POTONG
TANGAN BAGI PENCURI
Al-Maidah Ayat:38

Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Abdurrahman al-Jaziri berkata, “Hukum
had atas pencurian telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan
para ulama. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya
yang mulia. Dia Subhanahu
Wa Ta'ala telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik
laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka, muslim atau non muslim guna
melindungi dan menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada
zaman jahiliyah sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla
menetapkannya dan menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [Kitab
Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân al-Jazirî, : 5/153].
Seorangpun tidak boleh memaafkan
pelakunya, baik orang yang dicuri hartanya atau hakim. Demikian pula hukuman
itu tidak boleh diganti dengan hukuman yang lain yang lebih ringan, diakhirkan
pelaksanaannya atau ditiadakan. Jika dia mencuri lagi setelah itu maka dipotong
kaki (kiri)nya. Jika dia mencuri untuk ketiga kalinya maka tangan kirinya
dipotong dan jika masih mengulang lagi maka kaki kanannya dipotong. Jika
setelah itu masih belum jera dan mencuri lagi maka dia di-ta’zir dan dipenjara
sebagaimana yang dikatakan Syafi’i dan yang lainnya.
Apabila harta yang dicuri masih ada,
maka dikembalikan kepada pemiliknya, ini adalah madzhab Syafi’i, Ahmad Dan
Ishaq. Jika telah rusak di tangan pencuri, maka ia menanggung gantinya dan
dipotong tangannya, salah satu dari keduanya tidak menghalangi yang lainnya
dalam melaksanakan hukuman.
Adapun sifat-sifat yang harus dipenuhi
pada orang yang berhak mendapat hukuman adalah mukallaf, pelaku pencuri itu
seorang yang baligh, berakal dan tidak dipaksa dalam pencurian itu serta tidak
ada kerancuan pada sesuatu yang dicurinya. Karena itu seorang ayah dan ibu
tidak dipotong tangannya ketika mencuri harta anaknya. Seperti itu juga seorang
anak tidak dipotong tangannya ketika mencuri harta kedua orang tuanya atau
salah satunya, demikian pula tidak dipotong tangan seorang yang mencuri harta
itu dari kalangan tiang-tiang nasabnya baik ke atas maupun ke bawah. Nasab ke
atas seperti ayah, kakek dan seterusnya ke atas, sedangkan yang ke bawah
seperti anak, cucu dan seterusnya ke bawah.
Adapun dari kalangan kerabat yang lain
seperti saudara laki-laki, paman dan saudara perempuan… maka Imam Malik,
Syafi’i, Ahmad dan Ishaq menyatakan dipotong tangannya jika salah seorang dari
mereka mencuri, adapun seorang pelayan yang membantu majikannya maka tidak
dipotong tangannya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “(Hal ini) sebagaimana
mencuri harta yang mana pencuri itu ikut memilikinya, juga seperti seorang yang
mencuri harta rampasan perang di mana si pencuri juga memiliki hak di dalamnya,
atau harta itu milik kedua orang tuanya atau majikannya dan ini adalah madzhab
mayoritas ulama.”
Tidak dipotong tangan seorang yang
mencuri hartanya orang yang hutang yang lambat melunasi atau yang mengingkari
hutangnya. Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memotong tangan orang yang mencuri khamr,
babh dan alat-alat musik karena bukan termasuk perkara yang boleh disimpan,
dimiliki atau dijual. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan bahwa jika air
dicuri maka tidak dipotong tangan pencurinya, karena termasuk perkara yang
boleh dhmiliki oleh siapapun secara adat dan tidak saya ketahui adanya
perbedaan pendapat di dalamnya.
Nisab (kadar harta yang dicuri yang
pencurinya berhak dipotong tangannya) adalah 1/4 dinar 3 dirham atau harta
dagangan senilai 3 dirham. Meskipun denda tangannya sendiri hanya 500 dinar,
tetapi karena ia berkhianat maka hinalah dirinya sehingga dipotonglah tangan
itu karena pencurian dalam kadar harta seperti ini, sementara nilai serta kadar
harta yang dicuri dihitung sesuai hari di mana pencurian itu dilakukan.
Demikianlah menurut Imam Malik, Syafi’i dan Hambali. Jika sekelompok orang
mencuri kadar harta yang mana jika harta itu dibagikan di antara mereka
-masing-masing mendapatkan sejumlah harta yang dengan itu mereka berhak
dipotong tangannya- maka mereka semua dipotong tangannya berdasarkan
kesepakatan ahli fiqih. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mereka juga wajib
dipotong tangannya jika kadar harta yang dicuri mencapai nisab.
Syarat penjagaan harta yang mewajibkan
dipotongnya tangan orang yang mencurinya, yaitu harta itu disimpan di suatu
tempat yang telah dipersiapkan untuk menjaganya seperti rumah, toko dan tempat
penumbuhan atau pengeringan biji. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak
ditegakkan hukuman potong tangan atas orang yang mencuri buah dari pohonnya dan
ditegakkan hukuman potong tangan atas orang yang mencurinya dari tempat
penumbuhan atau pengeringan biji.”
Tempat untuk menjaga harta itu
berbeda-beda keadaannya disebabkan perbedaan harta, dan kaidahnya mengikuti
adat manusia. Seseorang harus menjaga pakaian dan alas tidur yang dipakainya
untuk tidur, baik di dalam masjid atau di luarnya. Ahli fiqih mensyaratkan
bahwa harta yang dicuri itu disimpan di dalam kantong atau di bawah kepala
pemiliknya. Sekelompok ulama berpendapat bahwa tangan pencopet itu dipotong secara
mutlak -baik dia memasukkan tangannya ke dalam kantong kemudian mengeluarkan
harta itu atau merobeknya sehingga jatuhlah harta itu dan dia mengambilnya,
demikian ini pendapat Imam Malik, Auza’i, Al-Hasan, Ibnul Mundzir, Abu Tsur dan
Ya’qub rahimahullah.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad dalam
salah satu riwayatnya yang kuat serta shahabat-shahabat Syafi’i, hukuman tidak
dilaksanakan kecuali jika pemilik harta menuntut ditegakkannya hukuman dan
ditetapkan berdasarkan persaksian 2 orang yang adil atau berdasarkan pengakuan
si pencuri.
KESIMPULAN
Hukum
potong tangan dilaksanakan dalam sebuah pemerintahan Islam yang telah menjamin
kemakmuran rakyatnya. Termasuk hal tersebut berlakunya sistem distribusi
kekayaan seperti zakat, shodaqoh, dan lain-lain. Dalam sebuah kondisi
masyarakat demikian, maka aksi pencurian terhadap harta orang lain jelas tidak
beralasan.
Ahli
kejiwaan pun akan sepakat bahwa pencurian pada masa kemakmuran dan mudahnya
mencari pekerjaan halal, lebih banyak didukung oleh nafsu dan kelainan mental
daripada kebutuhan hidup. Maka dalam kondisi demikian hukum potong ditetapkan
sebagai shock therapy yang berfungsi sebagai edukasi, sanksi, tindakan
preventif, dan menjamin keamanan secara meluas. Sedangkan persyaratan
pelaksanaannya pun diatur dengan berbagi syarat dan diharuskan berdasarkan
penyidikan dan penyelidikan yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar