KATA
PENGANTAR
Dengan
ucapan Alhamdulillahlirabbilalamin sebagai rasa terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT makalah ini dapat
terselesaikan. Adapun salah satu tujuan dari disusunnya makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Belajar Mengajar. Atas selesainya
makalah ini tentunya tidak lepas dari kerjasama yang baik dalam kelompok
penyusun makalah dan dalam kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Bapak Afuan,M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Strategi
Belajar Mengajar yang dalam hal ini juga sebagai pemberi tugas.
Tentunya
dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kesalahan, baik dari segi kosakata
maupun dari segi pengertian. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan agar dalam pembuatan makalah-makalah di masa
mendatang dapat lebih baik lagi. Segala saran dan masukan atas kekurangan
makalah ini, tim penyusun makalah terima dengan pikiran terbuka dan ucapan
terima kasih.
Muara Tebo,25 afril 2013
Penyusun,
i
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
.....................................................................................................
DAFTAR ISI
...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
...............................................................................................
1. LATAR BELAKANG
.................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
................................................................................................
1. BEBERAPA TEKNIK MENDAPATKAN UMPAN
BALIK……………………....
A.
Memancing Apersepsi Anak…………….……………….………………………..
B.
Memanfaatkan Teknik Alat Bantu Yang Aksebtabel……………………………..
C.
Memilih Bentuk Motivasi yang akurat……………………………………………
D.
Menggunakan Metode yang bervariasi……………………………………………
BAB III PENUTUP
........................................................................................................
1. KESIMPULAN
..........................................................................................................
2. SARAN
......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................
BAB
I
PEMBAHASAN
Kaidah Perumusan Hukum Islam
Dalam menentukan hukum islam terdapat kaidah perumusan-perumusannya
sehingga tidak sembarangan dalam menentukannya. Allah SWT sebagai pembuat hukum
dapat ditemukan penjelasan tentang hukum-hukumnya dalam Al-Quran dan ditambah
dengan penjelasan dalam Sunnah Rasulullah SAW. Usaha pemahaman, penggalian dan
perumusan hukum dari kedua sumber tersebut di kalangan ulama disebut istinbath.
Maka sesuatu itu ada kaidah dalam menentukannya. Berikut ini akan dibahas
tentang kaidah perumusan hukum islam.
A.
METODOLOGI
FORMULASI HUKUM ISLAM
1.Pengantar
Hukum dalam pengertian
ulama ushul fiqih ialah “Apa yang dikehendaki olehSyar’I (pembuat
hukum)”. Dalam hal ini syar’I adalah Allah. Kehendak syar’I itu
dapat ditemukan dalam Al-Quran dan penjelasannya dalam Sunnah.
Sumber hukum islam
pada dasarnya ada dua macam yaitu:
a. Sumber “tekstual” atau sumber
tertulis, yaitu langsung berdasarkan teks Al-Quran dan Sunnah Nabi.
b. Sumber “non-tekstual” atau sumber
tak tertulis, seperti istihsan dan qiyas. Meskipun sumber hukum kedua ini tidak
langsung mengambil dari teks Al-Quran dan Sunnah, tetapi pada hakekatnya digali
dari Al-Quran dan Sunnah.
2. Pemahaman Teks Al-Quran dan Sunnah
Teks Al-Quran dan
Sunnah (keduanya merupakan sumber dan dalil pokok hukum islam) adalah berbahasa
Arab, karena Nabi yang menerima dan menjelaskan Al-Quran itu menggunakan bahasa
Arab. Dalam hal ini mereka berpegang pada dua hal:
a) Pada petunjuk kebahasaan dan
pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam hubungannya dengan
Al-Quran dan Sunnah.
b) Pada petunjuk nabi dalam memahami
hukum-hukum Al-Quran dan penjelasan Sunnah atas hukum-hukum Quran itu. Dalam
hal ini lafaz Arabi dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.
Kaidah pemahaman
lafaz ‘Arabi itu mencakup 4 segi pokok pembahasan yaitu:
1. Pemahaman lafaz dari segi arti dan
kekuatan penggunaannya terhadap maksud kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz
itu.
2. Pemahaman lafaz dari segi
penunjukkannya terhadap hukum.
3 Pemahaman lafaz dari segi
kandungannya terhadap satuan pengertian dalam lafaz itu.
4. Pemahaman lafaz dari segi gaya
bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tuntutan hukum.
B. LAFAZ
DARI SEGI KEJELASAN ARTINYA
1. Lafaz
yang Terang Artinya
Lafaz yang terang
artinya dan jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar
kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari
luar.
Ulama ushul berbeda
pendapatdalam hal pembedaan tingkat antara zhahir dan nash, yaitu:
a. Kalangan
ulama Hanafiyah membedakan antara tingkatan zhahir dengan nash.
b. Sebagian
ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak membedakan tingkatan antara
nash dan zhahir.
c. Sebagian
ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membedakan keduanya, yaitu nash adalah tidak
mengandung kemungkinan-kemungkinan dalam penunjukkannya, sedangkan zhahir dalam
penunjukan terhadap artinya mengandung beberapa kemungkinan.
Di bawah ini akan
diuraikan penjelasan tentang keempat tingkatan lafaz yang terang, yaitu:
a. Zhahir
Dalam memberikan
definisi terhadap lafaz zhahir terdapat rumusan yang berbeda di kalangan ulama
ushul.
1. Al-Sarkhisi
secara sederhana memberi definisi:
Dari apa-apa yang didengar meskipun
tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh
pembicara dengan lafaz itu.
2. Al-Amidi
memberikan definisi:
Lafaz zhahir adalah apa yang menunjuk
kepada makna yang dimaksud adalah berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa
menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafaz itu
adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah.
3. Qadhi Abi
Ya’la merumuskan definisi:
Lafaz yang mengandung dua kemungkinan
makna, namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.
4. Definisi yang
tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf:
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafaz lain,
tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk
dita’wilkan (dipahami dengan maksud lain).
Contoh lafaz zhahir adalah
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
Ayat ini jelas sekali mengandung
pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram,
karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang
tanpa memerlukan qarinah yang menjelaskannya.
b. Nash
Pengertian nash disini
tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti Al-Quran atau hadis
dan bukan pula nash dalam ari fiqih mazhab yaitu qaul (pendapat)
imam mujtahid yang dijadikan dasar berijtihad bagi pengikut mazhab, tetapi
kedudukan lafaz dari segi kejelasan arti.
Para ulama
mengemukakan definisi berbeda tentang lafaz nash:
1. Definisi nash
menurut Al-Uddah:
Lafaz yang jelas dalam hukumnya meskipun
lafaz itu mungkin dipahami untuk maksud lain.
2. Ulama
Hanafiyah yang membedakan antara zhahir dengan nash memberikan definisi
terhadap nash, sebagai berikut:
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan,
dan ada kemungkinan dita’wilkan.
c. Mufassar
Dengan
ditempatkannya al-mufassar ini pada urutan ketiga, menunjukkan
ia lebih jelas dari lafaz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar,
diantaranya:
1. Al-Sarkhisi
memberi definisi:
Nama bagi sesuatu yang terbuka yang
dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan
mengandung makna lain.
2. Definisi yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf:
Suatu lafaz yang dengan sighatnya
sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya
sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.
3. Al-Uddah
merumuskan definisi yang sederhana namun jelas, yaitu:
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui
maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.
Dari beberapa
definisi di atas dapat diketahui bahwa hakekat lafazmufassar adalah:
a. Penunjukkannya
terhadap maknanya jelas sekali.
b. Penunjukkannya
itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah dari luar.
c. Karena
jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin dita’wilkan.
Mufassar itu
ada dua macam yaitu:
1. Menurut
asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nur ayat 4:
Orang-orang yang menuduh
perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.
2. Asalnya lafaz
itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya.
Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas.
Lafaz seperti itu juga disebut dengan “mubayyan”. Umpamanya firman Allah
dalam surat An-Nisa ayat 92:
Orang-orang yang membunuh orang beriman
secara tidak sengaja hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan
diyat kepada keluarganya.
d. Muhkam
Lafaz yang muhkam ialah:
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri
memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara
penunjukkan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan,
penggantian maupun ta’wil.
Lafaz muhkam berada
pada tingkat paling atas dari segi kejelasan artinya, karena lafaz ini
menunjukkan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak dalam ungkapan si
pembicara.
Tidak menerimanya
lafaz muhkam itu akan pembatalan atau nasakh, terkadang disebabkan oleh teks
lafaz itu sendiri yang menghendaki demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat
An-Nur ayat 5:
Jangan kamu terima dari mereka
kesaksian selama-lamanya.
Kata ﺍﺒﺪﺍ (selama-lamanya)
yang tersebut dalam ayat itu menunjukkan bahwa tidak diterimanya kesaksiannya
itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Contoh lain dalam
sabda Nabi Muhammad:
ﺍ ﻠﺠﻬﺎ ﺪ ﻤﺎ ﺾ ﺇ ﻠﻰ ﻴﻮ
ﻢ ﺍ ﻠﻘﻴﺎ ﻤﺔ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
Dari uraian di atas
jelas bahwa muhkam itu ada dua macam, yaitu:
1. Muhkam
Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada
kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu
sendiri. Tidak mungkin nash itu muncul dari lafaznya dan diikuti pula oleh
penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin dinasakh.
2. Muhkam
Lighairihi, atau muhkam karena faktor luar bila tidak
dapaatnya lafaz itu dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi
karena tidak ada nash yang menasakhnya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah
Ushul disebut lafaz yang qath’I penunjukkannya terhadap hukum.
2. Lafaz
yang Tidak Terang Artinya
Lafaz yang tidak
terang artinya terbagi kedalam 4 macam tingkat dalam hal ketidak jelasan
pengertiannya, yaitu tidak terang; lebih tidak terang; sangat tidak terang; dan
paling tidak terang. Penjelasannya sebagi berikut:
1. Khafi
Lafaz khofi ialah suatu
lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukkan (dilalah)nya yang
disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz.
Contoh lafaz khofi
ini adalah lafaz ﺍﻠﺴﺎﺮﻖ (pencuri) dalam firman Allah, surat Al-Maidah ayat 4:
Pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan, potonglah tangan keduanya.
2. Musykil
Lafaz musykil ialah
suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
1. Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa quru’ itu artinya “haid”. Untuk menguatkan
pendapatnya, ia mengemukakan dalil dan qarinah sebagai berikut:
a. Firman
Allah dalam surat at Thalaq ayat 4 yang artinya:
Perempuan-perempuan yang telah putus
haid diantara isterimu jika ia ragu tentang iddahnya, maka iddahnya adalah tiga
bulan.
b. Firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 219:
Tidak boleh perempuan-perempuan itu
menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahim mereka.
c. Sabda
Nabi Muhammad SAW tentang jumlah talak dan ‘iddah bagi hamba sahaya:
Bilangan talak perempuan sahaya itu
adalah dua kali dan iddahnya adalah dua kali haid.
d. Di antara
hikmah hukum diwajibkannya ‘iddah terhadap perempuan yang ditalak suaminya,
adalah untuk mengetahui apakah rahim perempuan itu bersih dari peninggalan
bibit suaminya yang telah mentalaknya. Hal yang demikian hanya dapat diketahui
dengan “haid”, bukan dengan suci “suci”.
2. Imam Syafi’I
berpendapat bahwa quru’ itu artinya “suci”. Ayat tentang iddah di atas
menjelaskan kewajiban perempuan yang bercerai dari suaminya adalah menunggu
sampai tiga kali suci.
a. Firman
Allah SWT, dalam surat at-Thalaq (65): 1 :
Bila kamu ingin menceraikan istrimu,
hendaklah kamu ceraikan mereka dengan waktu ‘iddahnya.
b. Kata bilangan
( ) untuk menunjukkan 3 quru’ dalam ayat tersebut menggunakan
kelamin jenis betina ( mu’annas ) yaitu Tsalatsah.Dalam
ketentuan kaidah bahasa Arab, bila bilangannya menggunakan jenis kelamin betina
(mu’annas), maka yang dibilang ( ) harus dalam bentuk jenis yang
“jantan” ( mudzakkar ). Berdasarkan ketentuan bahasa ini,
maka quru’ itu harus dalam bentuk “jantan”. Di antara kata
“suci” dan “haidl” itu dalam kaidah bahasa Arab, yang jantan adalah kata
“suci’. Dengan demikian tiga quru’ berarti tiga kali “suci”.
3. Penafsiran
quru’ dengan suci itu lebih dekat artinya dalam hal penggunaan kata dari segi
pengertiannya, karena kata quru’ artinya berkumpul atau bergabung
3. Mujmal
Lafaz mujmal dalam
pengertian sederhana adalah :
Lafadz yang maknanya mengandung
beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.
Lafadz mujmal ini
lebih samar (tidak terang) dibandingkan dengan lafadz sebelumnya karena dari
segi sighatnya sendiri ia tidak menunjukkan arti yang dimaksud;
tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat membawa kita
kepada maksudnya; tidak mungkin pula dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali
dengan penjelasan dari syari’ (Pembuat Hukum) sendiri (dalam
hal ini adalah Nabi).
4. Mutasyabih
Lafadz mutasyabih, secara
bahasa (arti kata), adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena
mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah
:
Lafadz yang samar artinya dan tidak ada
cara yang dapat digunakan untuk menapai artinya.
Mutasyabih itu
ada dua bentuk :
1. Dalam bentuk
potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam
al-Qur’an seperti ﺍﻠﻢ , ﺍﻠﺮ , ﻜﻬﻴﻌﺺ dan
sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidakmengandung arti
apa-apa ditinjau dari segi lafadznya.
2. Ayar-ayat
yang menurt zhahirnya mempersamakan Allah Maha Pencipta dengan makhluk-Nya,
sehingga tidak mungkin dipahami ayat-ayat itu menurut arti lughowinya karena
Allah SWT Maha Suci dari pengertian yang demikian. Umpamanya firman Allah dalam
surat al-Fath (48): 10 yang Arti: Tangan Allah berada di atas
tangan mereka.
Firman Allah dalam surat ar-Rahman (55)
:27 yang artinya:
Dan akan tetap kekal Tuhanmu yang Maha
Besar dan Maha Mulia.
C. LAFAZ
DARI SEGI PENGGUNAANNYA
Lafadz itu dalam tulisan.
Lafadz dari segi penggunaanya digolongkan kepada haqiqah dan majaz. Sedangkan
dari segi kejelasan untuk menyampaikan suatu maksud, lafadz itu dikelompokkan
pada sharih dan kinayah. Selain itu, dari segi kejelasan arti suatu lafadz yang
digunakan, seperti telah disinggung di atas, kadang digunakan ta’wil. Semua itu
masing-masing akan diuraikan secara singkat dibawah ini.
1.
Haqiqah
(Hakikat) dan Majaz
a. Pengertian
Haqiqah dan Majaz
Haqiqah dan Majaz
adalah dua kata dalam bentuk mutadhayyifan ataurelative
term, dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan setiap kata
akan masuk ke dalam salah satu diantaranya.
Para ulama memiliki
arti yang berbeda terhadap Haqiqah dan Majaz. Perbedaan itu hanya dalam
perumusan saja, sedangkan pengertianya berdekatan.
Ada beberapa rumusan
tentang pengertian “Haqiqah”:
a. Menurut
Ibnu Subki:
Lafadz yang digunakan untuk apa lafadz
itu ditentukan pada mulanya.
b. Ibnu Kudamah
memberikan definisi:
Lafadz yang digunakan untuk sasarannya
semula.
c. Menurut
Al-Sarkhisi:
Setiap lafadz yang ia tentukan menurut
asalnya untuk sesuatu yang tertentu.
Seluruh definisi
tersebut mengandung pengertian tentang haqiqah, yaitu: “Suatu lafadz yang
digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu”. Maksudnya, lafadz itu
digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Dari segi ketetapannya sebagai
haqiqah, para ulama membagi “haqiqah” itu kepada beberapa bentuk:
1. Haqiqah
Lughowiyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu:
Lafadz yang digunakan pada maknanya
menurut pengertian bahasa.
Contohnya, kata “Manusia” untuk semua
hewan yang berakal.
2. Haqiqah
Syar’iyah yang ditetapkan oleh syar’I (Pembuat Hukum) sendiri, yaitu:
Lafadz yang digunakan untuk makna yang
ditentukan untuk itu oleh syar’i.
Umpamanya lafadz “Shalat” untuk
perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan
“takbir” dan disudahi dengan “salam”.
3. Haqiqah
Urfiyah Khashshah yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu
lingkungan tertentu, yaitu:
Lafadz yang digunakan arti untuk
kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian
diantaranya.
Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku
dikalangan ahli fiqih.
4. Haqiqah
Urfiyah Ammah yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umu,
yaitu:
Lafadz yang digunakan dalam makna yang
berlaku dalam kebiasaan umum.
Umpamannya penggunaan kata dabbah dalam
bahasa Arab untuk hewan ternak berkaki empat.
Para ulama Ushul juga
memberikan definisi yang beragam tentangmajaz. Tetapi semuanya berdekatan
artinya dan saling melengkapi, yaitu:
1. Al-Sarkhisi
memberikan definisi:
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam
untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan.
2. Menurut Ibnu
Qudamah:
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa
yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan.
3. Definisi
Majaz menurut Ibnu Subki:
Lafaz yang digunakan untuk pembentukan
kedua karena adanya keterkaitan.
Dari beberapa contoh
definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut, yaitu:
a. Lafaz
itu tidak menunjukkan pada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki suatu
bahasa;
b. Lafaz dengan
bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti
kepada apa yang dimaksud;
c. Antara
sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti
lafaz itu memang ada kaitannya.
b. Macam-macam
Majaz
1. Adanya
tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya
dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.
2. Adanya
kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran maksud dari
lafaz itu terletak pada yang kurang itu.
3. Mendahulukan
dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”.
Umpamanya dalam firman Allah surat An-Nisa ayat 11, yang menjelaskan maksud
sebenarnya adalah “sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiatnya”.
4. Meminjam kata
lain yaitu menanamkan sesuatu dengan menggunakan kata lain, seperti memberi
nama si A yang “pemberani” dengan “singa”.
c. Cara
Mengetahui Haqiqah dan Majaz
Beberapa hal yang
dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara haqiqah dengan majaz,
diantaranya sebagai berikut:
a. Salah
satu diantara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman disbanding
dengan yang lain. Itulah yang haqiqah. Sedangkan yang agak lambat menyentuh
pemahaman adalah majaz.
b. Salah satu
diantara kedua lafaz itu dapat dikembangkan atau ditasrifkan ke dalam beberapa
lafaz, itulah haqiqah; kalau tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa dinamai
majaz.
d. Ketentuan
yang Berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz
Adapun beberapa
ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah dan majaz adalah sebagai
berikut:
a. Bila
suatu lafaz digunakan antara haqiqah dan majaz, maka lafaz itu ditetapkan
sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafaz atau kata adalah
untuk haqiqahnya.
b. Pada haqiqah
harus ada sasaran atau maudhu dari lafaz yang digunakan, baik dalam bentuk
perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada majaz,
juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam
bentuk umum maupun khusus. Dan di antara dua bentuk lafaz itu tidak terdapat
pertentangan; karena majaz itu adalah pengganti haqiqah.
c. Haqiqah
dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafaz dalam keadaan yang sama.
Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri; karena haqiqah
adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapar
berkumpul dalam satu lafaz.
e. Penyebab
Tidak Berlakunya Haqiqah
Pada dasarnya dalam
setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqahnya dan tidak boleh beralih
kepada yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan
haqiqahnya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
1. Adanya
petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan
lafaz.
Dalam hal ini haqiqah
lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan (dipegang) adalah apa yang mudah
dipahami dari lafaz tersebut.
2. Adanya
petunjuk lafaz.
Dalam hal ini suatu
lafaz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah, namun yang dimaksud bukan
untuk itu.
3. Adanya
petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
Dalam mengucapkan
suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain
walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan yang ada
walaupun berada di luar haqiqah.
4. Adanya
petunjuk dari sifat pembicara.
Meskipun si pembicara
menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti menurut apa yang diucapkan,
namun dari sifat pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan
sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah yang diucapkan itu
tidak perlu diperhatikan.
5. Adanya
petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah
penggunaan lafaz, lafaz itu harus dipahami menurut apa adanya; namun ada
petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu menurut
haqiqahnya.
f. Adanya
Majaz dalam Ucapan
1. Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan Syar’I (pembuat
hukum) dalam Al-Quran dan Sunah; sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia,
bahasa apapun yang digunakannya.
2. Abu Ishak al-Asfaraini
dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majaz. Apa yang selama ini
diangggap majaz itu sebenarnya adalahhaqiqah. Karena
ada petunjuk yang menjelaskannya.
3. Golongan
ulama Zhahiri menolak adanya majaz dalam Al-Quran dan hadis
Nabi. Seandainya menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk
digunakan dalam artian syar’I, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz,
tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. alasan golongan
Zhahiri ini menolak majaz dalam Al-Quran dan Hadis ialah bahwa penggunaan majaz
(bukan arti sebenarnya) berarti dusta; sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari
dusta.
2. Sharih
dan Kinayah
Secara arti
kata, sharih dari kata sharaha berarti terang; ia menjelaskan
apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang
mungkin.
Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang
secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukkan arti lain.
3. Ta’wil
a. Pengertian
Ta’wil
Dalam Al-Quran
terdapat kata “ta’wil” dalam 17 tempat. Bila dianalisa antara satu
dengan yang lainnya ada perbedaan maksudnya. Dari keseluruhan kemungkinan
arti ta’wil, dapat dikelompokkan kepada dua kelompok:
1. Arti yang
mengarah kepada arti lughawi yang murni, ta’wil adalah:
ﺍﻠﺮﺠﻮﻉ - ﺍﻠﻤﺎﻞ - ﺍﻠﻌﺎﻘﺒﺔ - ﺍﻠﻤﺼﻴﺮ
2. Arti yang
mengarah kepada arti istilah syar’I adalah: ﺍﻠﺒﻴﺎﻦ
- ﺍﻠﺘﻔﺴﻴﺮ
Meskipun terdapat
beberapa definisi atau istilah hukum terhadap ta’wil, namun maksudnya saling
berdekatan dan saling mengisi.
1. Abd. Wahab
Khalaf memberi definisi:
Memalingkan lafaz dari arti zhahirnya
berdasarkan adanya dalil.
2. Definisi
menurut Ibn Jauzi:
Mengalihkan ucapan dari maudhu’nya
kepada apa yang diperlukan untuk menetapkan kepada dalil, yang kalau tidak
demikian, maka zhahir lafaz tidak akan ditinggalkan.
3. Ibnu Atsir
memberikan definisi:
Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian
asalnya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil.
4. Definisi yang
dirumuskan Abu Zahrah:
Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya
kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.
Beberapa definisi di
atas yang berbeda menurut lahirnya, dapat dirangkum dalam suatu rumusan tentang
definisi ta’wil, yaitu: “Memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti
lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.”
Dari rumusan yang
sederhana itu dapat dilihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil, yaitu:
a. Lafaz
itu tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya;
b. Arti yang
dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau oleh
arti zahir lafaz itu;
c. Peralihan
dari arti zahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.
b. Syarat-Syarat
Ta’wil
1. Lafaz itu
dapat menerima ta’wil seperti zahir dan lafaz nash serta tidak berlaku untuk
muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu
mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk dita’wil, serta tidak asing
dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal
yang mendorong untuk ta’wil seperti:
a. Bentuk
lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri,
atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu.
b. Nash itu
menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya.
c. Lafaz
itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang
mufassar.
4. Ta’wil itu
harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang
ada.
c. Bentuk-bentuk
Ta’wil
1. Dari segi
diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu:
a. Ta’wil
maqbul atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi
persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama
Ushul.
b. Ta’wil
ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang
hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat
yang ditentukan.
2. Dari segi
dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang dita’wil dari makna zhahirnya,
ta’wil dibagi kepada dua bentuk:
a. Ta’wil
qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga
dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
b. Ta’wil
ba’id yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu
jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
d. Macam-macam
Ta’wil
1. Ta’wil
Al-Quran atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan
dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa
Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya. Umpamanya menta’wilkan “tangan Allah”
dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48) : 60:
Tangan Allah berada di atas tangan
mereka.
2. Ta’wil bagi
nash yang khusus berlaku dalam hukum ta’lifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan antara hukum-hukum dalam ayat Al-Quran atau hadits Nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil yang bertujuan
mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat
diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip.
D. LAFAZ
DARI SEGI KANDUNGAN PENGERTIANNYA
Setiap lafaz (kata) yang digunakan
dalam teks hukum mengandung suatu pengertian yang mudah dipahami oleh orang
yang menggunakan lafaz itu. Ada pula lafaz yang mengandung beberapa pengertian
yang merupakan bagian-bagian dari lafaz itu. Bila hukum berlaku untuk lafaz itu
maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung di dalamnya.
Di bawah ini aka dibahas mengenai lafaz
yang’am, khash, mutlaq, dan muqayyad tersebut.
1. Lafaz
‘Am (Umum)
a. Definisi
‘Am
Dalam mendefinisikan lafaz ‘am,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ushul. Namun dari beberapa rumusan
itu dapat ditarik hakikat dari lafaz ‘am yang mencakup jiwa dari setiap
rumusan, yaitu:
1. Lafaz itu
hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal.
2. Lafaz tunggal
itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian).
3. Lafaz yang
tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam
penggunaannya.
4. Bila hukum
berlaku untuk satu lafaz, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap afrad
(satuan pengertian) yang tercakup di dalam lafaz itu.
b. Ruang
Lingkup ‘Am
Setiap lafaz kata mengandung dua
lingkup pembahasan, yaitu (1) lafaz itu sendiri, yang tersusun dari
huruf-huruf, dan (2) makna atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.
c. Sighat
Umum
Sighat ‘am adalah lafaz atau ucapan
yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah
ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘am.
d. Lafaz-lafaz
yang Berarti Umum
Lafaz-lafaz yang dapat mengandung
pengertian ‘am tersebut adalah sebagai berikut:
1) Lafaz
jama’ dalam bentuk nakirah
Lafaz jama’ (ganda) ada yang berbentuk
ma’rifah (tertentu atau definite) yang ditandai oleh alif-lam atau idhafah yang
lafaz ini sudah jelas termasuk dalam kelompok lafaz ‘am sebagaimana disebutkan
di atas. Di samping itu ada pula jama’ dalam bentuk nakirah (tak tentu atau
indefinite) yang ditandai oleh tanwin (harkat baris dua).
2) Jawaban
Atas Suatu Pertanyaan
Dalam Al-Quran banyak teks muncul
sebagai jawaban yang dikemukakan oleh umat yang ditujukan kepada Nabi. Demikian
pula hukum dalam hadits Nabi muncul sebagai jawaban dari masalah yang timbul.
Jawaban yang diberikan Nabi itu
diantaranya ada yang terkait langsung dan tidak terpisah dari pertanyaan yang
disampaikan atau dijawab dengan “ya” atau “tidak”. Diantara jawaban itu ada
yang terpisah dari pertanyaan dengan arti menggunakan kalimat tersendiri yang
terpisah dari kalimat pertanyaan.
Keadaan jawaban yang lebih umum dari
pertanyaan itu ada dalam dua bentuk:
a. Jawaban
lebih umum dari pertanyaan dalam hukum dan tidak pada yang lain. Umpamanya
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi tentang air sumur yang dijawab Nabi, “Air
itu diciptakan dalam keadaan bersih; tidak ada yang mengotorinya kecuali
berubah rasa, warna atau baunya.”
b. Jawaban lebih
umum dari pertanyaan di luar huukm. Seperti pertanyaan yang diajukan kepada
Nabi tentang berwudhu’ dengan air laut yang dijawab Nabi, “Laut bersih
airnya dan halal bangkai yang terdapat di dalamnya.”
3) Al-Muqtadha
Al-Muqtadha ialah lafaz tersembunyi
yang baru dimunculkan dalam pikiran untuk kebenaran suatu ucapan. Al-Muqtadha
itu ada dua macam:
1. Suatu lafaz
yang harus dimunculkan untuk benarnya suatu ucapan atau kalam. Umpamanya sabda
Nabi:
Diangkat dari umatku: kesalahan dan
lupa.
2. Sesuatu yang
dituntut munculnya oleh hukum untuk kebenaran hukum itu secara syara’ dengan
pengertian, bahwa yang harus dimunculkan itu adalah peristiwa hukum.
4) Amal
(Perbuatan) Nabi yang Dinukilkan
Setiap amal atau perbuatan dapat
dibagi-bagi kepada beberapa bagian atau diarahkan kepada beberapa arah. Dalam
hadits sering dijumpai penukilan dari Nabi untuk memperkuat suatu perbuatan
seperti: Nabi berdoa, Nabi shalat, Nabi puasa dan lainnya. Apakah perbuatan
Nabi yang dinukilkan itu mencakup seluruh bagiannya atau seluruh arahnya.
5) Hikayatul
Hal
Secara sederhana, hikayatul hal dapat
diartikan pemberitaan perawi hadits tentang keadaan yang terjadi pada Nabi.
Sering perawi hadits menceritakan sesuatu tentang Nabi yang menyangkut
perbuatan yang berdaya hukum. Contohnya ucapan: “Nabi melarang jual beli
gharar”, nabi melarang manukarkan kurma basah dengan kurma kering”, atau “Nabi
menetapkan hak syuf’ah untuk tetangga”. Berita itu disampaikan oleh perawi
secara umum.
6) Ketidak-samaan
Dua Hal
Beberapa ayat Al-Quran yang memberikan
ketidak-samaan dua hal tentang sesuatu, umpamanya firman Allah dalam Surat
Al-Hasyr (59): 30:
Tidaklah sama antara ahli neraka dan
ahli surga.
Ketidak-samaan dua pihak itu berlaku
umumyang meliputi semua hal atau tidak, terdapat perbedaan pendapat antara
ulama.
1. Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa ketidak-samaan itu berlaku umum dalam segala
bentuk, baik yang menyangkut urusan dunia maupun yang menyangkut urusan
akhirat.
2. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ketidak-samaan itu tidak berlaku umum untuk semua
bentuk.
7) Fi’il
Muta’addi
Di antara kata kerja yang tidak
memerlukan objek seperti kata “mandi”, dan ada yang memerlukan objek baik yang
mempunyai satu objek seperti kata “makan”, maupun yang mempunyai dua objek
seperti kata “membelikan”. Para ulama ushul berbeda pendapat mengenai “apakah
kata kerja yang memerlukan satu objek (fi’il muta’addi), berlaku umum atau
tidak dalam hubungan dengan objeknya”.
Ulama Syafi’iyah dan Qadhi Abu Yusuf
(pengikut Hanafiyah) berpendapat bahwa fi’il muta’addi itu
menunjukkan ‘am terhadap semua objeknya. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa fi’il muta’addi itu tidak menunjukkan ‘am. Perbedaan pendapat itu
terlihat dalam contoh bila seseorang berkata, “Saya tidak makan,” dan meniatkan
memakan makanan tertentu.
8) Jama’
Muzakkar
Setiap lafaz (kata) yang berkaitan
dengan orang sebagai subjek hukum selalu berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan
jenis kelamin (gender). Yang berkaitan dengan jumlah dapat dikategorikan
kepada bentuk: mufrad (satu orang), mutsanna (dua
orang), dan jama’ (tiga orang atau lebih). Sedangkan yang
berkaitan dengan jenis kelamin dikategorikan kepada bentuk: muzakkar (laki-laki),
dan muannats(perempuan). Masing-masing mempunyai bentuk lafaz
tertentu dalam bahasa Arab.
Para ulama telah sepakat bahwa sighat
jama’ muzakkar (lafaz jamak untuk jenis laki-laki) adalah sah digunakan secara
mutlak untuk laki-laki. Namun tentang sah tidaknya penggunaan jama’ muzakkar
itu untuk perempuan secara hakiki terdapat beda pendapat di kalangan ulama.
1. Ulama
Syafi’iyah, sebagian ulama Hanafi, ulama kalam al-Asyariyah dan Mu’tazilah
berpendapat bahwa secara hakiki jama’ muzakkar tidak berlaku secara ‘am untuk
jenis perempuan. Kadang-kadang digunakan juga untuk jenis perempuan hanya
secara majazi. Oleh karena itu perlu qarinah yang
menjelaskannya.
2. Sekelompok
ulama Hanbali dan Dawud al-Zhahiri berpendapat bahwa jama’ muzakkar itu berlaku
umum dan menjangkau juga kepada perempuan.
9) ‘Athaf
(Merangkaikan Lafaz) kepada Lafaz ‘Am
Dalam Al-Quran biasa ditemukan sebuah
lafaz yang dirangkaikan kepada lafaz laibn dengan menggunakan kata
sambung “dan”. Ada lafaz ‘am dirangkaikan pada lafaz ‘am. Hal ini tidak menjadi
pembicaraan ulama.
Banyak pula lafaz yang tidak jelas
keumumannya dirangkaikan kepada lafaz ‘am; apakah dengan dirangkaikannya kepada
lafaz ‘am itu memberi petunjuk tentang keumumannya. Hal ini menjadi perbincangan
di kalangan ulama.
1. Kalangan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa lafaz yang dirangkaikan kepada lafaz ‘am
tidak memberi petunjuk akan keumumannya.
2. Pengikut Abu
Hanifah berpendapat bahwa lafaz yang dirangkaikan kepada ‘am itu menunjukkan
‘am.
10) Khitab
(Titah Hukum) yang Ditujukan Kepada Nabi
Banyak titah Allah dalam Al-Quran yang
ditujukan kepada Nabi, seperti:
a. Surat
Al-Thalaq (65) : 1:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
istri-istrimu, maka ceraikanlah dalam masa memasuki ‘iddahnya.
b. Surat
Muzammil (73): 1-2:
Hai orang yang berselimut (Muhammad)
bangunlah (untuk sholat) di malam hari.
c. Surat
al-Mudatstsir (74): 1-2:
Hai orang yang brselimut (Muhammad),
bangunlah, lalu berilah peringatan.
11) Khitab
(Titah Hukum) yang Ditujukan Kepada Umat
Dalam Al-Quran juga terdapat titah
Allah yang ditujukan kepada umat Islam seperti:
ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻨﺎﺲ - ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻠﺬﻴﻦﺍﻤﻨﻮﺍ - ﻴﺎﻋﺒﺎﺪﻲ
(Hai hamba-Ku--Hai orang-orang yang
beriman—Hai sekalian manusia.)
Contoh khitab (titah)
yang diarahkan kepada salah seorang dari umat dan dijelaskan kekhususannya
adalah seperti ucapan, “Boleh untukmu dantidak boleh untuk orang selain kamu.”
Dalam bentuk ini tidak diragukan lagi bahwa titah seperti itu khushush untuk
orang yang dikenai titah itu saja.
e. Dilalah
(Penunjukkan) Lafaz Umum
Perbedaan pendapat ulama terletak pada
penunjukkan lafaz umum yang belum diikuti oleh dalil takhsis terhadap makna (afrad)
yang tercakup didalamnya: apakah penunjukannya secara meyakinkan (qath’i)
atau tidak meyakinkan (zhanni).
1. Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa penunjukkan lafaz umum terhadap setiap afradnya
secara khusus adalah zhanni karena adanya kemungkinan untuk ditakhsis, meskipun
belum jelas adanya dalil yang mentakhsisnya, karena begitu banyaknya terjadi
takhsis dalam lafaz umum.
2. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz umum menunjukkan berlakunya hukum dalam semua
afradnya secara meyakinkan (qath’i), sebagaimana juga lafaz khusus menunjukkan
hukum secara qath’I pada apa yang ditujunya.
f. Pengamalan
Hukum Umum
Bila bertemu sebuah lafaz ‘am yang
menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua afradnya, apakah boleh
langsung menetapkan hukum atas keumumannya itu.
1. Di kalangan
ulama Hanbali terdapat dua versi:
a. Menyatakan
wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafaz itu. Ini adalah pendapat
Ahmad menurut riwayat Abdullah yang diikuti pula oleh Abu Bakar al-Sairafi.
b. Menyatakan
tidak wajib beramal dengan lafadz ‘am secara langsung di saat itu juga menurut
kemauannya. Ini adalah pendapat Ahmad dari riwayat anaknya Shalih dan Abu
Harits.
2. Di kalangan
ulama Syafi’I juga terdapat dua versi pendapat:
a. Pendapat
terbanyak bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhshish dan sebelum itu
tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘am.
b. Pendapat
lainnya menyatakan harus beramal saat itu juga dan tidak boleh ditangguhkan
pelaksanaannya.
3. Demikian pula
di kalangan ulama Hanafiyah, terdapat dua pendapat:
a. Abu
Abdullah al-Jurjani mengatakan bahwa seorang pendengar bila mendengar dari Nabi
dalam bentuk penjelasan tentang hukum, wajib meyakininya dalam keumumannya.
Tetepi bila didengarnya dari orang lain, ia harus berhati-hati dan mencari
sesuatu yang akan mentakhshishnya. Bila tidak menemukannya, mka lafadz tersebut
harus ditetapkan kepada apa yang dituntut oleh lafadz ‘am.
b. Abu Sofyan
menghikayatkan wajibnya meyakini keumuman lafadz ‘amtanpa harus ditangguhkan
dengan rincian dari takhshish secara muthlak, baik diterima Nabi atau yang
lainnya.
g. Macam-macam
Lafaz Umum
Lafadz ‘am (‘am) itu dapat
dikelompokkan pada tiga macam:
a. ‘Am
yang maksudnya adalah ‘am ( ﻋﺎﻢﻴﺮﺍﺒﻪﺍﻠﻌﻤﻮﻢ )
b. ‘Am yang
maksudnya khushush ( ﻋﺎﻢﻴﺮﺒﻪﺍﻠﺨﺼﻮﺺ )
c. ‘Am
yang makhsus (dikhususkan) ( ﻋﺎﻢﻤﺨﺼﻮﺺ )
1. Lafadz “’Am yang
maksudnya umum”, adalah lafadz yang dari segi lafadznya ‘am sedangkan yang
dimaksud ‘am itu adalah memang keumumannya. Secara definitive, dapat dirumuskan
sebagai berikut:Lafadz ‘am yang diseratai qarinah yang menolak kemungkinan
untuk ditakhshish.
Umpamanya lafadz ‘am dalam firman
Allah, surat Ali imran (3):185:
Setiap diri akan
merasakan kematian.
Kata dalam
ayat di atas, adlah sighat ‘am yang dari segi artiny adiketahui memang tidak
dapat dibatasi keumumannya, karena tidak satupun dari semua makhluk hidup yang
tidak akan merasakan kematian. Qarinah yang menyertai di sini adalah qarinah
haliyah atau keyakinan yang dirasakan bersama. Lafadz ‘am dalam bentuk ini
penunjukkannya terhadap umum adalah qath’i.
2. Lafadz
“ ‘Am yang maksudnya adalah khushush”, adalah lafadz yang dari segi
lafadznya adalah ‘am, namun dari segi makna yang terkandung di dalamnya adalah
khushush. Secara definitif rumusannya adalah: Lafadz yang disertai
qarinah yang meniadakan keumumannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar