Islam adalah agama yang
sempurna. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya
adalah masalah pendidikan. Bahkan Islam adalah agama yang memperhatikan masalah
pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan porsi yang sangat besar. Bahkan
keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah merupakan
materi pendidikan dan ilmu pengetahuan yang luar biasa, yang tidak dimiliki
oleh agama-agama lain maupun ideologi-ideologi lain. Sejarah mencatata bahwa
bangsa Arab yang buta huruf, dengan pendidikan Islam yang khas, yang diterapkan
oleh Rasulullah saw., telah berubah menjadi bangsa pelopor yang telah mampu
menerangi dunia dan menjadi guru bagi dunia.
Dalam pergerakan kultural yang dilakukan oleh
para Ulama, guru-guru pengajar Al Quran dan As Sunnah, serta hukum-hukum
Syariah Islam, yang dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih satu abad, hampir
2/3 dunia lama telah mengenyam Islam sebagai agama, budaya, dan hukum, dan
khasanah pengetahuan yang baru: tsaqafah Islamiyah. Berbagai bangsa yang
beragam agama, adat-istiadat, dan sistem hukum dan perundangannya, menjadi satu
umat, satu bahasa, satu hukum, dan satu negara: Islam. Peradaban Islam pun
dikatakan sebagai jembatan peradaban yang telah berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan warisan Yunani sehingga dapat sampai kepada masa pencarahan
bangsa-bangsa Eropa sehingga menjadikan perkembangan yang luar biasa seperti
sekarang. Apa esensi pendidikan Islam, apa tujuannya, dan apa metodenya?
Tulisan ini mencoba menguraikannya.
1. Esensi
Pendidikan
Pendidikan adalah proses
transfer nilai, pandangan hidup yang paling mendasar (aqidah),
pemahaman-pemahaman hidup, dan berbagai pengetahuan yang menambah kesadaran
peserta didik akan pandangan dan pemahamannya akan kehidupan (mafahim anil
hayah) sehingga dia mampu mengambil jalan hidup yang benar, serta menambah kesadarannya
tentang berbagai pemahamannya tentang benda-benda dan sarana-sarana hidup
(mafahim anil asya) sehingga dia dapat meniti kehidupannya dengan benar.
Dengan demikian dalam
perspektif Islam, pendidikan adalah transfer nilai-nilai Islam yang bersumber dari
Al Quran dan As Sunnah, pandangan hidup Islam atau aqidah Islamiyah (keimanan),
dan berbagai pengetahuan Islam (al ma’arif al Islamiyah) seperti tafsir, ulumul
Qur’an, riwayat-riwayat hadits-hadits Nabi saw., ulumul hadits, fiqh, ushul
fiqh, bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu shorof, siroh Nabi saw, dan lain-lain yang
mempertebal pemahman para peserta didik sehingga tidak ada ide Islam yang lolos
dari format pikirannya yang diharapkan juga menjadi pengendali tingkah lakunya.
Selain itu, perlu berbagai ilmu pengetahuan dan serta ketrampilan teknologi
untuk menambah kemampuan para lulusannya menjalani hidup dengan tetap berpegang
kepada aqidah dan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah).
Diharapkan dengan proses
pendidikan Islam, para peserta didik dapat ditingkatkan optimalisasi akal
budinya sehingga mereka dapat mensyukuri nikmat Allah berupa pancaindera serta
kalbu yang dimilikinya (lihat QS. An Nahl 78) dan tidak terjatuh ke dalam
derajat yang lebih rendah dari binatang ternak. Allah SWT memperingatkan kita dengan
firman-Nya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al A’raf 179).
2. Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam adalah
membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai
aqidah dan cabang-cabangnya maupun hukum-hukum, baik yang pokok maupun yang
cabang. Islam telah mendorong agar manusia menuntut ilmu dan membekalinya
dengan pengetahuan. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. Az Zumar 9).
Dalam ayat ini Allah SWT
menjelaskan perbedaan kedudukan antara orang-orang yang berilmu pengetahuan
dengan orang-orang yang bodoh. Antara ilmu dan kebodohan itu masing-masing
memiliki martabat dan kedudukan di mata masyarakat. Tentu saja orang yang
berilmu pengetahuan menduduki tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang-orang yang tak berilmu pengetahuan. Lebih-lebih bilamana orang yang
berilmu pengetahua tadi juga beriman dan beramal shalih! Allah SWT menegaskan
bahwa Dia SWT memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap orang yang
beriman dan berilmu pengetahuan. Dia SWT berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. AL Mujadilah
11).
Rasulullah saw. mengabarkan
betapa tingginya kedudukan orang-orang yang berilmu (ulama) yang mendapatkan
kehormatan untuk memberikan syafaat bagi umat pada hari kiamat dengan idzin
Allah. Beliau saw. bersabda:
“Ada tiga golongan
yang akan meberikan syafaat (pertolongan di padang mahsyar) pada hari kiamat: (1) para
Nabi; (2) para ulama; dan para syuhada.” (HR. Ibnu Majah dari Utsman bin Affan,
lihat Fathul Kabir Jilid III hal 424).
Jelas dalam hadits di atas
ulama diletakkan pada nomor urut kedua, yakni setelah para Nabi, lebih dulu
daripada para syuhada, dalam hal memberikan syafaat dengan izin Allah SWT.
Dalam hadits yang lain
Rasululla saw. menerangkan bahwa orang yang bergiat mencari ilmu akan mendapat
fasilitas jalan ke sorga. Beliau saw. bersabda:
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu,
niscaya Allah akan memudahkan jalannya mencapai surga”.
Dan orang-orang yang
melalaikan dirinya dari pendidikan Islam mendapat ancaman dari Allah SWT. Al
Quran mengancam orang-orang yang telah memeluk Islam tapi tidak memahami islam
dan Al Quran. Allah SWT mencap mereka dengan lafazh jahiliyah. Dia SWT
befirman:
“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah
seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu
(hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu
seluruhnya di tangan Allah”. (QS. Ali Imran 154).
Dan dengan bekal ilmu-ilmu
Islam yang dimiliki secara sempurna, seorang muslim atau masyarakat muslim akan
steril dari ide-ide maupun hukum-hukum kufur. Mereka yang yakin kepada Islam
pastilah memandang Islam lebih tinggi dari yang lain dan hukum Islam lebih baik
daripada hukum jahiliyah (lihat QS. Al Maidah 50). Dengan pandangan ini mereka
hanya meresa qana’ah bila hukum yang mengatur interaksi di dalam kehidupan
masyarakat adalah hukum syariah Islam, dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka
tidak silau oleh kemajuan sains dan teknologi Barat. Mereka memandang sains dan
teknologi bersifat universal, bisa digali dan dimiliki oleh siapapun, bangsa
manapun, dan penganut agama atau ideologi apapun. Mengadopsi sains dan
teknologi Barat bukan berarti juga harus mengadopsi pemikiran, etika, hukum,
ekonomi, dan budaya barat yang terkategori jahiliyah dalam pandangan Islam.
Sains dan teknologi adalah alat dan kemudahan untuk dapat benar-benar menjalani
hidup, sedangkan peradaban dan budaya serta syariah Islam adalah satu-satunya
jalan hidup yang benar yang harus ditempuh oleh siapapun yang ingin selamat,
baik dengan sains dan teknologi maupun tidak.
3. Metode
Pendidikan
Untuk mencapai tujuan
pendidikan di atas dan mendapat esensi pendidikan tersebut, maka metode yang
dipakai adalah bukan sekedar transfer pengetahuan, tapi haruslah pembentukan
dan pembinaan kepribadian. Dalam hal ini, kepribadian bukanlah sekedar
pembentukan etika moral, tapi lebih luas dari itu.
Secara esensial, kepribadian
(syakhshiyyah) adalah tersusun dari pola berfikir (aqliyah) dan pola
pengendalian diri/jiwa (nafsiyyah). Untuk membentuk kepribadian, langkah
pertama yang harus ditempuh adalah menanamkan aqidah sebagai ide dasar (fikroh
asasiyah). Inilah batas dimana orang tergolong mukmin ataukah kafir. Jika
aqidah telah terbentuk melalui pendidikan, yakni melalui sentuhan-sentuhan akal
maupun perasaan, baik dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang menghubungkan
keimanan dengan realitas diri manusia dan alam sekitarnya, maupun dengan
uraian-uraian relitas yang dihubungkan dengan keimanan. Pada tahap ini
pembentukan kepribadian baru taraf fondasi.
Selanjutnya aqidah Islamiyah
yang dimiliki ditekadkan untuk senantiasa menjadi dasar berfikir dan memahami
kehidupan. (Aqliyah Islamiyah). Sebagai contoh, ketika di masa Nabi putra
beliau meninggal bersamaan dengan gerhana, lalu orang-orang menghubungkan bahwa
kejadian gerhana itu lantaran matinya Ibrahim. Nabi saw. membantah hal itu
dengan sabdanya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana lantaran hidup
dan matinya seseorang. Jika terjadi gerhana, maka sholatlah sampai hilang
gerhana itu”.
Aqidah Islamiyah juga mesti
ditekadkan untuk dipakai mengikat kehendak dan keinginan untuk berbuat,
sehingga perbuatan seseorang yang dilakukan terikat dengan pemahaman hidup yang
bersumber dari aqidah itu. Artinya, seorang yang telah tertanam dalam jiwanya
bahwa riba adalah perkara yang diharamkan Allah (lihat QS. Al Baqarah 275-279),
dia akan menolak bermuamalah riba sekalipun mendapatkan iming-iming bunga
(interest/riba) dan berbagai fasilitas yang menggiurkan.
Penutup
Semakin kuat aqidah seseorang, semakin banyak
pengetahuan Islam yang dia jadikan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah),
perbuatannya semakin terjaga dan kedudukannya semakin mulia. Sekalipun
demikian, pendidikan berlangsung seumur hidup, sebab gangguan dan godaan banyak
sekali untuk menghancurkan hasil pendidikan kita yang terus-menerus itu. Orang
yang hafal Al Quran terkadang lupa bahwa ada hukum-hukum yang membatasi tingkah
lupa. Orang yang ingat akan ayat hukum yang membatasi tingkah lakunya terkadang
tergoda oleh bujuk rayuan syetan, atau tak kuasa menolak gejolak nafsunya. Oleh
karena itu, disamping pendidikan untuk individu, tidak boleh dilupakan
pendidikan untuk masyarakat, agar hasil-hasil pendidikan kita terjaga oleh
masyarakat yang senantiasa menjaga pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam.
Dan perpaduan itu semua akan memunculkan sifat taqwa dalam diri seseorang.
Allah SWT mengajarkan kepada kita: Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Allah akan
mengajarkan ilmu kepada kalian! Wallahu a’lam bis shawab! . Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar