Selasa, 05 April 2016

hukum potong tangan dalam islam bagi pencuri

POTONG TANGAN BAGI PENCURI

Al-Maidah Ayat:38



Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Abdurrahman al-Jaziri berkata, “Hukum had atas pencurian telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya yang mulia. Dia Subhanahu Wa Ta'ala  telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka, muslim atau non muslim guna melindungi dan menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla menetapkannya dan menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [Kitab Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân al-Jazirî, : 5/153].
Seorangpun tidak boleh memaafkan pelakunya, baik orang yang dicuri hartanya atau hakim. Demikian pula hukuman itu tidak boleh diganti dengan hukuman yang lain yang lebih ringan, diakhirkan pelaksanaannya atau ditiadakan. Jika dia mencuri lagi setelah itu maka dipotong kaki (kiri)nya. Jika dia mencuri untuk ketiga kalinya maka tangan kirinya dipotong dan jika masih mengulang lagi maka kaki kanannya dipotong. Jika setelah itu masih belum jera dan mencuri lagi maka dia di-ta’zir dan dipenjara sebagaimana yang dikatakan Syafi’i dan yang lainnya.
Apabila harta yang dicuri masih ada, maka dikembalikan kepada pemiliknya, ini adalah madzhab Syafi’i, Ahmad Dan Ishaq. Jika telah rusak di tangan pencuri, maka ia menanggung gantinya dan dipotong tangannya, salah satu dari keduanya tidak menghalangi yang lainnya dalam melaksanakan hukuman.
Adapun sifat-sifat yang harus dipenuhi pada orang yang berhak mendapat hukuman adalah mukallaf, pelaku pencuri itu seorang yang baligh, berakal dan tidak dipaksa dalam pencurian itu serta tidak ada kerancuan pada sesuatu yang dicurinya. Karena itu seorang ayah dan ibu tidak dipotong tangannya ketika mencuri harta anaknya. Seperti itu juga seorang anak tidak dipotong tangannya ketika mencuri harta kedua orang tuanya atau salah satunya, demikian pula tidak dipotong tangan seorang yang mencuri harta itu dari kalangan tiang-tiang nasabnya baik ke atas maupun ke bawah. Nasab ke atas seperti ayah, kakek dan seterusnya ke atas, sedangkan yang ke bawah seperti anak, cucu dan seterusnya ke bawah.
Adapun dari kalangan kerabat yang lain seperti saudara laki-laki, paman dan saudara perempuan… maka Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq menyatakan dipotong tangannya jika salah seorang dari mereka mencuri, adapun seorang pelayan yang membantu majikannya maka tidak dipotong tangannya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “(Hal ini) sebagaimana mencuri harta yang mana pencuri itu ikut memilikinya, juga seperti seorang yang mencuri harta rampasan perang di mana si pencuri juga memiliki hak di dalamnya, atau harta itu milik kedua orang tuanya atau majikannya dan ini adalah madzhab mayoritas ulama.”
Tidak dipotong tangan seorang yang mencuri hartanya orang yang hutang yang lambat melunasi atau yang mengingkari hutangnya. Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memotong tangan orang yang mencuri khamr, babh dan alat-alat musik karena bukan termasuk perkara yang boleh disimpan, dimiliki atau dijual. Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan bahwa jika air dicuri maka tidak dipotong tangan pencurinya, karena termasuk perkara yang boleh dhmiliki oleh siapapun secara adat dan tidak saya ketahui adanya perbedaan pendapat di dalamnya.
Nisab (kadar harta yang dicuri yang pencurinya berhak dipotong tangannya) adalah 1/4 dinar 3 dirham atau harta dagangan senilai 3 dirham. Meskipun denda tangannya sendiri hanya 500 dinar, tetapi karena ia berkhianat maka hinalah dirinya sehingga dipotonglah tangan itu karena pencurian dalam kadar harta seperti ini, sementara nilai serta kadar harta yang dicuri dihitung sesuai hari di mana pencurian itu dilakukan. Demikianlah menurut Imam Malik, Syafi’i dan Hambali. Jika sekelompok orang mencuri kadar harta yang mana jika harta itu dibagikan di antara mereka -masing-masing mendapatkan sejumlah harta yang dengan itu mereka berhak dipotong tangannya- maka mereka semua dipotong tangannya berdasarkan kesepakatan ahli fiqih. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mereka juga wajib dipotong tangannya jika kadar harta yang dicuri mencapai nisab.
Syarat penjagaan harta yang mewajibkan dipotongnya tangan orang yang mencurinya, yaitu harta itu disimpan di suatu tempat yang telah dipersiapkan untuk menjaganya seperti rumah, toko dan tempat penumbuhan atau pengeringan biji. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak ditegakkan hukuman potong tangan atas orang yang mencuri buah dari pohonnya dan ditegakkan hukuman potong tangan atas orang yang mencurinya dari tempat penumbuhan atau pengeringan biji.”
Tempat untuk menjaga harta itu berbeda-beda keadaannya disebabkan perbedaan harta, dan kaidahnya mengikuti adat manusia. Seseorang harus menjaga pakaian dan alas tidur yang dipakainya untuk tidur, baik di dalam masjid atau di luarnya. Ahli fiqih mensyaratkan bahwa harta yang dicuri itu disimpan di dalam kantong atau di bawah kepala pemiliknya. Sekelompok ulama berpendapat bahwa tangan pencopet itu dipotong secara mutlak -baik dia memasukkan tangannya ke dalam kantong kemudian mengeluarkan harta itu atau merobeknya sehingga jatuhlah harta itu dan dia mengambilnya, demikian ini pendapat Imam Malik, Auza’i, Al-Hasan, Ibnul Mundzir, Abu Tsur dan Ya’qub rahimahullah.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang kuat serta shahabat-shahabat Syafi’i, hukuman tidak dilaksanakan kecuali jika pemilik harta menuntut ditegakkannya hukuman dan ditetapkan berdasarkan persaksian 2 orang yang adil atau berdasarkan pengakuan si pencuri.





KESIMPULAN
Hukum potong tangan dilaksanakan dalam sebuah pemerintahan Islam yang telah menjamin kemakmuran rakyatnya. Termasuk hal tersebut berlakunya sistem distribusi kekayaan seperti zakat, shodaqoh, dan lain-lain. Dalam sebuah kondisi masyarakat demikian, maka aksi pencurian terhadap harta orang lain jelas tidak beralasan.
Ahli kejiwaan pun akan sepakat bahwa pencurian pada masa kemakmuran dan mudahnya mencari pekerjaan halal, lebih banyak didukung oleh nafsu dan kelainan mental daripada kebutuhan hidup. Maka dalam kondisi demikian hukum potong ditetapkan sebagai shock therapy yang berfungsi sebagai edukasi, sanksi, tindakan preventif, dan menjamin keamanan secara meluas. Sedangkan persyaratan pelaksanaannya pun diatur dengan berbagi syarat dan diharuskan berdasarkan penyidikan dan penyelidikan yang memadai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar