Manfaat
Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
Dalam
berbagai kesempatan seringkali dibicarakan tentang beberapa kisah yang terjadi
pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal isi kisah
tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa, boleh jadi
sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan disampaikan di
bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-kisah
ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah
ayat Qur’an yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.
Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul bersama
para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama
sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin
Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu
yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan
Islam.
Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke
majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan
menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, “Kami mengusulkan kepada
Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan
mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah arab akan datang
menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak ini.
Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan
kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka sesuka Anda.”
Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, “Bau Salman al-Farisi
mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang
miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami sehingga kami tidak berkumpulbersama
mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama
kami.”
Tiba-tiba turunlah malaikat jibril menyampaikan surat al-An’am
[6] ayat 52: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu
tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula
mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang
menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasukorang-orang
yang zalim.”
Nabi saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi
sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. “Salam
‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul
para pembesar Quraisy.
Setelah itu, turun lagi surat al-Kahfi [18] ayat 28: “Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Sejak itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi,
beliau tidak meninggalkan tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila
beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok mereka. Seringkali
beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku
kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah
hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada
hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah
hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara
orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.”
Sekarang bukalah cermin di hati kita. Tariklah nafas sejenak
untuk berkaca ke dalam cermin itu. Apakah kita seperti pembesar Quraisy yang
terganggu dengan bau tubuh orang miskin. Apabila tamu datang, kota kita
bersihkan dan mereka, kaum fukara, dipinggirkan. Kota baru gemerlap bila mereka
disingkirkan. Pemandangan baru indah bila rumah-rumah kumuh digusur. Ah…betapa
perilaku kita lebih menyerupai pembesar quraisy daripada perilaku Nabi Yang
Mulia.
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat,
Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras.
Nabi bertanya, “mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?” Sa’ad menjawab,
“tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku.” Nabi yang mulia
berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,” seraya mencium tangan yang hitam,
kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk
dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
Bukalah cermin hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah.
Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan melepuh menunggu uluran kasih sayang
kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita yang mau mencium tangan orang miskin?
Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar akademik yang kita raih,
kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas bila orang miskin
mencium tangan kita. Kalau hati terasa berat, andaikata kultur tak mengizinkan
kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat, bukankah paling tidak kita
ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan dengan kasih sayang pada mereka.
Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah kita untuk paling tidak menyisihkan
sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai rasa sayang kita pada mereka.
Di atas kita telah mengutip sejumlah kisah dalam hidup Nabi.
Bukankah sebagai ummatnya kita telah berikrar untuk menjadikan segala perilaku
beliau sebagai contoh teladan (uswatun hasanah). Untuk menguatkan bahwa Islam
sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita buka Al-Qur’an. Bukankah
Al-Qur’an adalah rujukan kita yang pertama dalam hidup ini.
1. Surat al-Balad [90] ayat 10 -18
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya (denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya (denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa
kita pakai dalam memanfaatkan harta kita. Al-Qur’an menyarankan kita untuk
mengambil jalan yang sukar dan mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi
makan pada anak yatim atau orang miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan
yang mudah, melainkan memberi contoh jalan yang sukar.
Mengapa disebut jalan yang sukar? karena kebanyakan manusia
enggan atau merasa berat atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu
mengalahkan rasa berat dan rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah
menjanjikan kita termasuk golongan yang kanan; ahli surga. Bukalah cermin hati
kita sekali lagi. Apakah kita merasa sukar untuk beramal pada orang miskin dan
anak yatim? Hanya cermin hati yang teramat dalam yang mampu menjawabnya dengan
jujur.
2. Surat al-Ma’arij [70] ayat 19-25
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia ditimpakesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia ditimpakesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”
Secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir
itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan
sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya pribadi, ayat di atas telah
menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering
berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita cenderung untuk
kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita
tersebut tidak menjelma atau dapat kita padamkan.
Allah menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama,
mengerjakan sembahyang secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang
kita miliki terkandung bagian tertentu untuk fakir miskin. Dua resep ini insya
Allah akan mampu memadamkan sifat keluh kesah dan sifat kikir yang kita miliki.
Sekali lagi, bukalah cermin hati kita. Tahanlah nafas kita
untuk sejenak. Tidakkah kita rasakan bagaimana Allah menyinggung perilaku buruk
kita dalam ayat-ayat-Nya yang suci. Subhanallah….
3. Surat al-Qalam [68] ayat 17-33
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telahmenguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa merekasungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan :insya Allah
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telahmenguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa merekasungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan :insya Allah
Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari
Tuhanmu ketika mereka sedang tidur,maka jadilah kebun itu hitam seperti malam
yang gelap gulita, lalu mereka panggilmemanggil di pagi hari
“Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak
memetik buahnya.”
Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini
janganlah ada seorangMISKINpun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka
di pagi hari dengan niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu
(meonolongnya), Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya
kita benar-benaroarng-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari
memperoleh hasilnya)”
Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara
mereka: “Bukankah aku telahmengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih
(kepada Tuhanmu)?”
Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami
adalah orang-orangyang zalim.”
Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya
cela mencela Merekaberkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini
adalah orang-orang yangmelampaui batas.Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan
ganti kepada kita dengan(kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita
mengharapkan ampunan dariTuhan kita”
Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat
lebih besar jika merekamengetahui”
Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang
terjadi sebelum masa Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan
sangat baik betapa harta manusia itu tak ada artinya dibandingkekuasaan Allah.
Kebun yang sudah sekian lama diurus dan tinggal sekejap mata saja untuk dipetik
hasilnya menjadi musnah terbakar. Apa kesalahan pemilik kebun tersebut sehingga
mendapat azab sedemikian rupa?
Pertama, mereka lupa bahwa Allah berkuasa atas segala
sesuatu. Ini dilukiskan dalamayat di atas ketika mereka tidak menyebut insya
Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar biasa. Mereka lupa bahwa
sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan hidup kita. Kita tak tahu
“skenario” Allah terhadap diri kita.
Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar
orang miskin tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada
mereka. Allah turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan
bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia;
sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi!
Cermin hati kita mengatakan bahwa agar tidak tertimpa azab
Allah di dunia, manakala kita memiliki kelebihan rezeki maka janganlah sungkan
untuk memberi sebagian pada orang miskin. Cermin hati telah berkata, mampukah
kita melaksanakan kata-hati kita?
Kalau Allah mampu memusnahkan dengan amat mudah kebun yang
siap dipanen, jangan-jangan Allah pun akan memusnahkan sumber penghasilan kita,
bila kita berlaku kikir! Na’udzu billah…
Demikianlah sekedar pengantar untuk pengajian kita; sekedar
saling ingat mengingatkan bahwa di cermin hati kita telah tergambar sejumlah
orang yang membutuhkan kepedulian kita. Persoalannya, maukah kita melihat ke
dalam cermin tersebut?
Zakat
Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi
tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan
bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah
pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah
pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang
dijadikan Allah di dalam pemilikan.
Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada
hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : “Sesungguhnya di
dalam harta itu ada hak selain zakat”. Tetapi zakat merupakan hak terpenting di
dalam harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam
persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Zakat adalah bukti (penyerahan)”.
Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip
tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak
benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan
pengejawantahan dalam masalah ini. Sebab, modal yang tidak dikembangkan,
pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus mengurangi bagian
modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan semakin menipisnya
modal.
Misalnya, seorang memiliki uang lima juta rupiah yang tidak
dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak
2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang lima juta rupiah tersebut, kecuali
nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena itu, pemilik modal terpaksa harus
mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga
zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam
perputaran. Dengan ini pula kita dapat memahami firman Allah: “Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs.
At Taubah:34)”
Selama infaq di jalan Allah ditunaikan, atau
sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka penimbunan harta benda itu tidak
akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda: “Selama kamu tunaikan zakatnya,
maka ia bukan timbunan”.
Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan
dengan zakat. Modal, sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki
keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat.
Modal, berhak mendapatkaan keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas
kesediaannya menanggung kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha
bagi hasil) pemilik modal berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan
modal tersebut menanggung kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan
perbedaan pokok dalam memandang persoalan harta sebagai modal antara
Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak dengan sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan
adil melalui semua institusi yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga
pengelola zakat). Harta menurut Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan
keuntungan sebagai imbalan atas kesediannya menanggung resiko rugi. Pemilik
modal berhak memperoleh keuntungan sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya
menanggung resiko kerugian.
Kepada pemilik modal diwajibkan membayar zakat setiap tahun,
bukan saja dari keuntungan, tetapi juga dari modal itu sendiri. Dengan
demikian, ‘kelebihan nilai’ yang digambarkan Karl Marx tidak akan kembali
kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil yang menjadi haknya.
Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan masyarakat yang berhak
menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang merupakan kewajiban
bagi orang yang mampu (aghniya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar