KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah FAHAM ASWAJA (telaah tentang proses pembentukan dan
tantangannya), guna memenuhi persyaratan untuk mengikuti Pelatihan Kader
Dasar ( PKD ). Shalawat serta Salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita
Nabi Muhammad SAW serta Keluarga, Sahabat dan para penerus risalahnya.
Tak ada satu agama pun yang
berkembang di muka bumi ini yang dalam sejarahnya tak terbelah. Islam, walaupun
suatu agama samawi tak luput dari takdir ini. Kristen terbelah menjadi Katolikisme dan
Protestanisme, Hindu terbelah menjadi Waishnawa dan Syaiwa, Budhisme terbelah
menjadi Mahayana dan Hinayana, dan Islam terbelah menjadi Sunni dan Syi’ah.
Hadits riwayat Abu Hurairah
rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rosululloh sholallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Hari kiamat tidak akan terjadi kecuali setelah dua golongan besar
saling berperang sehingga pecahlah peperangan hebat antara keduanya padahal dakwah
mereka adalah satu. (Shahih Muslim No.5142).
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
1
1.1
Latar Belakang...............................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah.......................................................................................
2
1.3
Tujuan.............................................................................................................
2
1.4
Metode.............................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................
2.1 Latar Belakan
Lahirnya Ahlussunah Wal Jama’ah...............................
a.
Definisi Dan
Historis Aswaja..............................................................
b.
factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya faham ahl lul
sunah wal jama’ah
2.2
Doktrin Aswaja
Dan Tantangannya ..........................................................
BAB IV KESIMPULAN....................................................................................................
16
Kesimpulan..........................................................................................................
16
Saran....................................................................................................................
17
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Bab
ini akan membahas sedikit gambaran tentang Ahlussunah
Waljama’ah yang melatarbelakangi kami mengangkat tema
ini.
1.
LATAR BELAKANG
ASWAJA
sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa
Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa
:"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah
belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan".
Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana
'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan
dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam hadist
tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan
yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya.
Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi
karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka
"Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita
artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" (
metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Jadi bukanlah
sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang
dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali
(direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang
dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Dari uraian diatas maka penulis
tertarik mengangkat tema Ahlisunnah waljama’ah (telah proses pembentukan dan
tantangannya)
2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang melatar
belakangi terbentuknya ahlussunah wal jama’ah?
2.
Bagaimana
tantangan faham aswaja di masa sekarang?
3.
Tujuan
a.
Untuk
mengetahui sejarah munculnya ahlussunnah waljama’ah .
b.
Untuk
mengetahui tantangan Ahlussunnah
Waljama’ah di Indonesia saat ini.
4.
Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan kajian
pustaka,yaitu dengan mengumpulkan beberapa literatur yang berhubungan dengan
pokok bahas
BAB III
PEMBAHASAN
AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah
waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah
Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti
mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi
Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad
SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat
(hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Penggunaan istilah ahlussunnah
waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari
(260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan
aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’
terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql ( penalaran rasional). Dengan
demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang
dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang
teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah,
Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan
aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni
dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri
khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan
tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut
akidah sunni (ahlussunnah
waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh
Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat
( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an,
al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga
Tasawuf Sunni, yang dimaksud
adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam
Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara
syari’at, hakikat dan makrifaat.
Pemikiran KelompokAhlussunnah
Secara global
inti dari pemikiran ahlussunnah adalah sama,baik asy-ariyah maupun maturidiyah
yakni:
a. Menempatkan
Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan
argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa
AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah .
b. Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang
masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa
harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai
dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman
kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua
mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan
makhluk-nya.
c. Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah,
meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya
hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan,
betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (tentunya hadits
ahad yang sahih).
Jadi Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj
Salafus Saleh, (mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal)
mendasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits, beriman kepada semua ayat-ayat
mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh menta’wilkannya. Keduanya
sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang ultra rasionalis-liberalis dan
keduanya juga menentang aliran Musyabbihah-Mujasimah yang ultra
tekstualis-literalis sehingga jatuh pada anthropomorpisme (menyerupakan Allah
dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai anggota tubuh (jism), duduk, datang,
melempar dsb).
2.1 Latar Belakang
Lahirnya Ahllul Sunah Wal Jama’ah
a.
Definisi Dan
Historis
Aswaja
ASWAJA
adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti
orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan
waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi
definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam
syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Istilah
ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa
pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman
pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk
pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur
(137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya
dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak
ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada
zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran
Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa
para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang
berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah
(inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi
pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran
adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal
dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang
berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa
besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik,
al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari
al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
b. Factor-Faktor
yang sangat berpengaruh sehingga terbentuk faham ahlussunnah wal jama’ah
1. Perbedaan
Pandangan
Sebenarnya sistem
pemahaman Islam menurut Ahlussunnah wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan
desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun
sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke
II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam
Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim,
tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H.
Diantara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid
yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara
guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan
yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam
Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry
mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut;
pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
ﱠنِا ْﻦَﻤﻟِ َﻚِﻟذ
َنْوُدﺎَﻣُﺮِﻔْﻐَﻳَو ِﻪِﺑ َكَﺮْﺸُﻳ ْنَاُﺮِﻔْﻐَﻳَﻻ َﷲا ىَﺮَﺘْﻓاِﺪَﻘَﻓ ِﷲﺎِﺑ ْكِﺮْﺸُﻳ ْﻦَﻣَو ُءﺎَﺸَﻳ
ﺎًﻤْﻴِﻈَﻋﺎًﻤْﺛِا )ءﺎﺴﻨﻟا : 48.
“Sesungguhnya Allah tidak mempunyai dosa
seseorang karena Ia disekutukan, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia
telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ْﻦَﻋ ُﷲﺎَىﻠَﺻ ِﷲا
ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ ُﷲﺎَىِﺿَر ٍرَذ ﻰِﺑَا ْﻦَﻣ ُﻪﱠﻧَا ﻰِﻧَﺮَﺒْﺧَﺄَﻓ
ِﻰﺑَر ْﻦِﻣ ٍتا ﻰِﻧﺎِﺗَأ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ
ِﷲﺎِﺑ ُكِﺮْﺸُﻳَﻻ ﻰِﺘﱠﻣُا ْﻦِﻣ َتﺎَﻣ
َﺔﱠﻨَﺠﻟْا َﻞَﺧَد
.ُﻗُﺖْﻠ : َقَﺮَﺷ ْنِاَو َﻰﻧَز ْنِاَو
.ﻩاور َقَﺮَﺳ ْنِاَو َﻰﻧَز ْنِاَو َلﺎَﻗ
ﻢﻠﺴﻣو ىرﺎﺨﺒﻟا.
“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata;
Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu.
Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka
ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah
berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.”
(Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
ُلْﻮُﻘَﻴَﻓ ِﺮْﺒِآَو ﻰِﻟ َﻼﻠَﺟَو ﻰِﺗﱠﺰِﻋَوﱠﻦَﺟِﺮْﺧَُﻷ
ﻰِﺘَﻤَﻈَﻋَو ﻰِﻧﺎَﻳ ُﷲا ﱠﻻِا َﻪﻟِاَﻻ
َلﺎَﻗ ْﻦَﻣ ﺎَﻬْﻨِﻣ .ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور
.
“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan
kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan
dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut,
ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang
mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut
pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika
melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”Kemudian,
dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya.
Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian
itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa
teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin
Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan
kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara
berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga,
terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya.
Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang
tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri.
Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan
Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang
mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran
mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok
ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebenarnya pola
pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman
agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
2. Pengaruh doktrin
dan politik
Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di
wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama
Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah,
proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni
dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi
Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut,
setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat
Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat
Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi
Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju
dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan
Muawiyah.
Selain tiga golongan
tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang
terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad
min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara
kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu
Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal
dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas
keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari
jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik
antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya
mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan
tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seirama waktu, sikap
dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di
antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179
H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241
H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja
sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah
tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan
salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah
terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut
madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara
sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri
menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
2.2
Doktrin
Aswaja Dan Tantangannya
Pendapat bahwa
Aswaja bukan sebagai doktrin merupakan pengingkaran terhadap kenyataan.
Pemahaman keagamaan yang tersebar dalam berbagai bidang ilmu-ilmu ke-Islam-an,
seperti Fiqh Theologi dan Sufisme, yang sekarang dianut oleh kebanyakan umat
Islam merupakan doktrin Aswaja. Dengan demikian jika Aswaja hanya diakui
sebagai manhaj atau metoda pemahaman Islam, pendapat ini merupakan pengingkaran
terhadap kenyataan. Jadi permasalahan yang penting untuk dikembangkan bukan
apakah Aswaja sebagai doktrin itu ada atau tidak, tetapi apakah pembahasan
Aswaja itu cukup mendasarkan pada wilayah doktrinal ataukah harus pula membahas
Aswaja sebagai sebuah metoda pemahaman keagamaan. Permasalahan lain yang tidak
kalah pentingnya adalah apakah pembenaran (justification) terhadap Aswaja itu
cukup dengan pendekatan normatif?
Tradisi pemikiran
Islam yang ada sekarang (Fiqh, theologi, Sufisme dan lainya) tidak lahir dari
ruang hampa. Ia lahir dari suatu proses pergumulan yang panjang, yang sudah
barang pasti terkait erat dengan aspek-aspek sosio-kultural serta sosio-politik
yang melingkupinya. Itulah karenanya untuk mendapatkan gambaran utuh, pengkajian
Aswaja tidak cukup hanya mengandalkan pada kajian-kajian doktrinal dengan
pendekatan normatif, tetapi harus melibatkan kajian kesejarahan. Kajian
kesejarahan ini penting dilakukan untuk meluruskan pola-pola pemahaman
keagamaan mana yang historis dan mana yang ahistoris.
Ada beberapa
alasan mengapa kajian kesejarahan ini sangat penting. Pertama, banyak umat
Islam yang melihat Aswaja dengan berbagai variasinya hanya sebagai ideologi
yang baku, seolah infallible dan immune terhadap perubahan zaman. Dalam konteks
ini Aswaja seringkali diartikan secara sederhana yakni sebagai antitesa dari
faham Syi’ah, orthodoxy dari heterodoxy atau sunnah dari bid’ah. Khusus di
Indonesia, Aswaja ini bahkan telah diklaim sebagai ideologi dari berbagai
organisasi keagamaan. Meskipun diantara Ormas Islam yang ada, NU dan badan
otonomnya yang paling rajin mengkampanyekan dirinya sebagai penerus dan
pemelihara faham Aswaja, Ormas-ormas Islam lainnya juga telah mengklaim dirinya
sebagai kelompok Aswaja, baik secara implisit maupun eksplisit. Salah satu
keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa keputusan tentang “iman
merupakan akidah ahlul haqq wa al-sunnah”.Persis juga mengklalim dirinya lebih
berhak menyandang predikat Aswaja dengan alasan bahwa ia tidak bermadzhab (Said,
1999: 114). Dengan demikian klalim “ahlusunnah” sebenarnya lebih pantas
disandang mereka. Bahkan baru beberapa tahun yang lalu muncul fenomena baru
yang sangat menarik karena kelompok Muslim garis keras telah mengklaim dirinya
secara eksplisit sebagai “kelompok Jihad Aswaja”.
Di tengah
munculnya klaim Aswaja yang dilakukan berbagai organisasi kegamaan di Indonesia
saat ini, sudah selayaknya jika Ansor sebagai komponen generasi muda NU,
memberikan pemaknaan yang benar dari konteks manhaji (metodologis). Mengapa
tidak dari sudut pandang doktrinal? Karena upaya pemaknaan dan pendefinisian
kembali (redefinisi) Aswaja secara doktrinal terkadang menimbulkan hal-hal yang
paradoksal. Doktrin merupakan hasil pemikiran seseorang yang kemudian
terlembaga menjadi ajaran baku. Sudah barang pasti dalam proses pembakuan ini
terkait dan terpengaruh oleh kondisi waktu dan tempat. Doktrin yang dihasilkan
oleh para ulama terdahulu belum tentu tepat dengan kondisi sekarang. Justeru
kalau kita memaknai Aswaja dari sisi doktrinal, kita akan terjebak sendiri.
Boleh jadi kita tidak lagi bisa dikatakan sebagai bagian dari penganut Aswaja
yang hakiki karena telah melakukan pemutlakan pembenaran doktrinal.
Alasan kedua
mengapa Aswaja tidak harus difahami dari sisi doktrinal ini didasarkan atas
suatu kenyataan bahwa banyak pendapat para Imam yang kita anggap sebagai
rujukan tetapi berbeda tajam antara satu sama lainnya. Misalnya al-Junaidi
menyatakan bahwa peniadaan sifat-sifat Allah merupakan awal dari sikap tawhid .
Ini jelas akan bertentangan dengan faham Imam al-Asy’ari yang menyatakan bahwa
Allah memiliki sifat. Inilah yang menyulitkan kita untuk bisa memberikan
pembenaran jika Aswaja difahami dalam konteks doktrinal. Oleh karena itu, untuk
memberikan pembenaran, perlu kiranya melihat Aswaja dalam konteks manhaj atau
metodologi pemahaman keagamaan.
Ketiga, dasar
pembenaran Aswaja selama ini seringkali bersifat teologis normatif. Ada dua
Hadits riwayat Imam Turmudzi dan satu Hadits riwayat Imam Tabrani yang sering
digunakan untuk membenarkan Aswaja. Hadits-hadits tersebut menceritakan tentang
akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sampai 73 kelompok
sebagaimana telah terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen. Dintara ke 73
kelompok itu semuanya akan masuk Neraka kecuali satu kelompok, yakni kelompok
pengikut Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh
Tabrani bahkan disebutkan secara eksplisit bahwa yang satu kelompok itu adalah
Ahlu Sunah Wa al-Jama’ah.
Pembenaran secara
teologis-normatif tidak ada salahnya. Pendekatan normatif tidak harus
dihadapkan secara diametrical dengan pendekatan ilmiyah. Dalam banyak hal,
keyakinan keagamaan juga perlu mendapatkan pembenaran normatif. Dengan demikian
persoalannya bukan tidak boleh menggunakan pendekatan normatif untuk mendukung
Aswaja tetapi sejauh mana pendekatan normatif itu berwatak coherent dan tidak
paradoxical.
Jika diteliti
secara mendalam, ketiga hadits pembenar Aswaja itu berwatak paradoxical dan
mungkin sekali lahir saat umat Islam dilanda perpecahan. Hadits-hadits itu
muncul untuk tujuan penyatuan Umat Islam yang sudah tercerai berai akibat
perang saudara. Bahwa dalam Hadits-hadits tersebut terkandung tujuan yang
sangat mulia, memang tidak diragukan lagi. Namun dalam memenuhi tujuan yang
mulia tersebut ada satu prinsip yang terkorbankan, yakni prinsip kesucian
Muhammad sebagai Rasulullah.
Kehadiran Nabi
Muhammad saw. di tengah masyarakat “Jahiliyah” sudah barang pasti tidak bisa
dipisahkan dari misi kerasulan, baik dalam wujud al-Qur’an maupun dalam bentuk
prilaku pribadinya. Namun misi kerasulan yang dibawanya itu seringkali
berhadapan dengan kecenderungan umum masyarakat Jahiliyah yang menganggap orang
sehebat Nabi sejajar dengan para Kahin (tukang ramal). Itulah karenanya
al-Qur’an sangat berkepentingan untuk membentengi Nabi dari tuduhan sebagai
Kahin dengan pernyataan yang tegas bahwa apa yang dibawa Nabi benar-benar
merupakan wahyu Allah. Kalau al-Qur’an mencoba meyakinkan masyarakat Arab
pra-Islam bahwa apa yang dibawa oleh Nabi itu benar-benar wahyu serta mencoba
menjaga Nabi agar terhindar dari tuduhan sebagai peramal, pertanyaannya apakah
logis jika Nabi kemudian banyak menyatakan hal-hal yang prediktif? Bukankah hal
demikian ini bertentangan dengan logika umum yang tersimpul dari al-Qur’an itu
sendiri? Sudah barang tentu hal ini tidak mungkin dilakukan Rasulullah. Itulah
karenanya hadits-hadits yang bersifat prediktif ini sulit untuk bisa diterima
sebagai landasan normatif untuk membenarkan Aswaja.
Dengan bersandar
pada ketiga alasan di atas, pembenaran atas Aswaja harus dilihat dari aspek
kesejarahan. Dari hasil pendekatan kesejarahan ini kemudian Aswaja di
rekonstruksi menjadi konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep abstrak inilah
yang akan kita jadikan sebagai pola atau model pemahaman keagamaan. Inilah yang
kami maksudkan Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan Islam.
Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di
Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan
kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir
dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah
Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance)
yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan
bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama
lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu
struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir
bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di
Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan
keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan
superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara
umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara
membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat
perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan
ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap
terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal
dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara.
Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja
di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.
Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan
nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih
dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia
(perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu.
Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja
lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di
Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali
modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman
sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun
harus mondial.
Sejauh ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama melalui forum
ICIS (International Conference of Islamic Scholars) sudah tiga kali menggelar pertemuan
para ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk tujuan dimaksud: tujuan
luhur mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.
Ke dalam, penggairahan masjid sebagai pusat peradaban dan
institusi perawatan nilai-nilai juga disadari semakin penting dilakukan.
Manakala masjid berfungsi merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman tadi bisa
dilawan pengaruhnya.
Tentu saja, penyikapan yang komprehensif harus diupayakan
secara menerus. Nilai dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen. Sudah
saatnya, pada tingkat instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia
memiliki misalnya, stasiun televisi, production house untuk membuat film
berbasis nilai-nilai Aswaja, perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan
segala institusi baru lainnya agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa
dilakukan secara maksimal. (NU Online)
Dalam tinjauan teologis dan historis-sosiologis, istilah Ahlusunnah
wal Jama’ah (Aswaja) adalah pengikut sunnah dan lawan dari sifat bid’ah
pemikiran. Dalam sejarahnya, Aswaja sering diasosiasikan pengikut para
imam-imam yang agung dalam kedalaman ilmunya, yang merupakan antitesa dari
paham muktazilah, syiah, khawarij, murjiah, musyabbihah dan jabariyah. Lebih
spesifik lagi, Imam As-Safariniy Al-Hanbali (1114-1188 H) dalam Lawami’
Al-Anwar Al-Bahiyyah Syarh Ad-Durrat Al-Mudhiyyah fi ‘Aqd Al-Firqoh
Al-Mardhiyyah (vol.1/73) menegaskan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah
terdiri dari 3 golongan besar yaitu, Asy’ariyah (pengikut Imam Abul Hasan
Asy’ari), Maturidiyah (pengikut Imam Abu Manshur Maturidi) dan Ahlul
Hadis/Atsar (pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal).
Perkembangan kondisi kekinian umat mengharuskan terciptanya
persaudaraan, kesepahaman (tafahum), saling menyayangi dan merangkul (tarahum),
sehingga melahirkan kerjasama dan sinergitas (ta’awun wa takamul).
Sikap-sikap positif itu mutlak harus diwujudkan oleh semua pihak yang mengaku
dirinya Ahlusunnah wal Jama’ah, apalagi di tengah tantangan dakwah Islam yang
semakin berat dewasa ini.
Tantangan Ukhuwah Aswaja
Berikut ini, beberapa tantangan ukhuwah di kalangan Ahlusunnah
wal Jama’ah.
Pertama,
Sikap saling menafikan. Di muka, saya telah mengutip pandangan tokoh terkemuka
sunni Imam As-Safariniy tentang 3 kelompok Aswaja, yang disepakati oleh seluruh
ulama Sunni. Namun dalam sejarah, tak jarang terjadi polemik dan sikap saling
menafikan antar kelompok Ahlus Sunnah, terutama antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah di satu sisi dan Ahlul Hadis di sisi lain. Tantangan ini tidak bisa
dipandang remeh.
Sebagian ulama Asy’ariah misalnya menafikan Ahlul Hadis,
terutama dalam hal tanzih sifat Allah, bahwa mereka (Ahlul Hadis) terkena
sindrom tajsim dan tasybih antara Allah dan makhluk-Nya. Seperti yang sering
dituduhkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taymiah (661-728 H, 1263-1328 M).
Sebaliknya sebagian ulama Ahlul Hadis menafikan Asy’ariah dan Maturidiyah dan
menuduh mereka terkena sindrom jahamiyah dan muktazilah dalam soal takwil
sifat-sifat Allah. Tentu saja sikap saling menafikan di antara school of
thoughts sunni ini akan berdampak negatif bagi kemaslahatan umat Islam yang
mayoritas berakidah Ahlusunnah wal Jama’ah. Perpecahan ini tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut. Harus ada rekonsiliasi hakiki dan tidak lagi saling menafikan.
Yang senang dengan skisma antar madrasah pemikiran Ahlusunnah, tentulah
sekte-sekte sesat dan aliran pemikiran yang anti-sunnah dan melancarkan gerakan
dekonstruksi syariah yang didukung kekuatan asing.
Kedua,
Kurangnya sikap penghargaan terhadap tokoh panutan mazhab masing-masing. Sikap
kritis ilmiah terhadap madrasah sunni lainnya sah saja, -bukan hal yang tabu-
namun harus diiringi sikap yang berimbang dan tetap saling menghargai. Contoh
Ibnu Taymiah. Beliau memang kritis terhadap pandangan teologi Asy’ariyah, dalam
soal-soal tertentu seperti penetapan sifat-sifat Allah secara akliah dan takwil
terhadap sifat-sifat khabariyah. Namun sikap kritis itu tidak menghalangi
beliau untuk respek dan menghargai jasa-jasa besar para ulama Asya’irah dalam
melawan dan membantah pemikiran muktazilah, bathiniyah ismailiyah, dan syiah
imamiyah-rofidhoh.
Beliau juga memuji Menteri Besar Daulah Saljuk, Nizhamul
Mulk (408-485 H, 1018-1092 M) –penyokong teologi asy’ari- yang telah
mensponsori Madrasah Nizhamiyah di Baghdad dan kota-kota sunni lainnya untuk
melawan pemikiran dan aliran sesat. Dari rahim Nizhamiyah Baghdad telah lahir
karya-karya besar seperti Ghiyats al-Umam oleh Imam Al-Juwaini (419-478
H, 1028-1185 M), Fadha’ih Al-Bathiniyah dan Tahafut Al-Falasifah
oleh Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111 M), Al-Ghunyah oleh
Abdul Qadir Jaylani (470-561 H), dan lain-lain.
Ia misalnya menulis, “Kebaikan-kebaikan mereka (Asy’ariyah)
dilihat dari dua aspek; pertama, kesesuaiannya dengan ahlusunnah dan hadis, dan
kedua, membantah aliran-aliran yang menyalahi ahlusunnah dan hadis dengan
merontokkan argumentasinya.” Ia secara elegan menyatakan bahwa, “ulama
Asy’ariah memiliki kebaikan, kelebihan dan upaya yang mesti disyukuri, sehingga
ijtihad mereka yang keliru akan diampuni.” (lihat Majmu’ Fatawa, dan
lebih jauh baca Abdurrahman Al-Mahmud dalam Mawqif Ibn Taymiah Minal
Asya’irah, vol.2/705-708 dan 709)Sikap dan penilaian yang fair dari Ibnu
Taymiah terhadap para ulama Asya’irah ini yang harus digugu dan ditiru oleh
kelompok Salafi yang kagum dan menisbatkan dirinya kepada beliau, dalam menilai
kelompok lain yang masih satu atap koridor Ahlusunnah.
Ketiga,
Kecurigaan terhadap perkembangan gerakan keagamaan baru; label “ideologi transnasional”
disematkan kepada mereka dan dianggap paham yang bertentangan dengan Aswaja.
Gerakan seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tablig sering
diasosiasikan ke dalam kecurigaan itu. Padahal kalau mau jujur, aliran Syiah
lebih tepat dilabeli “transnasional” yang berpotensi memecah belah persatuan
bangsa yang mayoritas muslim sunni dan sudah mengakar di Indonesia. Hal ini
akibat kurangnya informasi tentang perkembangan ideologi sunni yang
bertransformasi menjadi gerakan politik disamping ormas keagamaan murni.
Di Timur Tengah, kelompok sunni yang berupaya menyatukan
gerakan keagamaan dan politik sudah jamak terjadi akibat dipicu oleh keinginan
lepas dari imperialisme Barat. Ada yang sifatnya lokal seperti gerakan
Sanusiyah dan Mahdiyah sebagai penggerak kemerdekaan jajahan asing di Afrika
Utara. Dan ada juga yang jangkauannya internasional seperti gerakan Pan-Islam
besutan Rasyid Ridha –yang diilhami Urwatul Wutsqa dan Al-Manar,
dan merembet pengaruhnya ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia dengan
munculnya gerakan pembaharuan di Minang (Haji Rasul) dan Jawa (Muhammadiyah)-,
lalu dilanjutkan oleh Ikhwanul Muslimin oleh Hasan Al-Banna dan Hizbut Tahrir
oleh Taqiudin Nabhani.
Di sisi lain kelahiran Jam’iyah NU juga terinspirasi dari
gerakan ulama Sunni-Syafi’i-Asy’ari transnasional di Haramain yang menolak
penyeragaman mazhab yang dilakukan oleh Raja Al-Saud di Arab Saudi. Jadi kalau
sekarang muncul kegaduhan labelisasi gerakan transnasional, maka ormas-ormas
Islam yang berdiri di awal abad-20 pun –sedikit banyak- terpengaruh ‘ide
keIslaman transnasional’. Hemat saya, kelompok-kelompok sunni di Indonesia
jangan terjebak dengan istilah yang rancu itu.
Saya optimis, kecurigaan dan prasangka buruk itu bisa
dieliminir jika terjalin silaturahim yang efektif dan berksesinambungan, tanpa
harus terjadi klaim kebenaran sepihak dan rebutan ‘lahan’ dakwah, yang bisa
memicu konflik dan mengundang pihak di luar Ahlusunnah dan musuh Islam untuk
mengail di air keruh.
Apalagi umat Islam Indonesia yang sunni saat ini
berhadap-hadapan dengan berbagai tantangan berat dalam dakwah Islam. Mulai dari
maraknya gerakan anti-syariat (sekularisme), liberalisasi Islam, dan pluralisme
agama. Hingga tantangan gerakan aliran-aliran menyimpang seperti Ahmadiyah dan
Syiah Imamiyah/Rofidhoh, gerakan pemurtadan, dan budaya permisif-hedonis dan
free sex yang dilancarkan dengan massif untuk menjauhkan umat Islam dari moral
dan norma agama.
Epilog
Peta tantangan internal dan eksternal itu dapat berpotensi mengancam dan menggerogoti akidah Islam –Ahlusunnah wal Jamaah-. Alangkah baiknya para tokoh dan pemimpin sunni duduk bersama dan menyatukan barisan. Aktualisasi dan dinamisasi gerakan Aswaja di Indonesia amat diperlukan, khususnya upaya membangun ukhuwah hakiki dan sinergitas, tidak memperbesar perbedaan penafsiran cabang-cabang akidah dan fiqih, serta kerjasama yang intens dan memupuk kepercayaan dengan seluruh elemen Aswaja, tanpa harus kehilangan jatidiri masing-masing. Disinilah pentingnya memahami etika perbedaan (Fiqhul Ikhtilaf) dan toleransi (tasamuh), serta perlunya sinkronisasi dan kordinasi gerakan dakwah (Taswiyatul Manhaj-Tansiqul Harakah) Ahlusunnah wal Jama’ah. Dengan demikian kita dapat menyatukan langkah untuk mulai menyusun proyek peradaban Islam-Sunni yang komprehensif untuk pembangunan Indonesia dan dunia Islam umumnya agar dihormati dalam kancah pergaulan antar bangsa.
Peta tantangan internal dan eksternal itu dapat berpotensi mengancam dan menggerogoti akidah Islam –Ahlusunnah wal Jamaah-. Alangkah baiknya para tokoh dan pemimpin sunni duduk bersama dan menyatukan barisan. Aktualisasi dan dinamisasi gerakan Aswaja di Indonesia amat diperlukan, khususnya upaya membangun ukhuwah hakiki dan sinergitas, tidak memperbesar perbedaan penafsiran cabang-cabang akidah dan fiqih, serta kerjasama yang intens dan memupuk kepercayaan dengan seluruh elemen Aswaja, tanpa harus kehilangan jatidiri masing-masing. Disinilah pentingnya memahami etika perbedaan (Fiqhul Ikhtilaf) dan toleransi (tasamuh), serta perlunya sinkronisasi dan kordinasi gerakan dakwah (Taswiyatul Manhaj-Tansiqul Harakah) Ahlusunnah wal Jama’ah. Dengan demikian kita dapat menyatukan langkah untuk mulai menyusun proyek peradaban Islam-Sunni yang komprehensif untuk pembangunan Indonesia dan dunia Islam umumnya agar dihormati dalam kancah pergaulan antar bangsa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faham ahlussunnah waljamaah terbentuk melalui proses yang
tidak sederhana.disamping membutuhkan waktu yang panjang dalam proses dalam
pembukuannya, faham ini juga mengalami beberapa kali benturan dengan faham lain
sebelumsampai pada bentuk ny ayang final. Walaupun faham ini telah berhasil
mengatasi tantangangan yang dihadapinya dalam proses sampai kepada formatnya
yang baku, ahlussunah waljamaah mulai di uji kembali oleh kelompok modernis
yang menghendaki adnaya revisi terhadap beberapa ajarannya yang dianggap perlu
diubah agar sesuai dengan tututan zaman. Namun , kelihatannya keberadaan ahl
lulsunnah waljamaah maih tetap dibutuhkan skurang-kurang dalam masa sekarang
ini karena tantangan dari kaum modernis terbukti menjadi counter productive.
Meskipun demikian ahl lulsunah waljama’ah tetap harus terbuka untuk berubah
sebab hakekat keberadaanya memang hasil dari dari perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh ulama Sunni di masa lalu doktrin in bisa compatible dengan waktu
di masa para ulama waktu hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Muchtar
Masyhudi, dkk, 2007, Aswaja An-Nahdliyah,
Surabaya: Khalista.
Zaki
Hadziq Moh, 2009, Konsep Aswaja Ala Mbah
Hasyim Asy’ari, Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam.
Lim
Press Lirboyo, 2007, Gerbang Pesantren
Pengantar Memahami Ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah, Kediri: Bidang Penelitian
dan Pengembangan Lembaga Ittihadul Mubalighin Pon Pes Lirboyo.
Abbas
Siradjuddin, 1969, I’itiqad Ahlussunnah
wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Royyan
Danial Muhammad, 2011, Membedah Intisari
Ahlissunnah wal Jama’ah, Jogjakarta: Menara Kudus.
Hidayat
Muhammad Nur, 2012, Benteng Ahlussunah
wal Jama’ah, Kediri: Nasyrul ‘ilmi.
Isma’il
Ibnu, 2011, Islam Tradisi, Kediri:
Tetes Publisking Tempias Tinta Emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar