Minggu, 10 April 2016

kaedah perumusan hukum islam


KATA PENGANTAR

Dengan ucapan Alhamdulillahlirabbilalamin sebagai rasa terima kasih dan puji  syukur kepada Allah SWT makalah ini dapat terselesaikan. Adapun salah satu tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Belajar Mengajar. Atas selesainya makalah ini tentunya tidak lepas dari kerjasama yang baik dalam kelompok penyusun makalah dan dalam kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Afuan,M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Strategi Belajar Mengajar yang dalam hal ini juga sebagai pemberi tugas.
Tentunya dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kesalahan, baik dari segi kosakata maupun dari segi pengertian. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan agar dalam pembuatan makalah-makalah di masa mendatang dapat lebih baik lagi. Segala saran dan masukan atas kekurangan makalah ini, tim penyusun makalah terima dengan pikiran terbuka dan ucapan terima kasih.

Muara Tebo,25 afril 2013

Penyusun,
i







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 
1. LATAR BELAKANG .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................
1. BEBERAPA TEKNIK MENDAPATKAN UMPAN BALIK……………………....
    A. Memancing Apersepsi Anak…………….……………….……………………….. 
    B. Memanfaatkan Teknik Alat Bantu Yang Aksebtabel……………………………..
    C. Memilih Bentuk Motivasi yang akurat……………………………………………
    D. Menggunakan Metode yang bervariasi……………………………………………
BAB III PENUTUP ........................................................................................................
1. KESIMPULAN ..........................................................................................................
2. SARAN ......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................



BAB I
PEMBAHASAN

Kaidah Perumusan Hukum Islam

Dalam menentukan hukum islam terdapat kaidah perumusan-perumusannya sehingga tidak sembarangan dalam menentukannya. Allah SWT sebagai pembuat hukum dapat ditemukan penjelasan tentang hukum-hukumnya dalam Al-Quran dan ditambah dengan penjelasan dalam Sunnah Rasulullah SAW. Usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut di kalangan ulama disebut istinbath. Maka sesuatu itu ada kaidah dalam  menentukannya. Berikut ini akan dibahas tentang kaidah perumusan hukum islam.

A.    METODOLOGI FORMULASI HUKUM ISLAM

1.Pengantar
Hukum dalam pengertian ulama ushul fiqih ialah “Apa yang dikehendaki olehSyar’I (pembuat hukum)”. Dalam hal ini syar’I adalah Allah. Kehendak syar’I itu dapat ditemukan dalam Al-Quran dan penjelasannya dalam Sunnah.
Sumber hukum islam pada dasarnya ada dua macam yaitu:
a. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis, yaitu langsung berdasarkan teks Al-Quran dan Sunnah Nabi.
b. Sumber “non-tekstual” atau sumber tak tertulis, seperti istihsan dan qiyas. Meskipun sumber hukum kedua ini tidak langsung mengambil dari teks Al-Quran dan Sunnah, tetapi pada hakekatnya digali dari Al-Quran dan Sunnah.

2. Pemahaman Teks Al-Quran dan Sunnah
Teks Al-Quran dan Sunnah (keduanya merupakan sumber dan dalil pokok hukum islam) adalah berbahasa Arab, karena Nabi yang menerima dan menjelaskan Al-Quran itu menggunakan bahasa Arab. Dalam hal ini mereka berpegang pada dua hal:
a)  Pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam hubungannya dengan Al-Quran dan Sunnah.
b) Pada petunjuk nabi dalam memahami hukum-hukum Al-Quran dan penjelasan Sunnah atas hukum-hukum Quran itu. Dalam hal ini lafaz Arabi dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.
Kaidah pemahaman lafaz ‘Arabi itu mencakup 4 segi pokok pembahasan yaitu:
1. Pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz itu.
2. Pemahaman lafaz dari segi penunjukkannya terhadap hukum.
3 Pemahaman lafaz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian dalam lafaz itu.
4. Pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tuntutan hukum.

B.     LAFAZ DARI SEGI KEJELASAN ARTINYA
1.      Lafaz yang Terang Artinya
Lafaz yang terang artinya dan jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
Ulama ushul berbeda pendapatdalam hal pembedaan tingkat antara zhahir dan nash, yaitu:
a.       Kalangan ulama Hanafiyah membedakan antara tingkatan zhahir dengan nash.
b.      Sebagian ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak membedakan tingkatan antara nash dan zhahir.
c.       Sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membedakan keduanya, yaitu nash adalah tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan dalam penunjukkannya, sedangkan zhahir dalam penunjukan terhadap artinya mengandung beberapa kemungkinan.
Di bawah ini akan diuraikan penjelasan tentang keempat tingkatan lafaz yang terang, yaitu:
a.      Zhahir
Dalam memberikan definisi terhadap lafaz zhahir terdapat rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul.
1.      Al-Sarkhisi secara sederhana memberi definisi:
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu.


2.      Al-Amidi memberikan definisi:
Lafaz zhahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud adalah berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafaz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah.
3.      Qadhi Abi Ya’la merumuskan definisi:
Lafaz yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.
4.      Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf:
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafaz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk dita’wilkan (dipahami dengan maksud lain).
Contoh lafaz zhahir adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarinah yang menjelaskannya.

b.      Nash
Pengertian nash disini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti Al-Quran atau hadis dan bukan pula nash dalam ari fiqih mazhab yaitu qaul (pendapat) imam mujtahid yang dijadikan dasar berijtihad bagi pengikut mazhab, tetapi kedudukan lafaz dari segi kejelasan arti.
Para ulama mengemukakan definisi berbeda tentang lafaz nash:
1.      Definisi nash menurut Al-Uddah:
Lafaz yang jelas dalam hukumnya meskipun lafaz itu mungkin dipahami untuk maksud lain.
2.      Ulama Hanafiyah yang membedakan antara zhahir dengan nash memberikan definisi terhadap nash, sebagai berikut:
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan dita’wilkan.

c.       Mufassar
Dengan ditempatkannya al-mufassar ini pada urutan ketiga, menunjukkan ia lebih jelas dari lafaz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya:
1.      Al-Sarkhisi memberi definisi:
Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
2.      Definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf:
Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.
3.      Al-Uddah merumuskan definisi yang sederhana namun jelas, yaitu:
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakekat lafazmufassar adalah:
a.       Penunjukkannya terhadap maknanya jelas sekali.
b.      Penunjukkannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah dari luar.
c.       Karena jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin dita’wilkan.
Mufassar itu ada dua macam yaitu:
1.      Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nur ayat 4:
Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.
2.      Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu juga disebut dengan “mubayyan”. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 92:
Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.

d.      Muhkam
Lafaz yang muhkam ialah:
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukkan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.
Lafaz muhkam berada pada tingkat paling atas dari segi kejelasan artinya, karena lafaz ini menunjukkan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak dalam ungkapan si pembicara.
Tidak menerimanya lafaz muhkam itu akan pembatalan atau nasakh, terkadang disebabkan oleh teks lafaz itu sendiri yang menghendaki demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nur ayat 5:
Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamanya.
Kata ﺍﺒﺪﺍ (selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukkan bahwa tidak diterimanya kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Contoh lain dalam sabda Nabi Muhammad:
ﺍ ﻠﺠﻬﺎ ﺪ ﻤﺎ ﺾ ﺇ ﻠﻰ ﻴﻮ ﻢ ﺍ ﻠﻘﻴﺎ ﻤﺔ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
Dari uraian di atas jelas bahwa muhkam itu ada dua macam, yaitu:
1.      Muhkam Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nash itu muncul dari lafaznya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin dinasakh.
2.      Muhkam Lighairihi, atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapaatnya lafaz itu dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah Ushul disebut lafaz yang qath’I penunjukkannya terhadap hukum.

2.      Lafaz yang Tidak Terang Artinya
Lafaz yang tidak terang artinya terbagi kedalam 4 macam tingkat dalam hal ketidak jelasan pengertiannya, yaitu tidak terang; lebih tidak terang; sangat tidak terang; dan paling tidak terang. Penjelasannya sebagi berikut:
1.      Khafi
Lafaz khofi ialah suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukkan (dilalah)nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz.
Contoh lafaz khofi ini adalah lafaz ﺍﻠﺴﺎﺮﻖ (pencuri) dalam firman Allah, surat Al-Maidah ayat 4:
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.

2.      Musykil
Lafaz musykil ialah suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
1.      Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa quru’ itu artinya “haid”. Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan dalil dan qarinah sebagai berikut:
a.       Firman Allah dalam surat at Thalaq ayat 4 yang artinya:
Perempuan-perempuan yang telah putus haid diantara isterimu jika ia ragu tentang iddahnya, maka iddahnya adalah tiga bulan.

b.      Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 219:
Tidak boleh perempuan-perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahim mereka.

c.       Sabda Nabi Muhammad SAW tentang jumlah talak dan ‘iddah bagi hamba sahaya:
Bilangan talak perempuan sahaya itu adalah dua kali dan iddahnya adalah dua kali haid.

d.      Di antara hikmah hukum diwajibkannya ‘iddah terhadap perempuan yang ditalak suaminya, adalah untuk mengetahui apakah rahim perempuan itu bersih dari peninggalan bibit suaminya yang telah mentalaknya. Hal yang demikian hanya dapat diketahui dengan “haid”, bukan dengan suci “suci”.

2.      Imam Syafi’I berpendapat bahwa quru’ itu artinya “suci”. Ayat tentang iddah di atas menjelaskan kewajiban perempuan yang bercerai dari suaminya adalah menunggu sampai tiga kali suci.
a.       Firman Allah SWT, dalam surat at-Thalaq (65): 1 :
Bila kamu ingin menceraikan istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka dengan waktu ‘iddahnya.
b.      Kata bilangan ( ) untuk menunjukkan 3 quru’ dalam ayat tersebut menggunakan kelamin jenis betina ( mu’annas ) yaitu Tsalatsah.Dalam ketentuan kaidah bahasa Arab, bila bilangannya menggunakan jenis kelamin betina (mu’annas), maka yang dibilang ( ) harus dalam bentuk jenis yang “jantan” ( mudzakkar ). Berdasarkan ketentuan bahasa ini, maka quru’ itu harus dalam bentuk “jantan”. Di antara kata “suci” dan “haidl” itu dalam kaidah bahasa Arab, yang jantan adalah kata “suci’. Dengan demikian tiga quru’ berarti tiga kali “suci”.
3.      Penafsiran quru’ dengan suci itu lebih dekat artinya dalam hal penggunaan kata dari segi pengertiannya, karena kata quru’  artinya berkumpul atau bergabung

3.      Mujmal  
Lafaz mujmal dalam pengertian sederhana adalah :
Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.
Lafadz mujmal ini lebih samar (tidak terang) dibandingkan dengan lafadz sebelumnya karena dari segi sighatnya sendiri ia tidak menunjukkan arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat membawa kita kepada maksudnya; tidak mungkin pula dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari syari’ (Pembuat Hukum) sendiri (dalam hal ini adalah Nabi).

4.      Mutasyabih
Lafadz mutasyabih, secara bahasa (arti kata), adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah :
Lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk menapai artinya.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1.      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam al-Qur’an seperti ﺍﻠﻢ ,  ﺍﻠﺮ ,  ﻜﻬﻴﻌﺺ dan sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidakmengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafadznya.
2.      Ayar-ayat yang menurt zhahirnya mempersamakan Allah Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat-ayat itu menurut arti lughowinya karena Allah SWT Maha Suci dari pengertian yang demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fath (48): 10 yang Arti: Tangan Allah berada di atas tangan mereka.
Firman Allah dalam surat ar-Rahman (55) :27 yang artinya:
Dan akan tetap kekal Tuhanmu yang Maha Besar dan Maha Mulia.

C.    LAFAZ DARI SEGI PENGGUNAANNYA
Lafadz itu dalam tulisan. Lafadz dari segi penggunaanya digolongkan kepada haqiqah dan majaz. Sedangkan dari segi kejelasan untuk menyampaikan suatu maksud, lafadz itu dikelompokkan pada sharih dan kinayah. Selain itu, dari segi kejelasan arti suatu lafadz yang digunakan, seperti telah disinggung di atas, kadang digunakan ta’wil. Semua itu masing-masing akan diuraikan secara singkat dibawah ini.
1.      Haqiqah (Hakikat) dan Majaz

a.      Pengertian Haqiqah dan Majaz
Haqiqah dan Majaz adalah dua kata dalam bentuk mutadhayyifan ataurelative term, dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk ke dalam salah satu diantaranya.
Para ulama memiliki arti yang berbeda terhadap Haqiqah dan Majaz. Perbedaan itu hanya dalam perumusan saja, sedangkan pengertianya berdekatan.
Ada beberapa rumusan tentang pengertian “Haqiqah”:
a.       Menurut Ibnu Subki:
Lafadz yang digunakan untuk apa lafadz itu ditentukan pada mulanya.
b.      Ibnu Kudamah memberikan definisi:
Lafadz yang digunakan untuk sasarannya semula.
c.       Menurut Al-Sarkhisi:
Setiap lafadz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.
Seluruh definisi tersebut mengandung pengertian tentang haqiqah, yaitu: “Suatu lafadz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu”. Maksudnya, lafadz itu digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi “haqiqah” itu kepada beberapa bentuk:
1.      Haqiqah Lughowiyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu:
Lafadz yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa.
Contohnya, kata “Manusia” untuk semua hewan yang berakal.
2.      Haqiqah Syar’iyah yang ditetapkan oleh syar’I (Pembuat Hukum) sendiri, yaitu:
Lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syar’i.
Umpamanya lafadz “Shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.
3.      Haqiqah Urfiyah Khashshah  yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu:
Lafadz yang digunakan arti untuk kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.
Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku dikalangan ahli fiqih.
4.      Haqiqah Urfiyah Ammah yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umu, yaitu:
Lafadz yang digunakan dalam makna yang berlaku dalam kebiasaan umum.
Umpamannya penggunaan kata dabbah  dalam bahasa Arab untuk hewan ternak berkaki empat.
Para ulama Ushul juga memberikan definisi yang beragam tentangmajaz. Tetapi semuanya berdekatan artinya dan saling melengkapi, yaitu:
1.      Al-Sarkhisi memberikan definisi:
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan.
2.      Menurut Ibnu Qudamah:
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan.
3.      Definisi Majaz menurut Ibnu Subki:
Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan.
Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut, yaitu:
a.       Lafaz itu tidak menunjukkan pada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki suatu bahasa;
b.      Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud;
c.       Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu memang ada kaitannya.

b.      Macam-macam Majaz
1.      Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.
2.      Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran maksud dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu.
3.      Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”. Umpamanya dalam firman Allah surat An-Nisa ayat 11, yang menjelaskan maksud sebenarnya adalah “sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiatnya”.
4.      Meminjam kata lain yaitu menanamkan sesuatu dengan menggunakan kata lain, seperti memberi nama si A yang “pemberani” dengan “singa”.

c.       Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz
Beberapa hal yang dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara haqiqah dengan majaz, diantaranya sebagai berikut:
a.       Salah satu diantara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman disbanding dengan yang lain. Itulah yang haqiqah. Sedangkan yang agak lambat menyentuh pemahaman adalah majaz.
b.      Salah satu diantara kedua lafaz itu dapat dikembangkan atau ditasrifkan ke dalam beberapa lafaz, itulah haqiqah; kalau tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa dinamai majaz.

d.      Ketentuan yang Berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah dan majaz adalah sebagai berikut:
a.       Bila suatu lafaz digunakan antara haqiqah dan majaz, maka lafaz itu ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafaz atau kata adalah untuk haqiqahnya.
b.      Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafaz yang digunakan, baik dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam bentuk umum maupun khusus. Dan di antara dua bentuk lafaz itu tidak terdapat pertentangan; karena majaz itu adalah pengganti haqiqah.
c.       Haqiqah dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafaz dalam keadaan yang sama. Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri; karena haqiqah adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapar berkumpul dalam satu lafaz.


e.       Penyebab Tidak Berlakunya Haqiqah
Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqahnya dan tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan haqiqahnya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
1.      Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz.
Dalam hal ini haqiqah lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan (dipegang) adalah apa yang mudah dipahami dari lafaz tersebut.
2.      Adanya petunjuk lafaz.
Dalam hal ini suatu lafaz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah, namun yang dimaksud bukan untuk itu.
3.      Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar haqiqah.
4.      Adanya petunjuk dari sifat pembicara.
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti menurut apa yang diucapkan, namun dari sifat pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
5.      Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafaz, lafaz itu harus dipahami menurut apa adanya; namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu menurut haqiqahnya.

f.       Adanya Majaz dalam Ucapan
1.      Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan Syar’I (pembuat hukum) dalam Al-Quran dan Sunah; sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang digunakannya.
2.      Abu Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majaz. Apa yang selama ini diangggap majaz itu sebenarnya adalahhaqiqah. Karena ada petunjuk yang menjelaskannya.
3.      Golongan ulama Zhahiri menolak adanya majaz dalam Al-Quran dan hadis Nabi. Seandainya menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk  digunakan dalam artian syar’I, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam Al-Quran dan Hadis ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti dusta; sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.

2.      Sharih dan Kinayah
Secara arti kata, sharih dari kata sharaha berarti terang; ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin.
Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukkan arti lain.

3.      Ta’wil
a.      Pengertian Ta’wil
Dalam Al-Quran terdapat kata “ta’wil” dalam 17 tempat. Bila dianalisa antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan maksudnya. Dari keseluruhan kemungkinan arti ta’wil, dapat dikelompokkan kepada dua kelompok:
1.      Arti yang mengarah kepada arti lughawi yang murni, ta’wil adalah:
ﺍﻠﺮﺠﻮﻉ  -  ﺍﻠﻤﺎﻞ  -  ﺍﻠﻌﺎﻘﺒﺔ -  ﺍﻠﻤﺼﻴﺮ
2.      Arti yang mengarah kepada arti istilah syar’I adalah:  ﺍﻠﺒﻴﺎﻦ  -  ﺍﻠﺘﻔﺴﻴﺮ
Meskipun terdapat beberapa definisi atau istilah hukum terhadap ta’wil, namun maksudnya saling berdekatan dan saling mengisi.
1.      Abd. Wahab Khalaf memberi definisi:
Memalingkan lafaz dari arti zhahirnya berdasarkan adanya dalil.
2.      Definisi menurut Ibn Jauzi:
Mengalihkan ucapan dari maudhu’nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkan kepada dalil, yang kalau tidak demikian, maka zhahir lafaz tidak akan ditinggalkan.
3.      Ibnu Atsir memberikan definisi:
Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil.
4.      Definisi yang dirumuskan Abu Zahrah:
Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.
Beberapa definisi di atas yang berbeda menurut lahirnya, dapat dirangkum dalam suatu rumusan tentang definisi ta’wil, yaitu: “Memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.”
Dari rumusan yang sederhana itu dapat dilihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil, yaitu:
a.       Lafaz itu tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya;
b.      Arti yang dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau oleh arti zahir lafaz itu;
c.       Peralihan dari arti zahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.

b.      Syarat-Syarat Ta’wil
1.      Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti zahir dan lafaz nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2.      Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk dita’wil, serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3.      Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti:
a.       Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu.
b.      Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya.
c.       Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.
4.      Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada.

c.       Bentuk-bentuk Ta’wil
1.      Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu:
a.       Ta’wil maqbul atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama Ushul.
b.      Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak,  yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2.      Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang dita’wil dari makna zhahirnya, ta’wil dibagi kepada dua bentuk:
a.       Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
b.      Ta’wil ba’id yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.


d.      Macam-macam Ta’wil
1.      Ta’wil Al-Quran atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya. Umpamanya menta’wilkan “tangan Allah” dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48) : 60:
Tangan Allah berada di atas tangan mereka.
2.      Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum ta’lifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hukum-hukum dalam ayat Al-Quran atau hadits Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip.

D.    LAFAZ DARI SEGI KANDUNGAN PENGERTIANNYA
Setiap lafaz (kata) yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafaz itu. Ada pula lafaz yang mengandung beberapa pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafaz itu. Bila hukum berlaku untuk lafaz itu maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung di dalamnya.
Di bawah ini aka dibahas mengenai lafaz yang’am, khash, mutlaq, dan muqayyad tersebut.
1.      Lafaz ‘Am (Umum)
a.      Definisi ‘Am
Dalam mendefinisikan lafaz ‘am, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ushul. Namun dari beberapa rumusan itu dapat ditarik hakikat dari lafaz ‘am yang mencakup jiwa dari setiap rumusan, yaitu:
1.      Lafaz itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal.
2.      Lafaz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian).
3.      Lafaz yang tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam penggunaannya.
4.      Bila hukum berlaku untuk satu lafaz, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap afrad (satuan pengertian) yang tercakup di dalam lafaz itu.

b.      Ruang Lingkup ‘Am
Setiap lafaz kata mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu (1) lafaz itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf, dan (2) makna atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.

c.       Sighat Umum
Sighat ‘am adalah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal  apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘am.

d.      Lafaz-lafaz yang Berarti Umum
Lafaz-lafaz yang dapat mengandung pengertian ‘am tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Lafaz jama’ dalam bentuk nakirah
Lafaz jama’ (ganda) ada yang berbentuk ma’rifah (tertentu atau definite) yang ditandai oleh alif-lam atau idhafah yang lafaz ini sudah jelas termasuk dalam kelompok lafaz ‘am sebagaimana disebutkan di atas. Di samping itu ada pula jama’ dalam bentuk nakirah (tak tentu atau indefinite) yang ditandai oleh tanwin (harkat baris dua).

2)      Jawaban Atas Suatu Pertanyaan
Dalam Al-Quran banyak teks muncul sebagai jawaban yang dikemukakan oleh umat yang ditujukan kepada Nabi. Demikian pula hukum dalam hadits Nabi muncul sebagai jawaban dari masalah yang timbul.
Jawaban yang diberikan Nabi itu diantaranya ada yang terkait langsung dan tidak terpisah dari pertanyaan yang disampaikan atau dijawab dengan “ya” atau “tidak”. Diantara jawaban itu ada yang terpisah dari pertanyaan dengan arti menggunakan kalimat tersendiri yang terpisah dari kalimat pertanyaan.
Keadaan jawaban yang lebih umum dari pertanyaan itu ada dalam dua bentuk:
a.       Jawaban lebih umum dari pertanyaan dalam hukum dan tidak pada yang lain. Umpamanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi tentang air sumur yang dijawab Nabi, “Air itu diciptakan dalam keadaan bersih; tidak ada yang mengotorinya kecuali berubah rasa, warna atau baunya.”
b.      Jawaban lebih umum dari pertanyaan di luar huukm. Seperti pertanyaan yang diajukan kepada Nabi tentang berwudhu’ dengan air laut yang dijawab Nabi, “Laut bersih airnya dan halal bangkai yang terdapat di dalamnya.”

3)      Al-Muqtadha
Al-Muqtadha ialah lafaz tersembunyi yang baru dimunculkan dalam pikiran untuk kebenaran suatu ucapan. Al-Muqtadha itu ada dua macam:
1.      Suatu lafaz yang harus dimunculkan untuk benarnya suatu ucapan atau kalam. Umpamanya sabda Nabi:
Diangkat dari umatku: kesalahan dan lupa.
2.      Sesuatu yang dituntut munculnya oleh hukum untuk kebenaran hukum itu secara syara’ dengan pengertian, bahwa yang harus dimunculkan itu adalah peristiwa hukum.

4)      Amal (Perbuatan) Nabi yang Dinukilkan
Setiap amal atau perbuatan dapat dibagi-bagi kepada beberapa bagian atau diarahkan kepada beberapa arah. Dalam hadits sering dijumpai penukilan dari Nabi untuk memperkuat suatu perbuatan seperti: Nabi berdoa, Nabi shalat, Nabi puasa dan lainnya. Apakah perbuatan Nabi yang dinukilkan itu mencakup seluruh bagiannya atau seluruh arahnya.
5)      Hikayatul Hal
Secara sederhana, hikayatul hal dapat diartikan pemberitaan perawi hadits tentang keadaan yang terjadi pada Nabi. Sering perawi hadits menceritakan sesuatu tentang Nabi yang menyangkut perbuatan yang berdaya hukum. Contohnya ucapan: “Nabi melarang jual beli gharar”, nabi melarang manukarkan kurma basah dengan kurma kering”, atau “Nabi menetapkan hak syuf’ah untuk tetangga”. Berita itu disampaikan oleh perawi secara umum.

6)      Ketidak-samaan Dua Hal
Beberapa ayat Al-Quran yang memberikan ketidak-samaan dua hal tentang sesuatu, umpamanya firman Allah dalam Surat Al-Hasyr (59): 30:
Tidaklah sama antara ahli neraka dan ahli surga.
Ketidak-samaan dua pihak itu berlaku umumyang meliputi semua hal atau tidak, terdapat perbedaan pendapat antara ulama.
1.      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ketidak-samaan itu berlaku umum dalam segala bentuk, baik yang menyangkut urusan dunia maupun yang menyangkut urusan akhirat.
2.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ketidak-samaan itu tidak berlaku umum untuk semua bentuk.

7)      Fi’il Muta’addi
Di antara kata kerja yang tidak memerlukan objek seperti kata “mandi”, dan ada yang memerlukan objek baik yang mempunyai satu objek seperti kata “makan”, maupun yang mempunyai dua objek seperti kata “membelikan”. Para ulama ushul berbeda pendapat mengenai “apakah kata kerja yang memerlukan satu objek (fi’il muta’addi), berlaku umum atau tidak dalam hubungan dengan objeknya”.
Ulama Syafi’iyah dan Qadhi Abu Yusuf (pengikut Hanafiyah) berpendapat bahwa fi’il muta’addi itu menunjukkan ‘am terhadap semua objeknya. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa fi’il muta’addi itu tidak menunjukkan ‘am. Perbedaan pendapat itu terlihat dalam contoh bila seseorang berkata, “Saya tidak makan,” dan meniatkan memakan makanan tertentu.
8)      Jama’ Muzakkar
Setiap lafaz (kata) yang berkaitan dengan orang sebagai subjek hukum selalu berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan jenis kelamin (gender). Yang berkaitan dengan jumlah dapat dikategorikan kepada bentuk: mufrad (satu orang), mutsanna (dua orang), dan jama’ (tiga orang atau lebih). Sedangkan yang berkaitan dengan jenis kelamin dikategorikan kepada bentuk: muzakkar (laki-laki), dan muannats(perempuan). Masing-masing mempunyai bentuk lafaz tertentu dalam bahasa Arab.
Para ulama telah sepakat bahwa sighat jama’ muzakkar (lafaz jamak untuk jenis laki-laki) adalah sah digunakan secara mutlak untuk laki-laki. Namun tentang sah tidaknya penggunaan jama’ muzakkar itu untuk perempuan secara hakiki terdapat beda pendapat di kalangan ulama.
1.      Ulama Syafi’iyah, sebagian ulama Hanafi, ulama kalam al-Asyariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa secara hakiki jama’ muzakkar tidak berlaku secara ‘am untuk jenis perempuan. Kadang-kadang digunakan juga untuk jenis perempuan hanya secara majazi. Oleh karena itu perlu qarinah yang menjelaskannya.
2.      Sekelompok ulama Hanbali dan Dawud al-Zhahiri berpendapat bahwa jama’ muzakkar itu berlaku umum dan menjangkau juga kepada perempuan.

9)      ‘Athaf (Merangkaikan Lafaz) kepada Lafaz ‘Am
Dalam Al-Quran biasa ditemukan sebuah lafaz yang dirangkaikan kepada lafaz laibn dengan menggunakan  kata sambung “dan”. Ada lafaz ‘am dirangkaikan pada lafaz ‘am. Hal ini tidak menjadi pembicaraan ulama.
Banyak pula lafaz yang tidak jelas keumumannya dirangkaikan kepada lafaz ‘am; apakah dengan dirangkaikannya kepada lafaz ‘am itu memberi petunjuk tentang keumumannya. Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama.
1.      Kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa lafaz yang dirangkaikan kepada lafaz ‘am tidak memberi petunjuk akan keumumannya.
2.      Pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa lafaz yang dirangkaikan kepada ‘am itu menunjukkan ‘am.

10)  Khitab (Titah Hukum) yang Ditujukan Kepada Nabi
Banyak titah Allah dalam Al-Quran yang ditujukan kepada Nabi, seperti:
a.       Surat Al-Thalaq (65) : 1:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah dalam masa memasuki ‘iddahnya.
b.      Surat Muzammil (73): 1-2:
Hai orang yang berselimut (Muhammad) bangunlah (untuk sholat) di malam hari.
c.       Surat al-Mudatstsir (74): 1-2:
Hai orang yang brselimut (Muhammad), bangunlah, lalu berilah peringatan.

11)  Khitab (Titah Hukum) yang Ditujukan Kepada Umat
Dalam Al-Quran juga terdapat titah Allah yang ditujukan kepada umat Islam seperti:
ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻨﺎﺲ   -  ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻠﺬﻴﻦﺍﻤﻨﻮﺍ   -  ﻴﺎﻋﺒﺎﺪﻲ
(Hai hamba-Ku--Hai orang-orang yang beriman—Hai sekalian manusia.)
Contoh khitab (titah) yang diarahkan kepada salah seorang dari umat dan dijelaskan kekhususannya adalah seperti ucapan, “Boleh untukmu dantidak boleh untuk orang selain kamu.” Dalam bentuk ini tidak diragukan lagi bahwa titah seperti itu khushush untuk orang yang dikenai titah itu saja.

e.       Dilalah (Penunjukkan) Lafaz Umum
Perbedaan pendapat ulama terletak pada penunjukkan lafaz umum yang belum diikuti oleh dalil takhsis terhadap makna (afrad) yang tercakup didalamnya: apakah penunjukannya secara meyakinkan (qath’i) atau tidak meyakinkan (zhanni).
1.      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa penunjukkan lafaz umum terhadap setiap afradnya secara khusus adalah zhanni karena adanya kemungkinan untuk ditakhsis, meskipun belum jelas adanya dalil yang mentakhsisnya, karena begitu banyaknya terjadi takhsis dalam lafaz umum.
2.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz umum menunjukkan berlakunya hukum dalam semua afradnya secara meyakinkan (qath’i), sebagaimana juga lafaz khusus menunjukkan hukum secara qath’I pada apa yang ditujunya.

f.       Pengamalan Hukum Umum
Bila bertemu sebuah lafaz ‘am yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas keumumannya itu.
1.      Di kalangan ulama Hanbali terdapat dua versi:
a.       Menyatakan wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafaz itu. Ini adalah pendapat Ahmad menurut riwayat Abdullah yang diikuti pula oleh Abu Bakar al-Sairafi.
b.      Menyatakan tidak wajib beramal dengan lafadz ‘am secara langsung di saat itu juga menurut kemauannya. Ini adalah pendapat Ahmad dari riwayat anaknya Shalih dan Abu Harits.
2.      Di kalangan ulama Syafi’I juga terdapat dua versi pendapat:
a.       Pendapat terbanyak bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhshish dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘am.
b.      Pendapat lainnya menyatakan harus beramal saat itu juga dan tidak boleh ditangguhkan pelaksanaannya.
3.      Demikian pula di kalangan ulama Hanafiyah, terdapat dua pendapat:
a.       Abu Abdullah al-Jurjani mengatakan bahwa seorang pendengar bila mendengar dari Nabi dalam bentuk penjelasan tentang hukum, wajib meyakininya dalam keumumannya. Tetepi bila didengarnya dari orang lain, ia harus berhati-hati dan mencari sesuatu yang akan mentakhshishnya. Bila tidak menemukannya, mka lafadz tersebut harus ditetapkan kepada apa yang dituntut oleh lafadz ‘am.
b.      Abu Sofyan menghikayatkan wajibnya meyakini keumuman lafadz ‘amtanpa harus ditangguhkan dengan rincian dari takhshish secara muthlak, baik diterima Nabi atau yang lainnya.

g.      Macam-macam Lafaz Umum
Lafadz ‘am (‘am) itu dapat dikelompokkan pada tiga macam:
a.       ‘Am yang maksudnya adalah ‘am ( ﻋﺎﻢﻴﺮﺍﺒﻪﺍﻠﻌﻤﻮﻢ )
b.      ‘Am yang maksudnya khushush ( ﻋﺎﻢﻴﺮﺒﻪﺍﻠﺨﺼﻮﺺ )
c.       ‘Am yang makhsus (dikhususkan) ( ﻋﺎﻢﻤﺨﺼﻮﺺ )
1.      Lafadz “’Am yang maksudnya umum”, adalah lafadz yang dari segi lafadznya ‘am sedangkan yang dimaksud ‘am itu adalah memang keumumannya. Secara definitive, dapat dirumuskan sebagai berikut:Lafadz ‘am yang diseratai qarinah yang menolak kemungkinan untuk ditakhshish.
Umpamanya lafadz ‘am dalam firman Allah, surat Ali imran (3):185:
Setiap diri akan merasakan kematian.
Kata  dalam ayat di atas, adlah sighat ‘am yang dari segi artiny adiketahui memang tidak dapat dibatasi keumumannya, karena tidak satupun dari semua makhluk hidup yang tidak akan merasakan kematian. Qarinah yang menyertai di sini adalah qarinah haliyah atau keyakinan yang dirasakan bersama. Lafadz ‘am dalam bentuk ini penunjukkannya terhadap umum adalah qath’i.
2.      Lafadz “ ‘Am yang maksudnya adalah khushush”, adalah lafadz yang dari segi lafadznya adalah ‘am, namun dari segi makna yang terkandung di dalamnya adalah khushush. Secara definitif rumusannya adalah: Lafadz yang disertai qarinah yang meniadakan keumumannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar