا ما
تقون به من تعلمونه النار، وتدفعونها عنه إذا عمل به من طاعة الله، واعملوا بطاعة
الله.وقوله:( وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ) يقول: وعلموا أهليكم من العمل بطاعة الله ما
يقون به. أنفسهم من النار.
Maksudnya ajarilah dirimu dan
keluargamu tentang sesuatu yang menyebabkan masuk neraka dan sesuatu yang
menyebabkan taat kepada Allah.
c. Mawardi
{ يا أيها الذين آمَنوا قُوا أَنفُسَكم
وأهْليكم ناراً } قال خيثمة : كل شيء في القرآن يا أيها الذين آمنوا ففي التوراة
يا أيها المساكين . وقال ابن مسعود : إذا قال اللَّه يا أيها الذين آمنوا فارعها
سمعك فإنه خير تؤمر به أو شر تنهى عنه . وقال الزهري : إذا قال اللَّه تعالى : يا
أيها الذين آمنوا افعلوا ، فالنبي منهم . ومعنى قوله : { قوا أنفسكم وأهليكم ناراً
} أي اصرفوا عنها النار ، ومنه قول الراجز : ولو توقى لوقاه الواقي … وكيف يوقى ما
الموت لاقي وفيه ثلاثة أوجه : أحدها : معناه قوا أنفسكم ، وأهلوكم فليقوا أنفسهم
ناراً ، قاله الضحاك. الثاني : قوا أنفسكم ومروا أهليكم بالذكر والدعاء حتى يقيكم
اللَّه بهم ، رواه ابن أبي طلحة عن ابن عباس .
Maksud dari ayat di atas jagalah
dirimu dan keluargamu dari neraka dengan cara mengajari dirimu dan keluargamu
tentang sesuatu yang membuat mereka takut pada neraka.
d. Jalalain
{ ياأيها الذين ءَامَنُواْ قُواْ
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ } بالحمل على طاعة الله { نَاراً وَقُودُهَا الناس }
الكفار { والحجارة } كأصنامهم منها ، يعني أنها مفرطة الحرارة تتقد بما ذكر ، لا
كنار الدنيا تتقد بالحطب ونحوه { عَلَيْهَا ملائكة } خزنتها عدّتهم { تِسْعَةَ
عَشَرَ } [ 31 30 : 74 ] كما سيأتي في المدّثر { غِلاَظٌ } من غلظ القلب { شِدَادٌ
} في البطش { لاَّ يَعْصُونَ الله مَا أَمَرَهُمْ } بدل من الجلالة ، أي لا يعصون
أمر الله { وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ } تأكيد ، والآية تخويف للمؤمنين عن
الارتداد ، وللمنافقين المؤمنين بألسنتهم دون قلوبهم .
Maksudnya jagalah dirimu dan
keluargamu dari neraka dengan senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah.
E.
Hadits Tentang Tanggung Jawab Orang Tua
Terhadap Pendidikan
Banyak
hadits yang mengisyaratkan tentang tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya,
walaupun tidak secara langsung. Hadits tersebut dapat berupa hadits tentang pengajaran
orang tua kepada anaknya tentang tauhid, tentang shalat dan lain sebagainya.
Penulis akan menerangkan hadits-hadits tersebut masuk dalam kalimat atau
paragraf.
Dalam rangka menanamkan aqidah kepada anak, pertama kali
yang dilakukan oleh orang tua mengajarkan kalimat syahadat kepada anak, dengan
memperdengarkan kalimat tersebut kepada anak. Maka sebagai orang tua yang
bijaksana dan mempunyai pengetahuan yang tinggi harus mengerti hal tersebut
selain mampu mengajari anaknya untuk berpikir dan memberikan ilmu kepada
anaknya tersebut. Hal
itu sesuai dengan hadits Nabi sebagai berikut:
عن عكرمة عن ابن عباس مرفوعا : إفتحوا
على صبيانكم أول كلمة (لا إله إلا الله).
Artinya: Dari Ikrimah, dari Ibn Abbas yang merupakan hadits
marfu’. Ajarkanlah anakmu kalimat lailaha illa allah. Dalam hadits lain disebutkan:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول : « من ربى صغيرا حتى يقول : لا إله إلا الله لم يحاسبه الله عز وجل
Artinya: Barang siapa yang mendidik anak kecil sampai anak
tersebut mengatakan Laila ha illa Allah, maka ia tidak dihisab.
Ibn Qayyim, sebagaimana yang dikutip
Suwaid, mengatakan “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara,
hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat la ilaha illallah Muhammad
Rasulullah dan hendaklah sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga
mereka adalah la ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya.”
Pendidikan akhlak yang diberikan
oleh orang tua yang merupakan lanjutan dari pendidikan aqidah yang diberikan
sebelumnya. Bentuk pendidikan akhlak berupa nasehat agar anak mau berbakti
kepada orang tua, mentaatinya dan memenuhi segala haknya. Pendidikan akhlak
biasanya dilakukan dengan mengandalkan jasa ibu. Ini menurut Mufarakah,
“disebabkan karena “peranan bapak” dalam konteks kelahiran anak lebih ringan
daripada peranan ibu.” Setelah pembuahan, semua proses selama dalam kandungan
sampai kelahiran anak dipikul ibu. Tidak berhenti sampai disitu, tetapi masih
berkelanjutan sampai proses menyusui, bahkan lebih dari itu. Besarnya peran ibu
tersebut, sampai-sampai disebut khusus oleh Nabi dalam haditsnya, sebagai
berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ
النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ
قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: Ya Rasulullah siapa manusia yang
paling berhak ku hormati, Nabi bersabda: Ibumu. Laki-Laki itu berkata: kemudian
siapa? Nabi bersabda: kemudian ibumu. Laki-Laki itu berkata: kemudian siapa?
Nabi bersabda: kemudian ibumu. Laki-Laki itu berkata: kemudian siapa? Nabi
bersabda: kemudian bapakmu.
Anak tidak akan mampu melakukan
kebaktian tersebut tanpa adanya bimbingan dari orang tua atau keluarga. Maka
orang tua harus senantiasa memberi kasih sayang dan membimbing anaknya
tersebut. Dengan pemberian kasih sayang dan pendidikan diharapkan anak akan
menjadi taat dan mau berbakti kepada orang tua, karena orang tua telah berjasa
kepadanya.
Anak dalam perkembangannya selalu
terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, orang tua harus mampu
memfilter segala hal yang dapat berpengaruh buruk kepada diri anak. Namun
jangan sekali-kali orang tua melarang anaknya untuk bermain dengan
teman-temannya, karena larangan itu akan membuat anak menjadi tidak pandai
bergaul dan akan berdampak buruk dalam perkembangan berikutnya. Namun
hendaknya orang tua mengarahkan agar anaknya bergaul dengan teman-teman yang
mempunyai akhlak yang baik.
Keluarga merupakan institusi yang
pertama kali bagi anak dalam mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Jadi
keluarga mempunyai peran dalam pembentukan akhlak anak, oleh karena itu
keluarga harus memberikan pendidikan atau mengajar anak tentang akhlak mulia
atau baik. Hal itu tercermin dari sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan
yang dapat dicontoh oleh anak.
Disamping itu, dalam melakukan
pendidikan akhlak kepada anaknya, orang tua hendaknya menggunakan metode
pembiasaan. Maksudnya anak dilatih untuk berakhlak yang baik dan bertingkah
laku yang sopan kepada orang tua. Jangan sampai kedua orang tua menunjukkan
kekerasan yang terjadi antara keduanya di depan anaknya, karena hal itu akan
mengakibatkan anak meniru kekerasan tersebut dan menganggap bahwa orang tuanya
tidak dapat memberi contoh yang baik.
Dengan demikian, keluarga mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
1. Memberi contoh kepada anak dalam
berakhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah
tidak sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya.
Maka sebagai orang tua harus terlebih dahulu mengajarkan pada dirinya sendiri
tentang akhlak yang baik sehingga baru bisa memberikan contoh pada
anak-anaknya.
2. Menyediakan kesempatan kepada anak
untuk mempraktikkan akhlak mulia. Dalam keadaan bagaimanapun, sebagai orang tua
akan mudah ditiru oleh anak-anaknya, dan di sekolah pun guru sebagai wakil
orang tua merupakan orang tua yang akrab bagi anak.
3. Memberi tanggung jawab sesuai dengan
perkembangan anak. Pada awalnya orang tua harus memberikan pengertian dulu,
setelah itu baru diberikan suatu kepercayaan pada diri anak itu sendiri.
4. Mengawasi dan mengarahkan anak agar selektivitas
dalam bergaul. Jadi orang tua tetap memberikan perhatian kepada anak-anak,
dimana dan kapanpun orang tua selalu mengawasi dan mengarahkan, menjaga mereka
dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat maksiat yang menimbulkan
kerusakan.
Dalam hal ini, orang tua atau
keluarga selaku lembaga pendidikan yang alami dan kodrati bagi anak harus mampu
mengarahkan anak-anaknya untuk berakhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang
buruk dimulai dari menghormatinya. Selain itu, orang tua juga harus mampu
menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua dilarang memerintahkan
pada anak tentang hal-hal yang dilarang agama.
Dalam menilai akhlak anak, orang tua
dapat membaca perbuatan lahir dari anak tersebut, karena perbuatan lahir
merupakan tanda dan bukti adanya akhlak. Misalnya: bila ada seorang anak yang
suka memberi dengan tetap secara terus menerus, maka hal itu menunjukkan bahwa
seorang anak tersebut berakhlak dermawan. Namun jika perbuatan itu hanya
terjadi satu atau dua kali saja, maka tidak dikatakan termasuk perbuatan
akhlak. Dari sini dapat dikemukakan bahwa syarat akhlak ada dua. Pertama, perbuatan
itu harus konstan, yang dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama,
sehingga menjadi kebiasaan. Kedua perbuatan itu harus tumbuh dengan
mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan,
paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh atau bujukan yang indah
dan sebagainya. Dan biasanya akhlak itu yang paling menonjol dipengaruhi oleh
keluarga dan lingkungan.
Pendidikan
akhlak yang diberikan orang tua terhadap anak sangat penting artinya dalam
mewujudkan generasi yang berkualitas dan bertaqwa kepada Allah sehingga mereka
mampu dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah di bumi ini. Akan
tetapi permasalahan yang dihadapi, yaitu jika orang tua tersebut beragama lain
atau musyrik, maka seorang anak tidak wajib untuk menaati perintah orang tua,
jika perintahnya itu berupa hal-hal yang bertentangan dengan agama anak
tersebut, yaitu agama Islam.
عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat
apabila mereka telah berusia tujuh tahun, dan apabila mereka telah berusia
sepuluh tahun maka pukullah mereka (apabila tidak mau melaksanakan shalat itu)
dan pisahkanlah tempat tidur mereka
Hadits yang penulis tampilkan
berikutnya adalah hadits mengenai pendidikan shalat yang diberikan orang tua
kepada anaknya. Orang tua wajib mendidik dan mengajari anaknya shalat.
Penunjukan usia tujuh tahun dalam hadits tersebut, bila ditinjau dari psikologi
modern adalah tepat. Dalam usia tujuh tahun, telinga anak telah mempu menangkap
kandungan suatu perintah atau larangan bahkan berita yang disampaikan melalui
ucapan. Pengembangan seluruh ranah itu dapat dijumpai dalam perintah mendirikan
shalat secara disiplin terhadap anak, kesiapan demikian secara umum belum tampak jelas pada anak
usia enam tahun ke bawah.
Pengaplikasian pendidikan ibadah
yang berupa shalat tersebut dimulai dengan adanya persiapan, yaitu mengenalkan
benda-benda najis, mengenalkan tatacara bersuci, mengajarkan rukun-rukun
shalat, kewajiban-kewajiban dalam mengerjakan shalat serta hal-hal yang bisa
membatalkan shalat.
Memerintahkan anak untuk mendirikan
shalat fadhu dapat direalisasikan melalui tiga alternatif langkah:
1. Perintah yaitu apabila waktu suatu shalat fardhu
telah masuk, sedang anak tampak masih sibuk dengan aktivitasnya seperti:
membaca buku pelajaran, menonton siaran televisi, bermain-main di rumah; maka
orang tua dapat secara langsung memberikan perintah lisan terhadap anak dengan
intonasi dan bahasa tubuh yang dilandasi rasa kasih sayang supaya mendirikan
shalat fardhu secara munfarid. Dan bila diperlukan, hal itu diulang
berkali-kali sampai anak berangkat untuk mengambil air wudhu atau menjalankan
shalat. Maka dari itu, orang tua harus selalu memperhatikan anaknya dan juga
perkembangan mereka, dan mengarahkan segala aktivitasnya ke arah yang positif.
2. Ajakan yaitu apabila waktu suatu shalat fardhu
telah masuk, sedang anak tampak masih sibuk dengan aktivitasnya seperti:
membaca buku pelajaran, menonton siaran televisi, bermain-main di rumah; maka
orang tua dapat secara langsung mengajak anaknya untuk bersama-sama menjalankan
shalat. Namun jika anak masih tidur pulas, seperti pada waktu shalat subuh,
maka orang tua dapat membangunkannya dengan penuh kasih sayang, baik dengan
dipanggil dengan pelan, dirangkul atau dipapah untuk menuju ke tempat berwudhu.
3. Pengawasan yaitu Menurut Marimba, “anak-anak bersifat
pelupa, lekas melupakan larangan-larangan atau perintah yang baru saja diberikan
kepadanya. Oleh sebab itu, maka sebelum kesalahan itu berlangsung lebih jauh,
selalu ada usaha-usaha koreksi dan pengawasan”. Maka orang tua diharapkan mampu
mengawasi kedisiplinan anaknya dalam menjalankan shalat.
Konsekuensi yang diambil jika anak
disiplin dalam menjalankan shalat adalah memberikan reward kepadanya.
Jika anak lalai menjalankan shalat yang pertama adalah diperingatkan. Namun
apabila umurnya sudah mencapai sepuluh tahun sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits diatas, maka orang tua perlu bertindak dengan memukulnya dengan pukulan
yang tidak terlalu keras, yang fungsinya sebagai hukuman kepada anak tersebut
karena telah lalai dalam menjalankan shalat. Hukuman merupakan jalan terakhir
yang ditempuh oleh pendidik. Kalau dalam hadits tersebut disebutkan dengan
hukuman fisik yaitu dengan pukulan, hal itu bisa diartikan secara umum, yaitu
berupa hukuman fisik, psikis dan sosial.
Hukuman ini dilakukan kepada anak
agar anak tidak berbuat hal yang menyebabkan adanya hukuman tersebut. Hukuman juga
menjadikan anak disiplin dalam melaksanakan shalat. Pada taraf yang lebih
tinggi, akan membuat anak menjadi insyaf. Berbuat atau tidak berbuat bukan
karena takut akan hukuman, melainkan karena keinsyafan sendiri.
Sepanjang masih dalam batas-batas
yang diizinkan, hukuman yang diterapkan pendidik terhadap peserta didik dapat
dibenarkan. Namun apabila hukuman yang diterapkan tersebut sampai menganiaya
anak didik, maka tidak dapat dibenarkan lagi. Berkaitan dengan cara mendidik
anak dalam pelaksanaan ibadah yang berupa shalat dapat dikemukakan, bahwa pada
mulanya anak dididik dan diperintah untuk menjalankan shalat dengan kasih
sayang dan lemah lembut, akan tetapi jika anak masih tetap tidak mau
menjalankan shalat, maka boleh beralih ke cara yang lain dan pemukulan
merupakan alternatif terakhir dalam hal itu.
Karena kesadaran yang dibentuk dari
metode nasehat dan kasih sayang akan berbeda dengan kesadaran yang dibentuk
dari metode hukuman dan kekerasan. Apapun alasannya, hukuman dan kekerasan
tidak boleh digunakan untuk mendidik anak, terlebih lagi dalam pendidikan
ibadah, selama masih dimungkinkan menggunakan metode yang lain.
Mengajari anak untuk mendirikan
shalat, berarti melatih mereka untuk mengingat Allah swt, dalam waktu-waktu
yang berurutan pada pagi hari, siang hari, dan sore hari, juga malam hari.
Melatih anak untuk terbiasa mendirikan shalat 5 waktu dengan tertib dan
disiplin berarti melatih anak untuk berkomunikasi dan berhubungan secara lebih
dekat dengan Allah swt, sekaligus menerapkan kedisiplinan waktu kepada mereka.
Hal ini jelas menumbuhkan kesadaran dan sifat amanah yang besar sekali
peranannya ketika anak sudah mencapai usia dewasa nanti, baik untuk individu,
masyarakat, bangsa dan negara, di segala bidang.
Sesuai dengan
tingkat pertambahan usia dan perkembangan kognitif anak, maka keimanan anak
kepada Allah perlu juga ditingkatkan dengan cara melaksanakan ibadah yang
berupa shalat 5 waktu. Melatih
anak untuk mendirikan shalat 5 waktu dengan kontinue berarti juga melatih
mereka untuk belajar mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepadanya.
Setelah anak
mampu untuk kontinue melaksanakan shalat 5 waktu, maka yang selanjutnya adalah
melatih dan mengajak anak untuk melaksanakan shalat sunnah, yang dimulai dengan
memberi tahu anak tentang shalat sunnah, kemudian memberi pemahaman kepada anak
tentang hikmah shalat sunnah, sehingga anak tertarik untuk menjalankan shalat
sunnah dan melaksanakan shalat sunnah, walaupun hanya 1 kali sehari. Namun bila hal itu menjadi
kebiasaan, maka lama-kelamaan anak akan merasakan nikmatnya melaksanakan
shalat. Sehingga anak menganggap bahwa shalat tidak lagi sebagai beban atau
kewajiban, namun shalat sebagai kebutuhan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa sebenarnya orang tua mempunyai tanggung jawab yang sangat
besar terhadap pendidikan anaknya. Dan keluarga yang merupakan lembaga
pendidikan yang pertama dan utama tersebut, wajib memberikan pendidikan agama
Islam dan menjaga anaknya dari api neraka. Jadi keluarga mempunyai peran utama dalam pembentukan akhlak anak, oleh
karena itu keluarga harus memberikan pendidikan atau mengajar anak tentang
akhlak mulia atau baik. Hal itu tercermin dari sikap dan akhlak/perilaku orang tua sebagai teladan
yang dapat dicontoh oleh anak.
Dan dalam
rangka menanamkan aqidah kepada anak, pertama kali yang dilakukan oleh orang
tua mengajarkan kalimat syahadat kepada anak, dengan memperdengarkan kalimat
tersebut kepada anak. Maka sebagai orang tua yang bijaksana dan mempunyai
pengetahuan yang tinggi harus mengerti hal tersebut selain mampu mengajari
anaknya untuk berpikir dan memberikan ilmu kepada anaknya tersebut.
Dalam hal ini
juga, orang tua atau keluarga selaku lembaga pendidikan yang alami dan kodrati
bagi anak harus mampu mengarahkan anak-anaknya untuk berakhlak yang baik dan
meninggalkan akhlak yang buruk dimulai dari menghormatinya. Selain itu, orang tua juga harus
mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua dilarang
memerintahkan pada anak tentang hal-hal yang dilarang agama.
B.
Saran
Penulis sedikit memberi saran terutama kepada penulis sendiri dan pembaca
makalah ini bahwa begitu besar nya tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan
anak nya sehingga apapun dilakukan nya untuk buah hati tercinta dan kita
sebagai anak harus berterimakasih terhadap pengorbanan orang tua terhadap kita
sebagai anaknya yaitu dengan membahagiakan kedua orang tua kita dan jangan
sekali-sekali kita menyakiti hati nya. Salam Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Ashraf, Ali, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj.
Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Akhyak, Profil Pendidik Sukses: Sebuah Formulasi dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi, Surabaya: eLKAF, 2005.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1987.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd Azhim, Manahil al-‘Irfan Fi
‘Ulum Al-Qur’an, Mesir: ‘Isu al bab al Halabi, tt.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan, al-Nukat wa al-‘Uyyun, juz
3, Mauqi’u al Tafasir: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
Al-Maraghi, Mustofa, Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun
Abu Bakar dkk, vol 11, Semarang: Toha Putra, 1989.
Razak, Abdul, Musannaf Abdurrazak, juz 4, Mauqi’u
Ya’sub: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
At Tabrani, Mu’jam Ausath, juz 11, Mauqi’u Ya’sub:
Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
Suwaid, Muhammad, Tarbiyah Fi al-Atfal (Mendidik Anak
Bersama Nabi: Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para
Salaf), terj. Salafuddin Abu Sayyid, Solo: Pustaka Arafah, 2006.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Maunah, Binti, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga: Upaya
Maksimalisasi Fungsi, Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua ” dalam Taallum
Jurnal Pendidikan Islam, vol 18, no1, juni 2008.
Nur, Iffatin, “Implementasi Long Life Education Sebagai
Benteng Moralitas Dalam Perspektif Al-Qur’an“ dalam Taallum Jurnal
Pendidikan Islam, vol 18, No.2, November 2008.
Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, juz 2, Mauqi’ul Islam:
Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
Rohmad, Ali, “Orang Tua Sebagai Pembina Kedisiplinan Shalat
Anak“, dalam Taallum Jurnal Pendidikan Islam, vol. 29, no.1, juni.
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar