Selasa, 05 April 2016

SEjarah dan budaya

BAB I
Pendahuluan
A.          LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam Kehidupan manusia Proses kehidupan dan Alam menciptakan suatu kebudayaan, Proses kehidupan yang keras akan membentuk budaya yang keras, namun tidak menutup kemungkinan dapat pula menjadi budaya yang lembut, begitupun sebaliknya. Alam sebagai tempat tinggal dan Objek dari aktivitas manusia dapat mempengaruhi kebiasaan – kebiasaan dalam mempertahankan kehidupan, sehingga dapat mempengaruhi Budaya manusia, baik itu seperti Bahasa, Mata Pencarian, dan lain sebagainya.
Budaya sebagai yang merupakan Kebiasaan – kebiasaan hidup Manusia dan mejadi Noma atau Nilai – nilai kehidupan baik itu berbentuk positif maupun negatif sangat berperan penting bagi peradaban manusia. Dan Budaya dengan sendirinya kita sadari ialah merupakan sutau hal yang sangat penting bagi suatu kelompok manusia, sebagai identitas, bahkan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jambi, salah satu provinsi diindonesia yang berdiri pada 6 Januari 1957 merupakan daerah yang memiliki budaya bervariatif, sejak zaman kesultanan, Belanda bahkan setelah Kemerdekaan RI. Jambi yang dahulu merupakan tapak pembangunan kerajaan baru Bagi Orang Kayo hitam pada masa kerajaan Sriwijaya terkontaminasi oleh Budaya Melayu, Arab, Budhhais, dan lainnya. Dan Budaya tersebut dapat berbaur sehingga menjadi Norma yang utuh dalam Proses Kehidupan pada Masa tersebut hingga saat ini.
Berbicara mengenai Kebudayaan, merupakan hal yang terkait dengan kulturalisme, yang mampu mennimbulkan doktrin – doktrin dengan sendirinya pada setiap individu dalam suatu kelompok, sebagai Masyarakat indonesia yang majemuk, untuk menghindari konflik Sosial maka perlu kita memahami lebih mendasar mengenai Budaya dan Seajarah suatu daerah, sehingga kita mampu menarik suatu kesimpulan. Adapun dalam makalah ini saya menyajikan mengenai Sejarah dan Budaya bumi Sepucuk Jambi sembilan lurah, guna menanamkan  nilai – nilai Sejarah serta Orientasi dalam pengimplementasian  Multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa.

B.        PERUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang akan dibahas adalah seputar Pengetahuan tentang Sejarah dan Budaya Daerah Jambi, yang meliputi dari Sejarah Berdirinya Jambi serta Budaya Masyarakat Jambi.
C.       PEMBATASAN MASALAH
Adapun didalam pembahasan yang akan didiskusikan tidak keluar dan menyimpang dari semua yang ada tertulis didalam makalah ini yang ruang lingkupnya hanya seputar Pengetahuan Sejarah dan Budaya Jambi.
















Bab II
Pembahasan
A.    MASA KESULTANAN JAMBI
Di Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 awal 7 M berdiri KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awak Abad 7 M. dan lagi pada abad 9 M Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China ( Wang Gungwu 1958;74). Kerajaan ini bersaing dengan SRI WIJAYA untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya. Muaro jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Budha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bahagian Sri Wijaya.
Abad ke 11 M setelah Sri Wijaya mulai pudar, ibu negeri dipindahkan ke Jambi      ( Wolters 1970:2 ). Inilah KERAJAAN MALAYU (Melayu Muda) atau DHARMASRAYA berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket                   ( Hirt & Rockhill 1964; 60-2 ). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15, Islam mulai menyebar ke Nusantara.

1.         Tanah Pilih
Tanah Pilih Pesako Betuah. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi hari ini. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, Kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disitu, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikaruniai Allah 4 anak, semuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar mengikuti aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana sepasang Angsa bawaan tadi mahu naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.
Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua Angsa naik ke darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan amanah mertuanya maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut “Tanah Pilih”, dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.
2.      Asal Nama Jambi
Jambi berasal dari kata Jambe dalam bahasa Jawa yang bererti Pinang. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari dan terkait dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak , sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam. 



3.      Penduduk  Asli
Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan meru­pakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud mem­perluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa su­ku ini merupakan keturunan dari per­campuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut seba­gai suku Weddoid.
Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan "ji­nak" diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tem­pat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Se­dangkan yang disebut "liar" adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pede­saan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarang­annya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup ma­syarakat desa.
4.      Strata Sosial
masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-­istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang "kabur" untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung.


5.      Pakaian
Pada awalnya masyarakat pede­saan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah.

6.      Kesenian
Di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.

7.      Upacara adat
Upacara yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian

8.      Filsafat Hidup
Filsafat Hidup Masyarakat Setempat : Sepucuk jambi sembilan lurah.
9.      Keris Siginjai
Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan Keris Siginjai. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya sekadar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.
Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada awal abad ke 20. Selain keris Siginjai ada sebuah keris lagi yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).
10.  Sepucuk Jambi Sembilan Lurah
Seloka ini tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala pemerintahan Orang Kayo Hitam, yaitu : VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam, Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing bernama yaitu :
1. Batang Asai
2. Batang Merangin
3. Batang Masurai
4. Batang Tabir
5. Batang Senamat
6. Batang Jujuhan
7. Batang Bungo
8. Batang Tebo,dan
9. Batang Tembesi.
11.  Kesultanan Jambi (1790-1904)
1790 – 1812 Masa Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad
1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad
1904  Dihancurkan Belanda

B.     MASA KOLONIAL ( RESIDEN BELANDA )

Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan  Keputusan Gubernur Jenderal Belanda  No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan  pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal  9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada Masa Kolonial, Residen Belanda di Jambi adalah :
1.         O.L. Helfrich (1906-1908)
2.         A.J.N Engelemberg (1908-1910)
3.         Th. A.L. Heyting (1910-1913)
4.         AL. Kamerling (1913-1915)
5.         H.E.C. Quast (1915 – 1918)
6.         H.L.C Petri (1918-1923)
7.         C. Poortman (1923-1925)
8.         G.J. Van Dongen (1925-1927)
9.         H.E.K Ezerman (1927-1928)
10.     J.R.F Verschoor Van Niesse (1928-1931)
11.     W.S. Teinbuch (1931-1933)
12.     Ph. J. Van der Meulen (1933-1936)
13.     M.J. Ruyschaver (1936-1940)
14.     Reuvers (1940-1942)
        Tahun 1942 – 1945 Jepang masuk ke Indonesia termasuk Jambi

  1. PADA MASA JEPANG
Harapan untuk merdeka dan hidup sejahtera semakin besar  ketika Jepang mendarat di Jambi. Rakyat tertipu dengan propaganda "Sang Saudara Tua" yang mengatakan bahwa mereka akan memberi kemakmuran. Namun janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan. Alih-alih mensejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam. Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas, dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa pendudukan Jepang, Jambi merupakan suatu keresidenan (Djambi Sju) di bawah pengawasan pemerintahan Angkatan Darat (Rikugun) Armada XXV.
D.    MASA KEMERDEKAAN INDONESIA

Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan  MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan  Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari Provinsi  Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah keresidenan  Jambi saat itu terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK)
Tuntutan keresidenan Jambi menjadi daerah Tingkat I Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA) Tanggal 10 April 1954 yang diserahkan langsung Kepada Bung Hatta Wakil Presiden di Bangko, yang ketika itu berkunjung kesana. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih 500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci)
Keinginan tersebut diwujudkan kembali dalam Kongres Pemuda se-Daerah Jambi 30 April – 3 Mei 1954 dengan mengutus tiga orang delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri  Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad setelah itu bermunculan baik oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Merangin, Batanghari. Puncaknya pada kongres rakyat Jambi 14-18 Juni 1955 di gedung bioskop Murni terbentuklah wadah perjuangan Rakyat Jambi bernama Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan memperjuangkan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda se-daerah Jambi tanggal 2-5 Januari 1957 mendesak BKRD menyatakan Keresidenan Jambi secara de facto menjadi Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957 .
Sidang  Pleno BKRD tanggal 6 Januari 1957 pukul 02.00 dengan resmi menetapkan keresidenan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku penguasa pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9 Januari 1957 menyetujui keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari 1957 Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai acting Gubernur dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan staff 11 orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan  Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad. Rd. Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS. tertanggal 8 Februari 1957 dan sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi di halaman rumah Residen Jambi (kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus 1957 Presiden RI Ir. Soekarno akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau. (UU tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1 hurup b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61 tahun 1958 tersebut pada tanggal 19 Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst Doend DD Gubernur (residen yang ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi dengan SK Nomor UP/5/8/4). Pejabat Gubernur pada tanggal 30 Desember 1958 meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
Adapun nama Residen dan Gubernur Jambi adalah sebagai berikut  :
1.         Dr. Segaf Yahya (1945)
2.         R. Inu Kertapati (1945-1950)
3.         Bachsan (1950-1953)
4.         Hoesin Puang Limbaro (1953-1954)
5.         R. Sudono (1954-1955)
6.         Djamin Datuk Bagindo (1954-1957) - Acting Gubernur
-           6 Januari 1957 BKRD menyatakan Keresidenan Jambi menjadi Propinsi
-           8 Februari 1957 peresmian propinsi dan kantor gubernur di kediaman Residen oleh Ketua Dewan Banteng. Pembentukan propinsi diperkuat oleh Keputusan Dewan Menteri tanggal 1 Juli 1957, Undang-Undang Nomor 1 /1957 dan Undang-Undang Darurat Nomor 19/1957 dan mengganti Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 61/1958.

  1. Masa PROVINSI JAMBI 
Wilayah propinsi Jambi hari ini pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah mungkin agar sesuai seloka adat tadi. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, yaitu :
1. Muara Jambi beribu kota di Sengeti
2. Bungo beribu kota di Muaro Bungo
3. Tebo beribu kota di Muaro Tebo
4. Sarolangun beribu kota di Sarolangun Kota
5. Merangin/Bangko beribu kota di Kota Bangko
6. Batanghari beribu kota di Muara Bulian
7. Tanjung Jabung Barat beribu kota di Kuala Tungkal
8. Tanjung Jabung Timur beribu kota di Muara Sabak
9. Kerinci beribu kota di Sungai Penuh
Jika anda berkunjung ke Jambi, pastikan anda mencoba Lempok & Kueh2 Durian, Mee Tek-Wan, Kopi Jambi, Batik Jambi dan Songket Melayu Jambi. Semuanya tersedia di Pasar Besar Angso Duo, Kota Jambi.  Dan Gubernur Jambi yaitu :
1.            M. Joesoef Singedekane (1957-1967)
2.            H. Abdul Manap (Pejabat Gubernur 1967-1968)
3.            R.M. Noer Atmadibrata (1968-1974)
4.            Djamaluddin Tambunan, SH (1974-1979)
5.            Edy Sabara (Pejabat Gubernur 1979)
6.            Masjchun Sofwan, SH (1979-1989)
         Drs. H. Abdurrahman Sayoeti  (Wakil Gubernur)
7.            Drs. H. Abdurrahman Sayoeti (1989-1999)
         Musa (Wakil Gubernur)
                     Drs. Hasip Kalimudin Syam (Wakil Gubernur)
8.            DRS. H. Zulkifli Nurdin, MBA (1999-2006)
                     Uteng Suryadiatna (Wakil Gubernur)
                     Drs. Hasip Kalimudin Syam (Wakil Gubernur)
9.            DR.Ir. H. Sudarsono H, SH, MA (Pejabat Gubernur 2006)
10.        Drs. H. Zulkifli Nurdin, MBA (2006-2010)
         Drs. H. Antony Zeidra Abidin (Wakil Gubernur 2006-2010)
11.        Hasan Basri Agus ( Gubernur 2010 )
         H. Fachrori Umar ( Wakil Gubernur 2010 )
Bab III
Kesimpulan

A.                                                          SEJARAH JAMBI
Jambi berasal dari kata Jambe dalam bahasa Jawa yang bererti Pinang. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari dan terkait dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak , sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam. 

Setelah Masa Kesultanan Pada 1904 ( Thaha Safiuddin bin Muhammad ), dan berjalan seiring Pemerintahan Belanda hingga pada masa kepemimpinan Reuvers (1942) direbut Oleh Jepang yang masuk kejambi. Akhirnya pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan  MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.

Setelah Masa  Kemerdekaan, Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
B.                                                           BUDAYA JAMBI
Jambi yang  terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari. Hingga hari ini memiliki Budaya yang sangat Bervariatif, namun secara garis besarnya dapat kita lihat berupa kehidupan Masyarakat yang Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dan tua-tua tengganai (dewan desa ); pakaian sehari-hari yang sebelumnya berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian  sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah ; melaksanakan Upacara Adat dan Makanan  Khas Berupa  Lempok & Kueh2 Durian, Mee Tek-Wan, Kopi Jambi, serta Batik Jambi dan Songket Melayu Jambi.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar