BAB I
Pendahuluan
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Dalam Kehidupan
manusia Proses kehidupan dan Alam menciptakan suatu kebudayaan, Proses
kehidupan yang keras akan membentuk budaya yang keras, namun tidak menutup
kemungkinan dapat pula menjadi budaya yang lembut, begitupun sebaliknya. Alam
sebagai tempat tinggal dan Objek dari aktivitas manusia dapat mempengaruhi
kebiasaan – kebiasaan dalam mempertahankan kehidupan, sehingga dapat
mempengaruhi Budaya manusia, baik itu seperti Bahasa, Mata Pencarian, dan lain
sebagainya.
Budaya sebagai
yang merupakan Kebiasaan – kebiasaan hidup Manusia dan mejadi Noma atau Nilai –
nilai kehidupan baik itu berbentuk positif maupun negatif sangat berperan
penting bagi peradaban manusia. Dan Budaya dengan sendirinya kita sadari ialah
merupakan sutau hal yang sangat penting bagi suatu kelompok manusia, sebagai
identitas, bahkan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jambi, salah
satu provinsi diindonesia yang berdiri pada 6 Januari 1957 merupakan daerah yang memiliki budaya
bervariatif, sejak zaman kesultanan, Belanda bahkan setelah Kemerdekaan RI. Jambi
yang dahulu merupakan tapak pembangunan kerajaan baru Bagi Orang Kayo hitam pada masa kerajaan Sriwijaya
terkontaminasi oleh Budaya Melayu, Arab, Budhhais, dan lainnya. Dan Budaya
tersebut dapat berbaur sehingga menjadi Norma yang utuh dalam Proses Kehidupan
pada Masa tersebut hingga saat ini.
Berbicara mengenai Kebudayaan, merupakan hal yang terkait
dengan kulturalisme, yang mampu mennimbulkan doktrin – doktrin dengan
sendirinya pada setiap individu dalam suatu kelompok, sebagai Masyarakat
indonesia yang majemuk, untuk menghindari konflik Sosial maka perlu kita
memahami lebih mendasar mengenai Budaya dan Seajarah suatu daerah, sehingga
kita mampu menarik suatu kesimpulan. Adapun dalam makalah ini saya menyajikan
mengenai Sejarah dan Budaya bumi Sepucuk Jambi sembilan lurah, guna menanamkan nilai – nilai Sejarah serta Orientasi dalam
pengimplementasian Multikulturalisme
dalam kehidupan berbangsa.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
Adapun masalah
yang akan dibahas adalah seputar Pengetahuan tentang Sejarah dan Budaya Daerah
Jambi, yang meliputi dari Sejarah Berdirinya Jambi serta Budaya Masyarakat
Jambi.
C.
PEMBATASAN
MASALAH
Adapun didalam
pembahasan yang akan didiskusikan tidak keluar dan menyimpang dari semua yang
ada tertulis didalam makalah ini yang ruang lingkupnya hanya seputar Pengetahuan
Sejarah dan Budaya Jambi.
Bab II
Pembahasan
A.
MASA
KESULTANAN JAMBI
Di Pulau
Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901).
Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan
Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 awal 7 M berdiri KERAJAAN MALAYU (Melayu
Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan
Dinasti Tang mengatakan bahwa awak Abad 7 M. dan lagi pada abad 9 M Jambi
mengirim duta/utusan ke Empayar China ( Wang Gungwu 1958;74). Kerajaan ini
bersaing dengan SRI WIJAYA untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang
lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya merasa
terdesak sehingga perlu menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri
Wijaya. Muaro jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu
bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang
berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan
kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku
tentang ziarah Budha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah
menjadi bahagian Sri Wijaya.
Abad ke 11 M
setelah Sri Wijaya mulai pudar, ibu negeri dipindahkan ke Jambi ( Wolters 1970:2 ). Inilah KERAJAAN MALAYU
(Melayu Muda) atau DHARMASRAYA berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar
yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan.
Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari
Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket ( Hirt & Rockhill 1964;
60-2 ). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai
kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan
Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama
Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat
kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan
menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15, Islam mulai menyebar ke
Nusantara.
1.
Tanah Pilih
Tanah Pilih Pesako Betuah. Seloka ini tertulis
di lambang Kota Jambi hari ini. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat
Melayu Jambi, Kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat
Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disitu, ia membangun
pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan
menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak.
Mereka dikaruniai Allah 4 anak, semuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala
tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk
meluaskan wilayah hingga ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan
baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri
Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah
sepasang Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut
dipesankan agar mengikuti aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna
mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai
tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana sepasang Angsa bawaan tadi
mahu naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.
Setelah
beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua Angsa naik ke darat di sebelah
hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan
amanah mertuanya maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai
beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut “Tanah Pilih”, dijadikan sebagai pusat
pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.
2.
Asal Nama Jambi
Jambi
berasal dari kata Jambe dalam bahasa
Jawa yang bererti Pinang. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak
pembangunan kerajaan baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran
sungai Batanghari dan terkait dengan sebuah legenda yang hidup dalam
masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak
,
sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
3. Penduduk Asli
Penduduk asli
Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu,
Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama
merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di
sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau
Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih
dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan merupakan
keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke
Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini merupakan
keturunan dari percampuran suku Wedda
dengan suku Negrito, yang kemudian
disebut sebagai suku Weddoid.
Orang Anak
Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan "jinak"
diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal
yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut
"liar" adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak
memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta
komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku
bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang
mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan
rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala
desa (Rio), dan tua-tua tengganai (dewan desa).
Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
hidup masyarakat desa.
4.
Strata Sosial
masyarakat di
Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial
dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah
atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam
masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang "kabur" untuk
menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung.
5.
Pakaian
Pada awalnya
masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa
lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan,
pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang
yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria
mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya
berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan
sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
6.
Kesenian
Di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari,
Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.
7.
Upacara adat
Upacara yang
masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa
Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak
betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian
8.
Filsafat
Hidup
Filsafat Hidup Masyarakat Setempat :
Sepucuk jambi sembilan lurah.
9.
Keris Siginjai
Hubungan
Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang
mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris
bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi.
Keris itu dinamakan Keris Siginjai. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan
berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki
secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun keris Siginjai
tidak hanya sekadar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang
pemersatu rakyat Jambi.
Sultan
terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada
awal abad ke 20. Selain keris Siginjai ada sebuah keris lagi yang dijadikan
mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu
(Putra Mahkota). Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha
yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai
tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai
dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).
10. Sepucuk
Jambi Sembilan Lurah
Seloka ini
tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah Kesultanan
Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala pemerintahan Orang Kayo
Hitam, yaitu : VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam, Awin,
Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan
Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang),
masing-masing bernama yaitu :
1. Batang Asai
2. Batang Merangin
3. Batang Masurai
4. Batang Tabir
5. Batang Senamat
6. Batang Jujuhan
7. Batang Bungo
8. Batang Tebo,dan
9. Batang Tembesi.
11. Kesultanan
Jambi (1790-1904)
1790 – 1812 Masa Badruddin bin
Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad
1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad
1904 Dihancurkan Belanda
1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad
1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad
1904 Dihancurkan Belanda
B.
MASA
KOLONIAL ( RESIDEN BELANDA )
Dengan
berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin
tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah
Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam
wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang
diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur
Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei
1906 dan pelantikannya dilaksanakan
tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan
Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan
kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada Masa Kolonial, Residen Belanda di Jambi
adalah :
1.
O.L. Helfrich (1906-1908)
2.
A.J.N Engelemberg (1908-1910)
3.
Th. A.L. Heyting (1910-1913)
4.
AL. Kamerling (1913-1915)
5.
H.E.C. Quast (1915 – 1918)
6.
H.L.C Petri (1918-1923)
7.
C. Poortman (1923-1925)
8.
G.J. Van Dongen (1925-1927)
9.
H.E.K Ezerman (1927-1928)
10.
J.R.F Verschoor Van Niesse (1928-1931)
11.
W.S. Teinbuch (1931-1933)
12.
Ph. J. Van der Meulen
(1933-1936)
13.
M.J. Ruyschaver (1936-1940)
14.
Reuvers (1940-1942)
Tahun 1942 – 1945 Jepang masuk ke
Indonesia termasuk Jambi
- PADA MASA JEPANG
Harapan untuk merdeka dan hidup sejahtera semakin besar
ketika Jepang mendarat di Jambi. Rakyat tertipu dengan propaganda "Sang
Saudara Tua" yang mengatakan bahwa mereka akan memberi kemakmuran. Namun
janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan. Alih-alih mensejahterakan
rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam. Bahan pangan yang
dimiliki rakyat dirampas, dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Kegiatan
politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu
dimata-matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia
merdeka, tanggal 17 Agustus 1945.
Pada
masa pendudukan Jepang, Jambi merupakan suatu keresidenan (Djambi Sju)
di bawah pengawasan pemerintahan Angkatan Darat (Rikugun) Armada XXV.
D.
MASA
KEMERDEKAAN INDONESIA
Dan
pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945
diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi
tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai
ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan
ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia
Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan
Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi
Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra
Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera
Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan
pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk
ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian dengan undang-undang
nomor 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi
saat itu terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten
tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro
Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar
Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang
ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain
ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci
kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922
Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan
Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci
(PSK)
Tuntutan keresidenan Jambi menjadi daerah Tingkat I
Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin
Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA) Tanggal 10 April
1954 yang diserahkan langsung Kepada Bung Hatta Wakil Presiden di Bangko, yang
ketika itu berkunjung kesana. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih
500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci)
Keinginan tersebut diwujudkan kembali dalam Kongres
Pemuda se-Daerah Jambi 30 April – 3 Mei 1954 dengan mengutus tiga orang
delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat
delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad setelah itu bermunculan baik
oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Merangin, Batanghari. Puncaknya pada kongres rakyat Jambi 14-18 Juni 1955 di
gedung bioskop Murni terbentuklah wadah perjuangan Rakyat Jambi bernama Badan
Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan memperjuangkan Jambi
menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda se-daerah Jambi tanggal 2-5 Januari
1957 mendesak BKRD menyatakan Keresidenan Jambi secara de facto menjadi Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957
.
Sidang Pleno BKRD
tanggal 6 Januari 1957 pukul 02.00 dengan resmi menetapkan keresidenan Jambi
menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan
pemerintah pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku
penguasa pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih
pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada
tanggal 9 Januari 1957 menyetujui keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari 1957 Ketua Dewan Banteng Letkol
Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai acting Gubernur
dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan staff 11
orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan
Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad. Rd. Suhur,
Manan, Imron Nungcik dan Abd Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS.
tertanggal 8 Februari 1957 dan sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi
di halaman rumah Residen Jambi (kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus 1957 Presiden RI Ir. Soekarno
akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang
Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun
1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan
Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau. (UU tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1 hurup
b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah
Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta
Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61 tahun 1958 tersebut pada tanggal 19
Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin
gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst Doend DD Gubernur (residen yang
ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi dengan SK Nomor UP/5/8/4). Pejabat
Gubernur pada tanggal 30 Desember 1958 meresmikan berdirinya Provinsi Jambi
atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan
UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan
sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka
tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi
Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1
Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
Adapun nama Residen dan Gubernur Jambi adalah sebagai
berikut :
1.
Dr. Segaf Yahya (1945)
2.
R. Inu Kertapati (1945-1950)
3.
Bachsan (1950-1953)
4.
Hoesin Puang Limbaro (1953-1954)
5.
R. Sudono (1954-1955)
6.
Djamin Datuk Bagindo (1954-1957) -
Acting Gubernur
-
6 Januari 1957 BKRD menyatakan
Keresidenan Jambi menjadi Propinsi
-
8 Februari 1957 peresmian propinsi dan kantor
gubernur di kediaman Residen oleh Ketua Dewan Banteng. Pembentukan propinsi
diperkuat oleh Keputusan Dewan Menteri tanggal 1 Juli 1957, Undang-Undang Nomor
1 /1957 dan Undang-Undang Darurat Nomor 19/1957 dan mengganti Undang-Undang
tersebut dengan Undang-Undang Nomor 61/1958.
- Masa PROVINSI JAMBI
Wilayah propinsi Jambi hari ini
pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah mungkin agar sesuai
seloka adat tadi. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, yaitu :
1. Muara Jambi beribu kota di Sengeti
2. Bungo beribu kota di Muaro Bungo
3. Tebo beribu kota di Muaro Tebo
4. Sarolangun beribu kota di Sarolangun Kota
5. Merangin/Bangko beribu kota di Kota Bangko
6. Batanghari beribu kota di Muara Bulian
7. Tanjung Jabung Barat beribu kota di Kuala Tungkal
8. Tanjung Jabung Timur beribu kota di Muara Sabak
9. Kerinci beribu kota di Sungai Penuh
1. Muara Jambi beribu kota di Sengeti
2. Bungo beribu kota di Muaro Bungo
3. Tebo beribu kota di Muaro Tebo
4. Sarolangun beribu kota di Sarolangun Kota
5. Merangin/Bangko beribu kota di Kota Bangko
6. Batanghari beribu kota di Muara Bulian
7. Tanjung Jabung Barat beribu kota di Kuala Tungkal
8. Tanjung Jabung Timur beribu kota di Muara Sabak
9. Kerinci beribu kota di Sungai Penuh
Jika anda berkunjung ke Jambi,
pastikan anda mencoba Lempok & Kueh2 Durian, Mee Tek-Wan, Kopi Jambi, Batik
Jambi dan Songket Melayu Jambi. Semuanya tersedia di Pasar Besar Angso Duo,
Kota Jambi. Dan Gubernur Jambi yaitu :
1.
M. Joesoef Singedekane (1957-1967)
2.
H. Abdul Manap (Pejabat Gubernur
1967-1968)
3.
R.M. Noer Atmadibrata (1968-1974)
4.
Djamaluddin Tambunan, SH (1974-1979)
5.
Edy Sabara (Pejabat Gubernur 1979)
6.
Masjchun Sofwan, SH (1979-1989)
Drs. H. Abdurrahman Sayoeti (Wakil Gubernur)
7.
Drs. H. Abdurrahman Sayoeti (1989-1999)
Musa (Wakil Gubernur)
8.
DRS. H. Zulkifli Nurdin, MBA (1999-2006)
9.
DR.Ir.
H. Sudarsono H, SH, MA (Pejabat Gubernur 2006)
10.
Drs. H. Zulkifli
Nurdin, MBA (2006-2010)
Drs. H.
Antony Zeidra Abidin (Wakil Gubernur 2006-2010)
11.
Hasan Basri Agus
( Gubernur 2010 )
H.
Fachrori Umar ( Wakil Gubernur 2010 )
Bab
III
Kesimpulan
A.
SEJARAH
JAMBI
Jambi
berasal dari kata Jambe dalam bahasa
Jawa yang bererti Pinang. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak
pembangunan kerajaan baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai
Batanghari dan terkait dengan sebuah legenda yang hidup dalam
masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak
, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
Setelah Masa
Kesultanan Pada 1904 ( Thaha Safiuddin bin Muhammad ),
dan berjalan seiring Pemerintahan Belanda hingga pada masa kepemimpinan Reuvers
(1942) direbut Oleh Jepang yang masuk kejambi. Akhirnya pada 14 Agustus 1945
Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara
Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi
yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan
jabatan Gubernurnya.
Setelah
Masa Kemerdekaan, Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan
kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul
pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6
Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970
tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
B.
BUDAYA JAMBI
Jambi yang terdiri dari beberapa suku bangsa, antara
lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci,
Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan
pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang
bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari. Hingga hari ini
memiliki Budaya yang sangat Bervariatif, namun secara garis besarnya dapat kita
lihat berupa kehidupan Masyarakat yang Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala
desa (Rio), dan tua-tua tengganai (dewan desa );
pakaian sehari-hari yang sebelumnya berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan
tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian
sehari-hari yang dikenakan kaum wanita
berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup
kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung
pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa
bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini
dilengkapi dengan kopiah ; melaksanakan Upacara Adat dan Makanan Khas Berupa
Lempok & Kueh2 Durian, Mee Tek-Wan, Kopi Jambi, serta Batik Jambi
dan Songket Melayu Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar