KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah penulis
ucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberi rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada kendala apapun.
Shalawat dan salam
semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda kita nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari alam
kejahilan menuju alam yang terang menderang.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dosen
pengampu mata kuliah Ini yang telah
banyak membagi ilmu dan pengalamannya kepada kami, sehingga makalah yang
berjudul „“NASIKH MANSUKH“ dapat terselesaikan.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya, Amien ya rabbal alamin.
Muara Tebo, Januari 2011
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
umum Magasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam
pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh
terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan
tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini,
disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya.
Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu
nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut,Pengertian Nasakh Dan Mansukh,Pembagian
Nasakh Dalam Al-Qur’an, Syarat-Syarat Nasakh, Bentuk-Bentuk Nasakh,Cara
Mengetahui Nasakh Dan Mansukh, Persamaan Nasakh Dengan Fakhsis, dan Hikmah
Nasakh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf
pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah
para ulama
muta 'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak
dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan
atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi
yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan pengecualian (istitsna), syarat dan sifat sebagai
nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan yang zhahir dan penjelasan
terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian, nasakh dalam pandangan
mereka adalah penjelasan tentang maksud suatu dalil dengan tidak mempergunakan
lafazh tersebut, akan tetapi dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang
mengamati pendapat mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak
terbatas, dan hilanglah macam-macam bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena
diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang muncul kemudian.
B. Syarat-Syarat Nasakh
Adanya nasakh itu
disyaratkan empat hal, sebagai berikut:
a. Hukum yang di nasakh harus berupa
hukum syara’, bukan hukum lain, seperti hukum akal atau buatan manusia, yang
dimaksud hukum syara’ ialah titah Allah SWT. (Dan sunnsh Rosulullah Saw) yang
berhubungan dengan perbuatan orangmikallaf, baik secara mewajibkan atau
melarang atau menyuruh memilih.
Sedangkan yang dimaksud
dengan hukum akal ialah peraturan yang ditetapkan oleh akal. Pikiran manusia,
bukan menurut titah Allah SWT.
Jika yang di nasakh
(dihapus) atau diganti itu bukan hukum syara’, tidaklah dinamakan nasakh.
Contohnya, seperti penghapusan kebebasan bertugas (barna-atudz dzimmati), yaitu
yang pada mulanya orang itu bebas tugas, tidak wajib sholat, tidak harus puasa
dan sebagainya, Lalu “kebebasan” ituterhapus dengan diwajibkannya sholat, puasa
dan sebagainya, penghapusan ini tidak dinamakan nasakh karena tidak memenuhi
syarat-syarat nasakh, yaknu karena yang dihapuss dan diganti itu bukan hukum
syara’ melainkan akal, yakni kaidah fiqhiyah yang dibuat oleh pikiran manusia.
Kaidah itu berbunyi :
“yang asal manusia itu bebas dari beban kewajiban sebelum adanya nash syara”.
Ketetapan bahwa
kebebasan bertugas itu dari hukum akal, tidak akan terpengaruh meski kemudian
ada dalil syara’ yang memperkuat hukum tersebut. karena itu, hal tersebut tetap
berupa hukum akal,meski kemudian ada ayat 15surah Al-isra’ berbunyi.
“Dan kamu tidak akan
menyiksa (seseorang) sebelum kami mengutus seorang Rosul.” (Qs. Al-isra’ : 15)
b. Dalil
yang menghapuskan hukum syara’ itu harus berupa hukum dalilsyara’. Tidak boleh
berupa dalil akal. yang dimaksud dengan dalil syara’ atau syar’iialah dalil
Al-Qur’an, hadist,Ijma’ dan kias. hal ini sesuai fengan ketentuan firman Allah
dalam surah (An-nisa’ :59) yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rosul, dan orang-orang
yang memegang kekuasaan diantara kalian, Maka jika kalian berlainan (pendapat)
tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul (Sunnah),
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah. dan hari kemudian. (Qs. An-Nisa’
59)
Sedangkan yang
dimaksud dengan dalil akal ialah dalil atau argumentasi dari hasil pikiran
manusia. Jika dalil yang menasakh itu dalil Aqli, bukan dalil syar’I, maka
penghapusan hukumnya itu tidak bisa dinamakan dengan nasakh menurut istilah.
Contohnya seperti gugurnya beribadah bagi orang yang sudah pikun, gila, atau
meninggal dunia.Sebab gugurnya kewajiban beribadah dengan peristiwa-peristiwa
tersebut adalah atas dasar argumentasi atau dalil akal, bukan dalil syar’i.
rasionalnya orang yang sudah pikun atau mati itu tidak dapat mengerti hukum
Allah, apalagi orang yang telah mati, sehingga menurut akal sudah selayaknya
jika orang –orang yang seperti itu tidak berkewajiban beribadah.
Hal itu dikarenakan
kalau Allah sudah mencabut karunianya dari hamba-hambanya, seperti telah
mencabut akal fikiran, kemampuan, apalagi telah mencabut jiwa seseorang, maka
berarti Allah SWT telah menggugurkan hal-hal yang diwajibkan kepada orang
tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah :
“Sesungguhnya Allah
SWT itu kalau sudah mulai mengambil apa yang di karuniakannya, maka berarti dia
telah menggugurkan tugas-tugas yang telah diwajibkan”.
Gugurnya kewajiban
ibadah karena dalil akal ini akan tetap, dan tidak akan berubah, meski ada
dalil syara’ yang memperkuat hal itu.
c. Adanya
dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum
yang pertama.
maksudanya, antara
dalil yang menetapkan hukum dengan dalil yang menghapuskannya itu harus ada
tenggang waktu beberapa saat setelah dalil pertama itu datang dan berlaku, baru
kemudian datang dalil baru mengubah dan menggantikannya. karena itu, dalam
definisi nasakh yang ketiga ada gagasan, bahwa kalau sekiranya tidak ada
nasakh, maka ketentuan hukum yang pertama itu akan tetap berlaku terus.
Jadi, antara dalil satu
dengan dalil dua itu tidak renggang atau tidak bersambung, tidak seperti
gandengannya antara Qayyid dengan yang di Qayyidi (kattishalil Qoyyid bil
Qoyyidi) atau antara batasan waktu dengan waktu yang membatasi (kattishalalit
ta’qiiti bil muqqati). contohnya seperti firman Allah SWT. “dan sempurnakanlah
shalat itu sampai malam. (Qs. al-baqarah : 187)”.
d. antara
dua dalil nasakh dan mansukh atau antara dalil I dan dalil II itu harus ada
pertentangan yang nyata. yang betul-betul dikontradiktif dann paradoks,
sehingga benar-benar tidak tidak dapat dikompromikan atau diketemukan. sebab,
sebenarnya nasakh itu adalah keadaan yang terpaksa, sebagai jalan keluar atau
pemecahan masalah yang kontras, yang tidak dapat diatasi, kecuali dengan
ketentuan baru yang beru datang.
Contohnya, seperti
ketentuan dalil ayat 12 surat al-mujadalah yang menghapuskan orang bersedekah
sebelum menghadap rasul, dengan ketentuan dalil II dari ayat 13 surah al-mujadalah
yang membebaskan kewajiban bersedekah itu.
C. Bentuk-Bentuk
Masalah
a. Nasakh
syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat dalam
ayat terdahulu. Misalnay surat
Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara
muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2
dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :
“Hai
Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu, niscaa mereka dapat menaglahkan duaratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat
mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir
itu kaum ang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan
dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu
seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan duaratus orang dan jika ada
diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan duaribu
orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs.
Al-Anfal : 65-66).
b. Nasakh dimni yaitu bila ada ketentuan
hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat
yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang
wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
c. Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang
datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan.
Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah
dalam surat
(Al-baqarah : 234).
d. Nasakh juz’I yaitu menasakh hukum yang
mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau
menasakh hukum yang bersifat mutlakdengan hukum yang bersifat mubayyad
(terbatas). Sebagaimana firman Allah dalam surat (An-nur : 4-6)
D. Cara
Mengetahui Nasakh Dan Mansukh
Cara untuk mengetahui
nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadist yang
berbunyi:
“Aku (dulu) pernah
melarangmu berziarah ke keburan, sekarang muhammad telah mendapatkan izin untuk
berziarah kekuburan ibunya, kini berziarah kamu kekubur. Sesungguhnya ziarah
kubur itu mengingakat pada hari akhir. (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)”.
b. Kesepakatan
umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
c. Mengetahui
mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasakh tidak dapat
ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil
yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang
dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan
tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh
bahwa nasakh dan mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk
penghapusan yang bersifat asal (pokok).
E. Persamaan Nasakh Dengan Takhshis
a. Tampaknya,
nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu
ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam cdontoh
penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah
disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya
dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan
menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah
turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya
hampir sama dengan kalimat:
“wanita yang ditalak
suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak
sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu
sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan
terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh
itu sama saja dengan takhshis itu.
b. Nasakh
sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan
hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’
sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’.
F. Hikmah
Nasakh
a. Untuk
menunujkkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
b. Selalu
menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam
semua keadaan dan disepanjang zaman.
c. Untuk
menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan
kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang
sempurna.
d. Untuk menguji orang mukallaf,
apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu
mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu
mereka ingkar dan membangkang.
e. Untuk
menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f. Untuk
memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh
banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati
kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha
penyayang.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf
pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah
para ulama
muta 'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak
dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan
atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi
yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
Adanya nasakh
itu disyaratkan empat hal, sebagai berikut:
a. Hukum yang di nasakh harus berupa hukum
syara’, bukan hukum lain,
b.
Dalil yang menghapuskan hukum syara’ itu harus berupa hukum
dalilsyara’.
c.
Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang
waktu dari
dalil hukum yang pertama.
d.
antara dua dalil nasakh dan mansukh atau antara dalil I
dan dalil II itu harus
ada pertentangan yang nyata. yang
betul-betul dikontradiktif dann paradoks,
sehingga.
Adapun Bentuk-Bentuk Masalahnya ialah :
a. Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara
tegas menghapuskan hukum ang
b.
Nasakh dimni
c. Nasakh kulli yaitu masalah hukum
yang datang kemudian ia menasakh
hukum
d.
Nasakh juz’I yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu
dengan
Cara
untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai
berikut;Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadist yang berbunyi:
Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu
mansukh;Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam
perspektif sejarah.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam
penulisan maupun penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini agar menjadi lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwari, Abu, Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, Media Grafika, 2002
Djalal, Abdul, Ulumul
Qur’an, Karang Menurv/24 Surabaya ,
1998
Ali, As-Shobuni,
Muhammad, Rawaiul Bayan Fitafsir Ayatl Ahkam, Darul Kutub
Http://Shafiullah,
Blogspot. Com/2009/04 nasikh Mansukh.
Alawi,
Syed, Bin Syed. Abbas Al-Maliki, Faidhul Khoir Wakholasotu Takrin,
Al-Haramain.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………
BAB
I PENDAHULUAN……………………………………………..
A.
Latar Belakang………………………………………………......
B.
Rumusan Masalah……………………………………………….
BAB
II PEMBAHASAN………………………………………………
A.
Pengertian……………………………………………………......
B.
Syarat-Syarat
Nasakh……………………………………………
C.
Bentuk-Bentuk
Masalah…………………………………………
D.
Cara Mengetahui
Nasakh Dan Mansukh ……………………….
E.
Persamaan
Nasakh Dengan Takhshis …………………………..
BAB
III PENUTUP……………………………………………………
A.
Kesimpulan………………………………………………………
B.
Saran…………………………………………………………….
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar