Posted by Aldi Al Bani
Monday, February 28, 2011 0 komentar
Oleh:
zulkarnain
I. Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam dunia filsafat terdapat dua aliran besar yaitu aliran peripatetis dan iluminasi. Mengerti dan mengetahui kedua aliran ini adalah hal yang sangat penting ketika kita ingin mengkaji filsafat, karena semua filsuf khususnya muslim pada akhirnya merujuk dan berkaitan kepada dua aliran ini. Aliran peripatetis merupakan aliran yang pada umumnya diikuti oleh kebanyakan filsuf, sedangkan aliran iluninasi di sini merupakan tandingan bagi aliran peripatetis. Aliran iluminasi ini dipelpori oleh seorang tokoh filsuf muslim yaitu Suhrawardi al Maqtul yang dikenal juga dengan sebutan bapak iluminasi.
Suhrawardi dikenal dalam kajian Filsafat Islam karena kontribusinya yang sangat besar dalam mencetuskan aliran iluninasi sebagai tandingan aliran peripatetis dalam filsafat, walaupun dia masih dipengaruhi oleh para filsuf barat sebelumnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sebagian atau bahkan keseluruhan bangunan Filsafat Islam ini dikatakan kelanjutan dari filsafat barat yaitu Yunani.
Hal pemikiran Suhrawardi dalam filsafat yang paling menonjol adalah usahanya untuk menciptakan ikatan antara tasawuf dan filsafat. Dia juga terkait erat dengan pemikiran filsuf sebelumnya seperti Abu Yazid al Busthami dan al Hallaj, yang jika dirunrut ke atas mewarisi ajaran Hermes, Phitagoras, Plato, Aristoteles, Neo Platonisme, Zoroaster dan filsuf-filsuf Mesir kuno. Kenyataan ini secara tidak langsung mengindikasikan ketokohan dan pemikirannya dalam filsafat.
Penulis akan mengurai secara singkat dalam makalah ini biografi tentang bapak iluminasi yaitu Suhrawardi al Maqtul mulai dari kelahiran dan jalur keturunannya, sekilas pandang tentang pendidikannya, karya-karya yang dihasilkan, serta pemikirannya dalam filsafat khususnya dalam Filsafat Islam.
Kritik, saran, dan tegur sapa sungguh diharapkan dari berbagai pihak dan pembaca yang budiman untuk menyempurnakan karya yang singkat ini. Semoga karya yang pendek ini bermanfaat bagi semua orang dan dicatat sebagai amal jariyah penulis.
II. Biografi
1. Riwayat Hidup
Al-Suhrawardi mempunyai nama lengkap Syaikh Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di Suhraward, negeri Iran Barat Laut, tidak jauh dari Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. Dia dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq atau Master of Iluminasionist (Bapak Pencerahan), al-Hakim (Sang Bijak), al-Syahid (Sang Martir), dan al-Maqtul (yang terbunuh). Al-Suhrawardi mempunyai julukan al-Maqtul (yang terbunuh), ini terkait dengan cara kematiannya yang dibunuh di Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 587 H/1191 M. Dan hal ini lah yang membedakan dia dengan dua tokoh sufi lainnya, yaitu Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 563 H) dan Abu Hafah Syihabuddin al-Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632 H), dia adalah seorang guru sufi (syaikh al-Syuyuk) di samping terkenal juga sebagai politikus di Baghdad kala itu, dia juga merupakan penyusun kitab Awarif al-Ma’arif.
Setelah sekian lama al-Suhrawardi terkenal dan mempunyai doktrin-doktrin yang esoteris (bersifat khusus, rahasia) serta kritik yang tajam yang dilontarkan kepada para fuqaha’ kala itu menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi yang anti terhadap aliran Aristotelian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M atas desakan para fuqaha’ kepada Malik al-Zhahir yang di kala itu membutuhkan dukungan dari fuqaha’ untuk menghadapi tentara salib yang mengancam umat Islam, sehingga al-Suhrawardi diseret ke penjara dan di hukum mati pada usia 38 tahun yang masih cukup relatif muda. A. Mustofa mengatakan bahwa perihal terbunuhnya al-Suhrawardi ini merupakan ulah dari orang-orang yang dengki kepadanya sehingga melaporkannya kepada Shalahuddin al-Ayyubi akan bahaya tersesatnya akidah Malik al-Zhahir jika terus berteman dengan al-Suhrawardi. Maka Shalahuddin pun meminta putranya untuk membunuh al-Suhrawardi. Kemuadian Malik al-Zhahir pun meminta pendapat para fuqaha’ Halb, yang memang menjatuhkan hukuman mati kepada al-Suhrawardi. Setelah itu Malik al-Zhahir pun memutuskan agar al-Suhrawardi dihukum gantung.
2. Pendidikan
Al-Suhrawardi belajar dan menjadi murid dari seorang imam besar yaitu Majduddin al-Jili, al-Jili merupakan guru Fakhruddin al-Razi yang berteman langsung dengan al-Suhrawardi di Isfahan. Dia belajar dari al-Jili ilmu hikmah dan ushul fiqh. Di Isfahan dia juga belajar logika langsung kepada Ibnu Sahlan al-Sawi yang terkenal juga dengan komentator Risalah al-Thair karangan Ibn Sina, al-Sawi adalah penyusun kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah. Tetapi dalam bukunya Filsafat Islam, Hasyimsyah mengatakan bahwa al-Suhrawardi tidak belajar langsung kepada al-Sawi akan tetapi dia mengkaji kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah setelah menunutut ilmu dari Zhahir al-Din al-Qari al-Farsi. Al-Suhrawardi juga belajar dan memperdalam pengetahuan filsafat di negeri Isfahan kepada seorang ahli yaitu Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594 H/1198 M).
Setelah itu ia mengembara melewati dan sampai di Persia, Anatolia, Damaskus, dan Syiria. Dalam pengembaraannya al-Suhrawardi banyak bergaul dengan para sufi dan sempat menjalani kehidupan zahid, sambil mendalami kajian tasawuf. Setelah itu al-Suhrawardi menetap di Aleppo atas undangan pangeran Malik al-Zhahir, seorang putra Shalahuddin al-Ayyubi yang dikatakan tertarik dengan ide dan fikiran-fikiran al-Suhrawardi yang mengkonstruksi bangunan filosofis besar kedua dalam Islam, yaitu aliran illuminasionis yang menjadi tandingan dari aliran peripatetis yang lebih dahulu lahir.
Kesuksesan al-Suhrawardi dalam membangun aliran illuninasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam terhadap ilmu tasawuf dan filsafat, di kala itu al-Suhrawardi dikenal mempunyai kecerdasan yang tinggi, hal ini terbukti tatkala tidak ada satu orang pun yang menandinginya di antara teman-temannya dalam hal pemikiran dalam dunia Islam. Bahkan A. Mustofa mengisahkan dalam karyanya Filsafat Islam, bahwa pengetahuan al-Suhrawardi dalam bidang filsafat begitu mandalam. Kitab Thabaqat al-Athibba juga menyebutkan al-Suhrawardi sebagai seorang tokoh di masanya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai kajian filsafat, memahami kajian usul fiqh, memiliki kecerdasan yang tinggi, dan ungkapan-ungkapannya begitu fasih.
3. Karya
Menurut Hasyimsyah, al-Suhrawardi menulis tidak kurang dari 50 karya dalam bahasa Arab dan Persia. Sebagaimana yang dikutip oleh Hasyimsyah dari pengelompokkan karya-karya al-Suhrawardi oleh Seyyed Hossein Nasr ke dalam lima bagian, yaitu: (1). Tentang pengajaran dan kaidah teosofi yang merupakan tafsiran dan modifikasi dari filsafat peripatetis, di antaranya: Talwihat, Muqawamat, Mutharahat, dan Hikmat al-Isyraq. (2). Karangan sederhana tentang filsafat, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia, di antaranya: Hayakil al-Nur, al-Alwah al-‘Imadiyah, Partaw-namah, Fi l’itiqad al- Hukama’, al-Lamahat, Yazdan Syinakht, dan Bustan al-Qulub. (3). Karya pendek yang berbau mistis, yang umumnya ditulis dalam bahasa Persia, di antaranya: ‘Aql-i Surkh, Awaz-i Par-i Jibra’il, al-Ghurbat al-Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al-Thifuliyah, Ruzi bajama’at-i Shyufiyan, Risalah fi al-Mi’raj, dan Syafir-i Simurgh. (4). Karya yang berupa komentar dan terjemah dari ajaran-ajaran keagamaan dan filsafat terdahulu, di antaranaya: Risalah al-Thair karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya Ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-‘Isyqi, yang berpusat pada risalah Ibn Sina Fi al-Isyqi; serta beberapa tafsir al Quran dan Hadits Nabi. (5). Karya yang berupa kumpulan doa-doa yang lebih terkenal dengan sebutan al-Waridat wa al-Taqdisat.
Di antara karya-karya di atas, karya al-Suhrawardi yang paling monumental adalah Hikmat al-Isyroq, yang berisi pendapat dan pemikiran dia tentang tasawuf isyraqi (iluminatif), dan ini merupakan karyanya yang paling penting dalam menguraikan alirannya.
III. Pemikiran
Al-Suhrawardi mendalami Hikmah Persia dan Filsafat Yunani, dia mengambil jalan tasawuf dalam ilmu dan amal dan melatih dirinya dengan riyadhoh dan mujahadah sehingga dia sampai pada tujuannya membangun Hikmah al-Isyroq yang juga dinamakan Ilmu Cahaya-cahaya. Al-suhrawardi mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak didapat dengan akal pada mulanya, akan tetapi pengetahuan itu dihasilkan dari perkara lain yaitu dzauq (rasa).
Hikmah al-Isyroq yang merupakan kitab yang paling penting peninggalan al-Suhrawardi berisi tentang buah fikir dan pendapatnya, dengan jelas dalam bab ke dua kitab ini menjelaskan secara luas tentang cahaya ketuhanan, di sana dia menjelaskan tentang cahaya itu sendiri dan hakikatnya, dan juga menjelaskan Nurul al-Anwar yaitu Allah SWT beserta tanda-tanda dan alam semesta yang bersumber dari-Nya, yang sebelumnya diterangkan pada bab pertama kitab ini tentang ilmu mantiq (logika).
Inti ajaran filsafat isyroqiyyah yang dibawa al-Suhrawardi adalah sumber segala sesuatu yang ada (al-maujudat) adalah Nur al-Anwar (Cahaya Segala Cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan melalui penyinaran, oleh karena itu mempunyai tingkatan-tingkatan pancaran cahaya. Manusia juga diciptakan melalui proses pancaran dari Nur al-Anwar yaitu Tuhan yang abadi. Penyinaran manusia menyerupai proses emanasi (al-faid) dalam filsafat al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M). Dengan demikian Tuhan dan manusia mempunyai hubungan timbal balik, dan dari paradigma seperti ini dimungkinkan terjadinya persatuan antara manusia dan Tuhan (ittihad).
Dalam bukunya Filsafat Islam, Hasyimsyah memaparkan dengan cukup jelas tentang pemikiran filsafat al-Suhrawardi dan mengelompokkannya dalam beberapa bagian.
Al-Suhrawardi sering menggunakan istilah-istilah yang berbeda dengan yang biasa digunakan di kalangan umum, seperti barzah, yang tidak berkaitan dengan kematian atau alam setelah mati. Istilah ini digunakan sebagai pemisah antara dunia cahaya dan dunia kegelapan.
Timur (Masriq) dan Barat (Maghrib), tidak berhubungan dengan letak geografis, tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang terbebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat diartikan sebagai Dunia Kegelapan atau Materi. Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dan sedikit kegelapan. Timur yang sebenarnya adalah apa yang terdapat di balik langit yang kelihatan ini, dan yang di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat bukanlah falak bulan, sebagaimana dalam filsafat Aristotelian, tetepi ia adalah langit bintang-bintang yang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.
a. Metafisika dan Cahaya
Suatu bangunan ilmu tidak hadir secara tiba-tiba dan langsung sempurna, semua itu membutuhkan proses yang cukup lama untuk menjadi sempurna. Begitu pula dengan iluminasionisme yang dibangun al-Suhrawardi yang pada mulanya berawal dari kebijakan universal dan perenial, yang awalnya diwahyukan kepada Hermes (yang disamakan dengan sumber-sumber Muslim dari Idris atau Nuh yang termaktub di dalam al Quran) kemudian menurun melalui rantai yang bersambung terus kepada al Busthami, al Hallaj, dan mencapai puncaknya di tangan al-Suhrawardi.
Inti filsafat Illuminasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, hal ini didasarkan pada QS. Al-Nur ayat 35: Allah Nur al-Samawat wa al-Ardhi Allah menyebut dirinya sebagai cahaya langit dan bumi.
Yang dimaksudkan cahaya oleh al-Suhrawardi bersifat Immaterial dan tidak dapat didefinisikan, karena sesuatu yang “terang” tidak perlu definisi, dan cahaya adalah entitas yang paling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, sebagai sesuatu yang esensial dari padanya. Karena itu, esensi cahaya adalah manifestasi.
b. Epistemologi
Dalam kajian epistemologi al-Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles. Menurut Aristoteles, definisi adalah genus plus differensia. Tapi al-Suhrawardi berpendapat bahwa atribut khusus hal yang terdefinisikan, yang tidak dapat dipredikatkan kepada hal yang lain, mengakibatkan kita tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Suatu contoh, kita mendefinisikan kuda sebagai seekor binatang ”meringkik”, sekarang kita mengerti hewan, karena kita mengetahui banyak hewan yang memiliki atribut seperti ini; tetapi tidak mungkin untuk mengerti atribut meringkik, karena meringkik didapati hanya pada benda yang didefinisikan dengan sifat meringkik itu. Definisi biasa kuda, dengan definisi yang tadi, akan menjadi tidak bermakna apabila dihadapkan kepada orang yang belum pernah melihat seekor kuda. Maka, definisi Aristoteles sebagai suatu prinsip ilmiah benar-benar tidak berlaku. Al-Suhrawardi berpendapat bahwa suatu definisi yang benar adalah definisi yang menyebutkan satu persatu semua atribut yang esensial, yang secara kolektif ada pada benda yang didefinisikan itu, walaupun atribut-atribut itu bisa saja dengan sendirinya terdapat pada banda yang lain.
c. Kosmologi
Al-Suhrawardi memiliki pandangan dalam bidang kosmologi yang berbeda dengan apa yang dianggap oleh para ahli sebagai berasal dari para filsuf lain, menurut al-Suhrawardi , hal itu adalah berasal dari pandangan dunia yang dibangun Avicenna. Ia menyatakan persetujuannya akan tetapi ia juga berusaha dengan mengutip Kitab Suci atau inti ajaran tasawuf.
Alam semesta merupakan pancaran abadi dari sumber yang pertama. Dalam tambahan mengenai esensi yang bukan materi (cahaya), adalah hal yang tidak dapat ditentukan yang pernah kita lihat, merupakan sesutau yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada materi yang secara langsung berasal dari Cahaya Utama atau secara tidak langsung dari sinaran Cahaya Tuhan.
Segala yang “bukan cahaya” disebut sebagai “Kualitas Mutlak” atau “Materi Mutlak”. Ini merupakan aspek lain penegasan atas cahaya, dan bukan merupakan sebuah prinsip mandiri sebagaimana yang dianggap secara salah oleh pengikut Aristoteles. Fakta membuktikan bahwa unsur-unsur primer yang lain menjadi satu, merujuk kepada materi absolut; dasar yang mempunyai berbagai tingkat besarnya, membentuk berbagai macam lingkaran materi. Ada dua bagian landasan mutlak semua benda, yaitu:
1. Yang berada di luar ruang -- atom-atom atau substansi yang tidak terang (esensi-esensi menurut kelompok Asy’ari).
2. Yang mesti di dalam ruang – bentuk-bentuk kegelapan, misalnya: berat, bau, rasa, dan sebagainya.
Semua yang bukan cahaya dibagi menjadi dua:
1. Kekal abadi, misalnya: intelek, jiwa dari benda-benda angkasa, langit, unsur-unsur tunggal, waktu, dan gerak.
2. Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur. Gerak langit itu adalah abadi, dan membuat berbagai siklus Alam Semesta. Ini disebabkan oleh kerinduan kuat jiwa langit untuk menerima penerangan dari sumber segala cahaya.
Dikatakan bahwa ada dua hal yang abadi yaitu Tuhan dan alam, akan tetapi al-Suhrawardi tetap membedakanya. Alam semesta merupakan manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan esensial Cahaya Pertama.
Al-Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat:
1. Alam Akal-akal (‘Alam al-‘Uqul).
2. Alam Jiwa-jiwa (‘Alam al-Nufus).
3. Alam Bentuk (‘Alam al-Ajsam).
4. Alam Mitsal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.
Tiga alam di atas sudah sering diperbincangkan oleh para filsuf sebelumnya, sedangkan alam ke empat ini merupakan inovasi baru yang ditemukan al-Suhrawardi dengan jalan mujahadah dan musyahadah secara berkelanjutan.
d. Psikologi
Dalam masalah jiwa, al-Suhrawardi setuju dengan pandangan Ibn Sina, bahwa jiwa manusia tidak dapat dipandang sudah ada sebelum keberadaan fisiknya. Hubungan antara penerangan abstrak, atau hubungan antara jiwa dan tubuh, bukanlah suatu hubungan sebab akibat; ikatan kesatuan antara materi adalah cinta. Tubuh yang merindukan penerangan, menerima penerangan melalui jiwa; dikarenakan sifatnya yang tidak mengizinkan suatu komunikasi langsung antarra sumber cahaya dan dirinya sendiri. Tetapi jiwa tidak dapat menyampaikan sinar yang diterima secara langsung kepada benda padat yang gelap (tubuh), karena memang berbeda antara jiwa dan tubuh.
Oleh karena itu untuk tercapainya hubungan antara satu sama lain, maka dibutuhkan media lain yang berdiri di tengah antara terang dan gelap, yaitu jiwa hewani, yang berupa asap transparan, halus, dan panas yang bertempat di rongga kiri jantung, namun menyebar juga ke seluruh bagian tubuh.
IV. Penutup
Sebuah simpulan dari sedikit uraian tentang al-Suhrawardi di atas, kita semakin mengetahui bahwa dia adalah seorang tokoh filsuf muslim besar yang membangun aliran iluminasi sebagai tandingan dari aliran peripatetis yang terlebih dahulu mendahuluinya. Hal ini dilakukan al-Suhrawardi dalam rangka memadukan antara ajaran tawasuf dengan filsafat. Pandangan dia bahwa pengetahuan itu bukan hanya diperoleh dari hasil akal semata, akan tetapi dari rasa (dzauq) yang awalnya ditempuh dengan jalan mujahadah dan musyahadah.
I. Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam dunia filsafat terdapat dua aliran besar yaitu aliran peripatetis dan iluminasi. Mengerti dan mengetahui kedua aliran ini adalah hal yang sangat penting ketika kita ingin mengkaji filsafat, karena semua filsuf khususnya muslim pada akhirnya merujuk dan berkaitan kepada dua aliran ini. Aliran peripatetis merupakan aliran yang pada umumnya diikuti oleh kebanyakan filsuf, sedangkan aliran iluninasi di sini merupakan tandingan bagi aliran peripatetis. Aliran iluminasi ini dipelpori oleh seorang tokoh filsuf muslim yaitu Suhrawardi al Maqtul yang dikenal juga dengan sebutan bapak iluminasi.
Suhrawardi dikenal dalam kajian Filsafat Islam karena kontribusinya yang sangat besar dalam mencetuskan aliran iluninasi sebagai tandingan aliran peripatetis dalam filsafat, walaupun dia masih dipengaruhi oleh para filsuf barat sebelumnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sebagian atau bahkan keseluruhan bangunan Filsafat Islam ini dikatakan kelanjutan dari filsafat barat yaitu Yunani.
Hal pemikiran Suhrawardi dalam filsafat yang paling menonjol adalah usahanya untuk menciptakan ikatan antara tasawuf dan filsafat. Dia juga terkait erat dengan pemikiran filsuf sebelumnya seperti Abu Yazid al Busthami dan al Hallaj, yang jika dirunrut ke atas mewarisi ajaran Hermes, Phitagoras, Plato, Aristoteles, Neo Platonisme, Zoroaster dan filsuf-filsuf Mesir kuno. Kenyataan ini secara tidak langsung mengindikasikan ketokohan dan pemikirannya dalam filsafat.
Penulis akan mengurai secara singkat dalam makalah ini biografi tentang bapak iluminasi yaitu Suhrawardi al Maqtul mulai dari kelahiran dan jalur keturunannya, sekilas pandang tentang pendidikannya, karya-karya yang dihasilkan, serta pemikirannya dalam filsafat khususnya dalam Filsafat Islam.
Kritik, saran, dan tegur sapa sungguh diharapkan dari berbagai pihak dan pembaca yang budiman untuk menyempurnakan karya yang singkat ini. Semoga karya yang pendek ini bermanfaat bagi semua orang dan dicatat sebagai amal jariyah penulis.
II. Biografi
1. Riwayat Hidup
Al-Suhrawardi mempunyai nama lengkap Syaikh Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di Suhraward, negeri Iran Barat Laut, tidak jauh dari Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. Dia dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq atau Master of Iluminasionist (Bapak Pencerahan), al-Hakim (Sang Bijak), al-Syahid (Sang Martir), dan al-Maqtul (yang terbunuh). Al-Suhrawardi mempunyai julukan al-Maqtul (yang terbunuh), ini terkait dengan cara kematiannya yang dibunuh di Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 587 H/1191 M. Dan hal ini lah yang membedakan dia dengan dua tokoh sufi lainnya, yaitu Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 563 H) dan Abu Hafah Syihabuddin al-Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632 H), dia adalah seorang guru sufi (syaikh al-Syuyuk) di samping terkenal juga sebagai politikus di Baghdad kala itu, dia juga merupakan penyusun kitab Awarif al-Ma’arif.
Setelah sekian lama al-Suhrawardi terkenal dan mempunyai doktrin-doktrin yang esoteris (bersifat khusus, rahasia) serta kritik yang tajam yang dilontarkan kepada para fuqaha’ kala itu menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi yang anti terhadap aliran Aristotelian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M atas desakan para fuqaha’ kepada Malik al-Zhahir yang di kala itu membutuhkan dukungan dari fuqaha’ untuk menghadapi tentara salib yang mengancam umat Islam, sehingga al-Suhrawardi diseret ke penjara dan di hukum mati pada usia 38 tahun yang masih cukup relatif muda. A. Mustofa mengatakan bahwa perihal terbunuhnya al-Suhrawardi ini merupakan ulah dari orang-orang yang dengki kepadanya sehingga melaporkannya kepada Shalahuddin al-Ayyubi akan bahaya tersesatnya akidah Malik al-Zhahir jika terus berteman dengan al-Suhrawardi. Maka Shalahuddin pun meminta putranya untuk membunuh al-Suhrawardi. Kemuadian Malik al-Zhahir pun meminta pendapat para fuqaha’ Halb, yang memang menjatuhkan hukuman mati kepada al-Suhrawardi. Setelah itu Malik al-Zhahir pun memutuskan agar al-Suhrawardi dihukum gantung.
2. Pendidikan
Al-Suhrawardi belajar dan menjadi murid dari seorang imam besar yaitu Majduddin al-Jili, al-Jili merupakan guru Fakhruddin al-Razi yang berteman langsung dengan al-Suhrawardi di Isfahan. Dia belajar dari al-Jili ilmu hikmah dan ushul fiqh. Di Isfahan dia juga belajar logika langsung kepada Ibnu Sahlan al-Sawi yang terkenal juga dengan komentator Risalah al-Thair karangan Ibn Sina, al-Sawi adalah penyusun kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah. Tetapi dalam bukunya Filsafat Islam, Hasyimsyah mengatakan bahwa al-Suhrawardi tidak belajar langsung kepada al-Sawi akan tetapi dia mengkaji kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah setelah menunutut ilmu dari Zhahir al-Din al-Qari al-Farsi. Al-Suhrawardi juga belajar dan memperdalam pengetahuan filsafat di negeri Isfahan kepada seorang ahli yaitu Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594 H/1198 M).
Setelah itu ia mengembara melewati dan sampai di Persia, Anatolia, Damaskus, dan Syiria. Dalam pengembaraannya al-Suhrawardi banyak bergaul dengan para sufi dan sempat menjalani kehidupan zahid, sambil mendalami kajian tasawuf. Setelah itu al-Suhrawardi menetap di Aleppo atas undangan pangeran Malik al-Zhahir, seorang putra Shalahuddin al-Ayyubi yang dikatakan tertarik dengan ide dan fikiran-fikiran al-Suhrawardi yang mengkonstruksi bangunan filosofis besar kedua dalam Islam, yaitu aliran illuminasionis yang menjadi tandingan dari aliran peripatetis yang lebih dahulu lahir.
Kesuksesan al-Suhrawardi dalam membangun aliran illuninasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam terhadap ilmu tasawuf dan filsafat, di kala itu al-Suhrawardi dikenal mempunyai kecerdasan yang tinggi, hal ini terbukti tatkala tidak ada satu orang pun yang menandinginya di antara teman-temannya dalam hal pemikiran dalam dunia Islam. Bahkan A. Mustofa mengisahkan dalam karyanya Filsafat Islam, bahwa pengetahuan al-Suhrawardi dalam bidang filsafat begitu mandalam. Kitab Thabaqat al-Athibba juga menyebutkan al-Suhrawardi sebagai seorang tokoh di masanya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai kajian filsafat, memahami kajian usul fiqh, memiliki kecerdasan yang tinggi, dan ungkapan-ungkapannya begitu fasih.
3. Karya
Menurut Hasyimsyah, al-Suhrawardi menulis tidak kurang dari 50 karya dalam bahasa Arab dan Persia. Sebagaimana yang dikutip oleh Hasyimsyah dari pengelompokkan karya-karya al-Suhrawardi oleh Seyyed Hossein Nasr ke dalam lima bagian, yaitu: (1). Tentang pengajaran dan kaidah teosofi yang merupakan tafsiran dan modifikasi dari filsafat peripatetis, di antaranya: Talwihat, Muqawamat, Mutharahat, dan Hikmat al-Isyraq. (2). Karangan sederhana tentang filsafat, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia, di antaranya: Hayakil al-Nur, al-Alwah al-‘Imadiyah, Partaw-namah, Fi l’itiqad al- Hukama’, al-Lamahat, Yazdan Syinakht, dan Bustan al-Qulub. (3). Karya pendek yang berbau mistis, yang umumnya ditulis dalam bahasa Persia, di antaranya: ‘Aql-i Surkh, Awaz-i Par-i Jibra’il, al-Ghurbat al-Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al-Thifuliyah, Ruzi bajama’at-i Shyufiyan, Risalah fi al-Mi’raj, dan Syafir-i Simurgh. (4). Karya yang berupa komentar dan terjemah dari ajaran-ajaran keagamaan dan filsafat terdahulu, di antaranaya: Risalah al-Thair karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya Ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-‘Isyqi, yang berpusat pada risalah Ibn Sina Fi al-Isyqi; serta beberapa tafsir al Quran dan Hadits Nabi. (5). Karya yang berupa kumpulan doa-doa yang lebih terkenal dengan sebutan al-Waridat wa al-Taqdisat.
Di antara karya-karya di atas, karya al-Suhrawardi yang paling monumental adalah Hikmat al-Isyroq, yang berisi pendapat dan pemikiran dia tentang tasawuf isyraqi (iluminatif), dan ini merupakan karyanya yang paling penting dalam menguraikan alirannya.
III. Pemikiran
Al-Suhrawardi mendalami Hikmah Persia dan Filsafat Yunani, dia mengambil jalan tasawuf dalam ilmu dan amal dan melatih dirinya dengan riyadhoh dan mujahadah sehingga dia sampai pada tujuannya membangun Hikmah al-Isyroq yang juga dinamakan Ilmu Cahaya-cahaya. Al-suhrawardi mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak didapat dengan akal pada mulanya, akan tetapi pengetahuan itu dihasilkan dari perkara lain yaitu dzauq (rasa).
Hikmah al-Isyroq yang merupakan kitab yang paling penting peninggalan al-Suhrawardi berisi tentang buah fikir dan pendapatnya, dengan jelas dalam bab ke dua kitab ini menjelaskan secara luas tentang cahaya ketuhanan, di sana dia menjelaskan tentang cahaya itu sendiri dan hakikatnya, dan juga menjelaskan Nurul al-Anwar yaitu Allah SWT beserta tanda-tanda dan alam semesta yang bersumber dari-Nya, yang sebelumnya diterangkan pada bab pertama kitab ini tentang ilmu mantiq (logika).
Inti ajaran filsafat isyroqiyyah yang dibawa al-Suhrawardi adalah sumber segala sesuatu yang ada (al-maujudat) adalah Nur al-Anwar (Cahaya Segala Cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan melalui penyinaran, oleh karena itu mempunyai tingkatan-tingkatan pancaran cahaya. Manusia juga diciptakan melalui proses pancaran dari Nur al-Anwar yaitu Tuhan yang abadi. Penyinaran manusia menyerupai proses emanasi (al-faid) dalam filsafat al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M). Dengan demikian Tuhan dan manusia mempunyai hubungan timbal balik, dan dari paradigma seperti ini dimungkinkan terjadinya persatuan antara manusia dan Tuhan (ittihad).
Dalam bukunya Filsafat Islam, Hasyimsyah memaparkan dengan cukup jelas tentang pemikiran filsafat al-Suhrawardi dan mengelompokkannya dalam beberapa bagian.
Al-Suhrawardi sering menggunakan istilah-istilah yang berbeda dengan yang biasa digunakan di kalangan umum, seperti barzah, yang tidak berkaitan dengan kematian atau alam setelah mati. Istilah ini digunakan sebagai pemisah antara dunia cahaya dan dunia kegelapan.
Timur (Masriq) dan Barat (Maghrib), tidak berhubungan dengan letak geografis, tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang terbebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat diartikan sebagai Dunia Kegelapan atau Materi. Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dan sedikit kegelapan. Timur yang sebenarnya adalah apa yang terdapat di balik langit yang kelihatan ini, dan yang di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat bukanlah falak bulan, sebagaimana dalam filsafat Aristotelian, tetepi ia adalah langit bintang-bintang yang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.
a. Metafisika dan Cahaya
Suatu bangunan ilmu tidak hadir secara tiba-tiba dan langsung sempurna, semua itu membutuhkan proses yang cukup lama untuk menjadi sempurna. Begitu pula dengan iluminasionisme yang dibangun al-Suhrawardi yang pada mulanya berawal dari kebijakan universal dan perenial, yang awalnya diwahyukan kepada Hermes (yang disamakan dengan sumber-sumber Muslim dari Idris atau Nuh yang termaktub di dalam al Quran) kemudian menurun melalui rantai yang bersambung terus kepada al Busthami, al Hallaj, dan mencapai puncaknya di tangan al-Suhrawardi.
Inti filsafat Illuminasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, hal ini didasarkan pada QS. Al-Nur ayat 35: Allah Nur al-Samawat wa al-Ardhi Allah menyebut dirinya sebagai cahaya langit dan bumi.
Yang dimaksudkan cahaya oleh al-Suhrawardi bersifat Immaterial dan tidak dapat didefinisikan, karena sesuatu yang “terang” tidak perlu definisi, dan cahaya adalah entitas yang paling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, sebagai sesuatu yang esensial dari padanya. Karena itu, esensi cahaya adalah manifestasi.
b. Epistemologi
Dalam kajian epistemologi al-Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles. Menurut Aristoteles, definisi adalah genus plus differensia. Tapi al-Suhrawardi berpendapat bahwa atribut khusus hal yang terdefinisikan, yang tidak dapat dipredikatkan kepada hal yang lain, mengakibatkan kita tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Suatu contoh, kita mendefinisikan kuda sebagai seekor binatang ”meringkik”, sekarang kita mengerti hewan, karena kita mengetahui banyak hewan yang memiliki atribut seperti ini; tetapi tidak mungkin untuk mengerti atribut meringkik, karena meringkik didapati hanya pada benda yang didefinisikan dengan sifat meringkik itu. Definisi biasa kuda, dengan definisi yang tadi, akan menjadi tidak bermakna apabila dihadapkan kepada orang yang belum pernah melihat seekor kuda. Maka, definisi Aristoteles sebagai suatu prinsip ilmiah benar-benar tidak berlaku. Al-Suhrawardi berpendapat bahwa suatu definisi yang benar adalah definisi yang menyebutkan satu persatu semua atribut yang esensial, yang secara kolektif ada pada benda yang didefinisikan itu, walaupun atribut-atribut itu bisa saja dengan sendirinya terdapat pada banda yang lain.
c. Kosmologi
Al-Suhrawardi memiliki pandangan dalam bidang kosmologi yang berbeda dengan apa yang dianggap oleh para ahli sebagai berasal dari para filsuf lain, menurut al-Suhrawardi , hal itu adalah berasal dari pandangan dunia yang dibangun Avicenna. Ia menyatakan persetujuannya akan tetapi ia juga berusaha dengan mengutip Kitab Suci atau inti ajaran tasawuf.
Alam semesta merupakan pancaran abadi dari sumber yang pertama. Dalam tambahan mengenai esensi yang bukan materi (cahaya), adalah hal yang tidak dapat ditentukan yang pernah kita lihat, merupakan sesutau yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada materi yang secara langsung berasal dari Cahaya Utama atau secara tidak langsung dari sinaran Cahaya Tuhan.
Segala yang “bukan cahaya” disebut sebagai “Kualitas Mutlak” atau “Materi Mutlak”. Ini merupakan aspek lain penegasan atas cahaya, dan bukan merupakan sebuah prinsip mandiri sebagaimana yang dianggap secara salah oleh pengikut Aristoteles. Fakta membuktikan bahwa unsur-unsur primer yang lain menjadi satu, merujuk kepada materi absolut; dasar yang mempunyai berbagai tingkat besarnya, membentuk berbagai macam lingkaran materi. Ada dua bagian landasan mutlak semua benda, yaitu:
1. Yang berada di luar ruang -- atom-atom atau substansi yang tidak terang (esensi-esensi menurut kelompok Asy’ari).
2. Yang mesti di dalam ruang – bentuk-bentuk kegelapan, misalnya: berat, bau, rasa, dan sebagainya.
Semua yang bukan cahaya dibagi menjadi dua:
1. Kekal abadi, misalnya: intelek, jiwa dari benda-benda angkasa, langit, unsur-unsur tunggal, waktu, dan gerak.
2. Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur. Gerak langit itu adalah abadi, dan membuat berbagai siklus Alam Semesta. Ini disebabkan oleh kerinduan kuat jiwa langit untuk menerima penerangan dari sumber segala cahaya.
Dikatakan bahwa ada dua hal yang abadi yaitu Tuhan dan alam, akan tetapi al-Suhrawardi tetap membedakanya. Alam semesta merupakan manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan esensial Cahaya Pertama.
Al-Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat:
1. Alam Akal-akal (‘Alam al-‘Uqul).
2. Alam Jiwa-jiwa (‘Alam al-Nufus).
3. Alam Bentuk (‘Alam al-Ajsam).
4. Alam Mitsal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.
Tiga alam di atas sudah sering diperbincangkan oleh para filsuf sebelumnya, sedangkan alam ke empat ini merupakan inovasi baru yang ditemukan al-Suhrawardi dengan jalan mujahadah dan musyahadah secara berkelanjutan.
d. Psikologi
Dalam masalah jiwa, al-Suhrawardi setuju dengan pandangan Ibn Sina, bahwa jiwa manusia tidak dapat dipandang sudah ada sebelum keberadaan fisiknya. Hubungan antara penerangan abstrak, atau hubungan antara jiwa dan tubuh, bukanlah suatu hubungan sebab akibat; ikatan kesatuan antara materi adalah cinta. Tubuh yang merindukan penerangan, menerima penerangan melalui jiwa; dikarenakan sifatnya yang tidak mengizinkan suatu komunikasi langsung antarra sumber cahaya dan dirinya sendiri. Tetapi jiwa tidak dapat menyampaikan sinar yang diterima secara langsung kepada benda padat yang gelap (tubuh), karena memang berbeda antara jiwa dan tubuh.
Oleh karena itu untuk tercapainya hubungan antara satu sama lain, maka dibutuhkan media lain yang berdiri di tengah antara terang dan gelap, yaitu jiwa hewani, yang berupa asap transparan, halus, dan panas yang bertempat di rongga kiri jantung, namun menyebar juga ke seluruh bagian tubuh.
IV. Penutup
Sebuah simpulan dari sedikit uraian tentang al-Suhrawardi di atas, kita semakin mengetahui bahwa dia adalah seorang tokoh filsuf muslim besar yang membangun aliran iluminasi sebagai tandingan dari aliran peripatetis yang terlebih dahulu mendahuluinya. Hal ini dilakukan al-Suhrawardi dalam rangka memadukan antara ajaran tawasuf dengan filsafat. Pandangan dia bahwa pengetahuan itu bukan hanya diperoleh dari hasil akal semata, akan tetapi dari rasa (dzauq) yang awalnya ditempuh dengan jalan mujahadah dan musyahadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar